Minggu, 01 Juli 2012

Resensi Novel Pukat

-->
Harta karun berharga kampung yang belum terjamah, adalah kalian…!!
Judul:  pukat
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 2011
Tebal:347 halaman
Pukat seorang anak sembilan tahunan yang tinggal di desa terpencil. Dengan nalarnya yang kuat, pukat berhasil memecahkan misteri terowongan kereta api ala romusha yang sering dibual teman sekelasnya. Bahkan pukat juga membantu menangkap para penjarah kereta api dalam terowongan. Pukat memang seorang anak yang luar biasa. Betapa tidak, di usianya yang baru Sembilan tahun, dia sudah diikutsertakan membantu acara penyelenggaraan perbaikan mesjid di kampungnya.
Ternyata perbaikan mesjid ini juga mengalami beberapa cerita. Mulai dari gerhana matahari, hingga ditemukannya empat kotak berisi diary jendral belanda di atas kubah mesjid.
Ternyata kemampuan pukat di uji oleh wak yati, yang tak lain adalah kakak bapaknya. Dengan teka-teki wak yati yang membuat pukat harus berusaha keras menemukan jawabannya. Bahkan hingga wak yati menutup mata.
Sebagai anak-anak, pukat tak lepas dari kenakalan. Hingga suatu hari mamak member pelajaran padanya hingga dia jatuh sakit. Pukat menganggap itu adalah kesalahan mamak, hingga dia sadar betapa mamak begitu mencintainya. Cinta mamak juga terkihat saat pukat dan burlian terjatuh dalam pembukaan lahan hutan untuk area berladang.
“harta karun terbesar negri ini adalah generasi muda yang pantang menyerah”. Hal inilah yang hendak di sampaikan oleh penulis kepada pembacanya. Selain dihibur dengan kisah-kisah polos seorang pukat berma teman-temannya, pembaca juga di suguhi beberapa taktik agar bias menilai sesuatu dari sisi lain. Kisah juang seorang pukat memang sangat inspiratif, penceritaan dengan gaya kronologi runtut ternyata membuat sajian Tere-Liye ini mudah di cerna dan larut dengan mudah dalam imajinasi pembaca.
Novel ini sarat  dengan pendidikan dan semangat juang yang sangat menarik dari seorang pukat, burlian, raju, lamsari dan tokoh anak-anak lainnya. Selain itu kita juga di gelitik oleh ketegaran seorang wak yati yag semakin keras pendiriannya menjelang perjalanan kereta api terakhirnya.

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...