Bahkan
pihak Puskesmas pun memandang jijik padaku. Dari mata mereka kudapati cemooh
tak terhingga atas keadaanku. Sungguh, hina sekali aku rasanya. tapi apa
dayaku, Aku harus berobat. Seperti kata anak sulungku, “yang penting yakin dulu
pa,” itulah ucapannya yang memaksaku duduk diruang yang kurasa tak ber-HAM ini.
niatku hanyalah mendapat izin rujukan dari Puskesmas tempat tinggalku. Kemudian
aku akan pergi berobat kedaerah tetangga. Kabarnya disana ada pengobatan yang
dapat menyembuhkan penyakitku. Ya, hanya rujukan saja.
Oh,
bathinku semakin terpukul saat kulihat mereka, perawat yang akan memeriksa
penyakitku menggenakan sarung tangan dan penutup mulut. Meskipun dengan bantuan
alat dua perawat ini tetap saja serasa mencapku sebagai manusia kumuh. Hingga
untuk kontak suatu apapun dengan diriku yang sakit ini, mereka tak ingin.
Menunggu di USG, kuperhatikan sekelilingku. Terbayang olehku kalau-kalau nanti
anak kandungku akan memperlakukan hal yang sama padaku. Bagaimana kalau mereka
juga jijik padaku?. Bagaimana kalau
mereka mencampakkanku karena tak mau melihat, dan mengurusi aku yang sudah tak
segagah dulu?. Oh, sedihnya aku jika iya demikian.
Kutepis
sesegera mungkin pikiran-pikiran negatif tak layak pakai itu. aku yakin, anakku
bukanlah manusia durhaka. Durhaka?. Apakah aku sudah menjadi ayah yang baik
buat mereka selama ini?. ataukah aku yang telah durhaka pada mereka?.
“Silahkan
berbaring pak,” ujar perawat yang bertubuh ramping padaku. Sebuah alat yang
lebih mirip lampu jalan berukuran besar didekatkan kedadaku yang sudah
ditenjangi. Kupasrahkan saja menuruti
apa yang mereka katakan, jika tak patuh-patuh takutnya akan disemprot lagi aku
ini dengan kata-kata tak bertuan dari mulut mereka. Maklum, lelaki yang tak
lagi berumur belasan tahun ini sudah sedikit peka pada sindiran, orangtua sensitif,
itu kata mereka.
Ah
iya, tentang durhaka tadi. Masih saja aku bertanya-tanya dalam hatiku. Bukan
apakah aku durhaka pada anak-anakku ataukah tidak. Kurasa aku memang durhaka.
Aku sempat meninggalkan mereka, menurutku tak lama. Namun, hal itu menjadi
rutukan anak sulungku tiap kali mengingat hinaan orang kampung untukya. Lalu
ketika aku ketahuan menduakan ibu mereka. Dan kurasa inilah dosa terbesarku
pada keluarga yang kubangun sejak tahun 1991 ini.
Masih
bersih dalam ingatanku, betapa sulungku bicara padaku dengan segala roman
dewasanya.kendati dia terisak, tak diizinkannya aku membela diri. Setidaknya
mengatakan pada dia dan anakku yang lain alasan aku berbuat demikian. Kata-kata
yang dikeluarkannya membuat aku tak kuasa menahan rasa salah. “apa lagi yang
kurang dari ama, pa?” tegasnya padaku saat itu. kata-kata yang berhasil
membuatku lintuah.
Hati
kecilku masih jujur. Dan untung aku masih bisa mendeteksi kejujuran itu.
nyamanku terusik saat melihat dan merasakan keluargaku benar-benar terpukul
dengan pebuatan menyimpangku. Kuputuskan untuk memilih keluarga yang kubesarkan
dengan janji diatas Al Quran. Aku memilih keluargaku yang kini, keluarga yang
akan kupertanggung jawabkan nanti. Setidaknya kejadian ini membuatku sadar,
gadis dan bujang nan dulu kutimang sudah tak anak-anak lagi.
Aku
ragu, apakah mereka masih mau mengurusi hari tuaku setelah apa yang kuperuat
dimasa lalu mereka?. Apakah mereka, anak bujang dan anak gadisku, mau mengelap latihku di masa lelah
ini?. kembali rasa takut menyergapku. Aku takut diperlakukan layaknya binatang
busuk bervirus dan harus dimusnahkan oleh anak-anakku.
****
Kini
aku tak lagi diruang minim cahaya, tempat USG tadi. Aku sudah duduk menikmati air conditioner yang ada di ruangan
dokter. Ruangan serba putih dengan bau obat yang khas. Lalu seorang laki-laki
muncul dari balik pintu. Ditangannya sudah ada hasil USG tadi. Kertas besar
menyerupai klise foto lama. Jika diterawang ke arah cahaya akan tampak tubuhku
beserta organ dalam yang di Rontgen.
