Senin, 15 Juli 2013

Ampo Barek


Bahkan pihak Puskesmas pun memandang jijik padaku. Dari mata mereka kudapati cemooh tak terhingga atas keadaanku. Sungguh, hina sekali aku rasanya. tapi apa dayaku, Aku harus berobat. Seperti kata anak sulungku, “yang penting yakin dulu pa,” itulah ucapannya yang memaksaku duduk diruang yang kurasa tak ber-HAM ini. niatku hanyalah mendapat izin rujukan dari Puskesmas tempat tinggalku. Kemudian aku akan pergi berobat kedaerah tetangga. Kabarnya disana ada pengobatan yang dapat menyembuhkan penyakitku. Ya, hanya rujukan saja.
Oh, bathinku semakin terpukul saat kulihat mereka, perawat yang akan memeriksa penyakitku menggenakan sarung tangan dan penutup mulut. Meskipun dengan bantuan alat dua perawat ini tetap saja serasa mencapku sebagai manusia kumuh. Hingga untuk kontak suatu apapun dengan diriku yang sakit ini, mereka tak ingin. Menunggu di USG, kuperhatikan sekelilingku. Terbayang olehku kalau-kalau nanti anak kandungku akan memperlakukan hal yang sama padaku. Bagaimana kalau mereka juga jijik padaku?.  Bagaimana kalau mereka mencampakkanku karena tak mau melihat, dan mengurusi aku yang sudah tak segagah dulu?. Oh, sedihnya aku jika iya demikian.
Kutepis sesegera mungkin pikiran-pikiran negatif tak layak pakai itu. aku yakin, anakku bukanlah manusia durhaka. Durhaka?. Apakah aku sudah menjadi ayah yang baik buat mereka selama ini?. ataukah aku yang telah durhaka pada mereka?.
“Silahkan berbaring pak,” ujar perawat yang bertubuh ramping padaku. Sebuah alat yang lebih mirip lampu jalan berukuran besar didekatkan kedadaku yang sudah ditenjangi. Kupasrahkan  saja menuruti apa yang mereka katakan, jika tak patuh-patuh takutnya akan disemprot lagi aku ini dengan kata-kata tak bertuan dari mulut mereka. Maklum, lelaki yang tak lagi berumur belasan tahun ini sudah sedikit peka pada sindiran, orangtua sensitif, itu kata mereka.
Ah iya, tentang durhaka tadi. Masih saja aku bertanya-tanya dalam hatiku. Bukan apakah aku durhaka pada anak-anakku ataukah tidak. Kurasa aku memang durhaka. Aku sempat meninggalkan mereka, menurutku tak lama. Namun, hal itu menjadi rutukan anak sulungku tiap kali mengingat hinaan orang kampung untukya. Lalu ketika aku ketahuan menduakan ibu mereka. Dan kurasa inilah dosa terbesarku pada keluarga yang kubangun sejak tahun 1991 ini.
Masih bersih dalam ingatanku, betapa sulungku bicara padaku dengan segala roman dewasanya.kendati dia terisak, tak diizinkannya aku membela diri. Setidaknya mengatakan pada dia dan anakku yang lain alasan aku berbuat demikian. Kata-kata yang dikeluarkannya membuat aku tak kuasa menahan rasa salah. “apa lagi yang kurang dari ama, pa?” tegasnya padaku saat itu. kata-kata yang berhasil membuatku lintuah.
Hati kecilku masih jujur. Dan untung aku masih bisa mendeteksi kejujuran itu. nyamanku terusik saat melihat dan merasakan keluargaku benar-benar terpukul dengan pebuatan menyimpangku. Kuputuskan untuk memilih keluarga yang kubesarkan dengan janji diatas Al Quran. Aku memilih keluargaku yang kini, keluarga yang akan kupertanggung jawabkan nanti. Setidaknya kejadian ini membuatku sadar, gadis dan bujang nan dulu kutimang sudah tak anak-anak lagi.
Aku ragu, apakah mereka masih mau mengurusi hari tuaku setelah apa yang kuperuat dimasa lalu mereka?. Apakah mereka, anak bujang dan anak  gadisku, mau mengelap latihku di masa lelah ini?. kembali rasa takut menyergapku. Aku takut diperlakukan layaknya binatang busuk bervirus dan harus dimusnahkan oleh anak-anakku.
****
Kini aku tak lagi diruang minim cahaya, tempat USG tadi. Aku sudah duduk menikmati air conditioner yang ada di ruangan dokter. Ruangan serba putih dengan bau obat yang khas. Lalu seorang laki-laki muncul dari balik pintu. Ditangannya sudah ada hasil USG tadi. Kertas besar menyerupai klise foto lama. Jika diterawang ke arah cahaya akan tampak tubuhku beserta organ dalam yang di Rontgen.