Dokter
muda itu menggeleng tiap kali melihat hasil USG ku. Sesekali diperhatikannya
lamat- lamat, lalu dijauhkan lagi, dan kembali geleng-geleng kepala. Tingkah
dokter ini semakin menyudutkan perasaanku. “tak ada lagi celah sembuh
tampaknya,” desahku.
“Bapak,
kenapa terlambat sekali diperiksakan?” Dokter itu memulia pembicaraan dengan
tatapan kasihan padaku. “lalu bagaimana dok?,apakah saya akan segera mati?,”
ucapku pesimis pada keadaan. “bukan pak….” Tutur dokter dengan lembut. Kemudian
si dokter menerangkan padaku perihal penyakitku dan apa yang harus dilakukan
untuk pengobatan.
Surat
izin rujukan sudah ku kantongi. Sekarang hanya perjuanganku menuju pengobatan
rutin berjangka panjang. Inilah satu-satunya jalan sembuh yang ada saat ini.
akan ku jalani, demi janjiku pada istriku dulu. Kami takkan meninggalkan anak
kami sampai mereka lepas dari tanggung jawab kami semuanya. Dan janjiku pada
wanita yang kupilih, istriku, untuk menemaninya hingga akhirnya sama-sama
meninggalkan dunia ini.
****
“uhuk…
hoagh… uhuk..uhuk…” lengkingan batukku benar-benar membuat serumah tak bisa
tidur. Istriku, meski matanya kejap-kejap nyalang
tetap menyuguhkan gelas berisi air panas ngilu kuku untuk kuminum.
Kedelapan anakku sudah mengeliling, menguruti kaki;tangan;dan punggungku.
Seperempat
tahun sudah aku jalani pengobatan paru-paru. Pengobatan ini harus berjalan
selama enam bulan. Tanpa jeda diantaranya. “kalau lupa sekali saja minum
obatnya, harus mengulang lagi dari awal.” Perkataan kawan seperobatan itulah
yang memaksaku untuk tetap menelan obat paru-paru yang besarnya mencapai ruas
awal telunjuk tangan manusia dewasa.
Kadang jika datang rasa malasku, obat-obat itu
ku himpit dengan batu, lalu kududuki hingga obatnya hancur. Tak menolong
menghilangkan tekanan perasaanku untuk menelan obat maha pahit ini. namun
setidaknya, aku bisa memuaskan nafsu geramku.
Batukku
sekarang sudah mulai berkurang. Kebiasaan merokokku hilang sudah. Tapi, badanku
masih kecil dan dadaku masih serasa dihimpit. Seperti sekarang. Aku panik
hendak dibawa kemana badanku. Dadaku sesak. Beruntung aku masih punya enam
belas tangan cekatan. Urutan lembutnya sedikit menenangkan otakku.
Kendati
kesehatanku berangsur baik, tidak begitu dengan kondisi lingkunganku. Kembali
anak-anakku di jajahi cemoohan tak bertuan. Sering kudengar mereka berceloteh
dikamar sebelah, perihal mulut mulut anyir orang lalu. Kalau aku tak salah
tangkap, anakku dijauhi karena memiliki ayah penyakitan seperti aku ini.
“mereka takut menular kali,” bungsu menimpali kata kakaknya.
Oh
Tuhan, oh Tuhan, oh Tuhan…..
Ujian
apa lagi ini?, aku masih belum bisa sabar menghadapi yang kemarin, janganlah
yang ini lagi Tuhan. Jangan anakku, jangan pendekar ku. Mereka tak pantas
diperlakukan demikian, oh.
Hingga
mala mini datang padaku, setelah tujuh malam aku begadang, memikirkan nasib
anak bujang dan anak gadisku, aku benar-benar tak bisa tidur. Dadaku sesak.
Delapan pasang tangan penuh hangat dan sayang membelai tubuh letihku. Biasanya
dalam setiap kali urut mereka selalu berujar, “cepat sembuh pa,” selalu begitu.
Pupuk pancing hasrat sehat bagiku. Tapi sekarang mereka menekur. Merasa
bersalah telah membiarkan aku mendengar ocehan polos mereka.
****
Akhirnya
aku tertidur, terkalahkan jua mataku oleh lembut sentuhan tangan bujang dan
gadisku. Merekakurasa juga demikian. Seperti aku, merekapun lelah telah
menemani aku bergadang selama tujuh malam ini.
Hingga
pagi, dalamsepucuk surat.
Teruntuk hartaku yang tak tahu
harus kuagungkan dengan apa,
Dengarkan
aku. Aku tak kemana-mana. Aku tetap disini, disisi kalian. Hanya saja aku
tengah bersembunyi. Menyelamatkan kalian dari malu tak berkesudahan yang
kubuat. Jika kau merindukanku, cari aku disela do’a. titip terima kasigku untuk
Tuhan yang sudah mempersuakan kita. Aku menyayangi kalian.
Tertanda,
Tulang
punggungmu