Dokter muda itu menggeleng tiap kali melihat hasil USG ku. Sesekali diperhatikannya lamat- lamat, lalu dijauhkan lagi, dan kembali geleng-geleng kepala. Tingkah dokter ini semakin menyudutkan perasaanku. “tak ada lagi celah sembuh tampaknya,” desahku.
“Bapak, kenapa terlambat sekali diperiksakan?” Dokter itu memulia pembicaraan dengan tatapan kasihan padaku. “lalu bagaimana dok?,apakah saya akan segera mati?,” ucapku pesimis pada keadaan. “bukan pak….” Tutur dokter dengan lembut. Kemudian si dokter menerangkan padaku perihal penyakitku dan apa yang harus dilakukan untuk pengobatan.
Surat izin rujukan sudah ku kantongi. Sekarang hanya perjuanganku menuju pengobatan rutin berjangka panjang. Inilah satu-satunya jalan sembuh yang ada saat ini. akan ku jalani, demi janjiku pada istriku dulu. Kami takkan meninggalkan anak kami sampai mereka lepas dari tanggung jawab kami semuanya. Dan janjiku pada wanita yang kupilih, istriku, untuk menemaninya hingga akhirnya sama-sama meninggalkan dunia ini.
****
“uhuk… hoagh… uhuk..uhuk…” lengkingan batukku benar-benar membuat serumah tak bisa tidur. Istriku, meski matanya kejap-kejap nyalang tetap menyuguhkan gelas berisi air panas ngilu kuku untuk kuminum. Kedelapan anakku sudah mengeliling, menguruti kaki;tangan;dan punggungku. 
Seperempat tahun sudah aku jalani pengobatan paru-paru. Pengobatan ini harus berjalan selama enam bulan. Tanpa jeda diantaranya. “kalau lupa sekali saja minum obatnya, harus mengulang lagi dari awal.” Perkataan kawan seperobatan itulah yang memaksaku untuk tetap menelan obat paru-paru yang besarnya mencapai ruas awal telunjuk tangan manusia dewasa.
 Kadang jika datang rasa malasku, obat-obat itu ku himpit dengan batu, lalu kududuki hingga obatnya hancur. Tak menolong menghilangkan tekanan perasaanku untuk menelan obat maha pahit ini. namun setidaknya, aku bisa memuaskan nafsu geramku.
Batukku sekarang sudah mulai berkurang. Kebiasaan merokokku hilang sudah. Tapi, badanku masih kecil dan dadaku masih serasa dihimpit. Seperti sekarang. Aku panik hendak dibawa kemana badanku. Dadaku sesak. Beruntung aku masih punya enam belas tangan cekatan. Urutan lembutnya sedikit menenangkan otakku.
Kendati kesehatanku berangsur baik, tidak begitu dengan kondisi lingkunganku. Kembali anak-anakku di jajahi cemoohan tak bertuan. Sering kudengar mereka berceloteh dikamar sebelah, perihal mulut mulut anyir orang lalu. Kalau aku tak salah tangkap, anakku dijauhi karena memiliki ayah penyakitan seperti aku ini. “mereka takut menular kali,” bungsu menimpali kata kakaknya.
Oh Tuhan, oh Tuhan, oh Tuhan…..
Ujian apa lagi ini?, aku masih belum bisa sabar menghadapi yang kemarin, janganlah yang ini lagi Tuhan. Jangan anakku, jangan pendekar ku. Mereka tak pantas diperlakukan demikian, oh.
Hingga mala mini datang padaku, setelah tujuh malam aku begadang, memikirkan nasib anak bujang dan anak gadisku, aku benar-benar tak bisa tidur. Dadaku sesak. Delapan pasang tangan penuh hangat dan sayang membelai tubuh letihku. Biasanya dalam setiap kali urut mereka selalu berujar, “cepat sembuh pa,” selalu begitu. Pupuk pancing hasrat sehat bagiku. Tapi sekarang mereka menekur. Merasa bersalah telah membiarkan aku mendengar ocehan polos mereka.
****
Akhirnya aku tertidur, terkalahkan jua mataku oleh lembut sentuhan tangan bujang dan gadisku. Merekakurasa juga demikian. Seperti aku, merekapun lelah telah menemani aku bergadang selama tujuh malam ini.
Hingga pagi, dalamsepucuk surat.

Teruntuk hartaku yang tak tahu harus kuagungkan dengan apa,
Dengarkan aku. Aku tak kemana-mana. Aku tetap disini, disisi kalian. Hanya saja aku tengah bersembunyi. Menyelamatkan kalian dari malu tak berkesudahan yang kubuat. Jika kau merindukanku, cari aku disela do’a. titip terima kasigku untuk Tuhan yang sudah mempersuakan kita. Aku menyayangi kalian.
Tertanda,
Tulang punggungmu 

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...