Jumat, 29 Agustus 2014

Pe-We perdana...


Oke, dengan kekuatan bulan akhirnya anak kesekian saya terlahir kehadapan anda. Haha. Perlu kekuatan penuh untuk merampungkan ini. menarasikan satu objek yang memaksa kamu berfikir keras itu sangat keterlaluan rasanya. Bukan berfikir tentang apa yang harus saya tuliskan tentang si objek. Tapi tentang sisi mana yang harus saya dahulukan. Semuanya manis, aneh dan syukurnya tidak karuan.
Beberapa kali komputer lipat saya ternganga dan ide-ide meramu tulisan menggelora dengan sangat .  bahkan keyboard dihadapan saya merayu dan bilang “jamah saya kakaaa..”. tetap saja tak membantu kelahiran ini.

Dan tibalah di penutupan kata sambutan. Akhirnya saya melahirkan! Walau tak tepat dengan tanggal kelahiran seharusnya -karena memang tulisan ini lahir mesti lewat cesar- saya hadiahkan pada seseorang yang biasa saya panggil ‘Be’.
***
Takdir Tuhan yang membawa Surya datang bersamaan dengan Purnama. Sehingga langit merasa tak perlu bersusah payah berotasi. Memperpusing jarum jam juga tak perlu. Toh siang dan malam sudah di genggaman bumi.

 “sudah dimana be?” pesan layangan dari  Mr. B yang –mungkin- sudah gerah bertanya hal sama. “masih di rumah.” Jawaban singkat. Uh, ini hari puncak perjuangan dia di jenjang satu. Saya mau menghadiahkan sesuatu yang mungkin sedikit berbeda dengan yang akan didapatkannya. Tapi apa?

Saya mulai bosan mematut diri. Kembali mata bulat menggerayangi deretan buku bacaan dan seperti biasa, selembar potret tertempel manis diujungnya. Foto yang sudah dibubuhi note-note kecil. Isinya beragam, “semangat sayang,” “satu langkah lagi, geest cinta,” “kamu aneh,”  atau bahkan “kamu keras kepala be.” Sosok wajah melebihi familiar ddalam otak saya terera disana. Sedikit bergumam, ‘kamu ingin apa dari saya? Saya tak tahu harus menghadiahimu apa. Bantu saya membuat hari bahagiamu jadi lebih bahagia.’

Sialnya sosok dalam foto masih berada dalam gaya yang sama. Tak memberi respon apa-apa. Saya mulai tak waras. Memanyun-manyunkan mulut dan menggerutu pada si B. puas kamu mebuat saya salah tingkah hari ini? aaahhh….. pandai sekali kamu memainkan rasa grogi saya. Kamu harus tahu, memikirkan hadiah memaksa saya minum lebih banyak dari biasanya. Benar-benar proses berfikir yang sangat keras.

Akhirnya dengan pertimbangan yang cukup sulit. Saya putuskan memberi hadiah yang sama dengan lainnya. SETANGKAI MAWAR PUTIH.

Baju warna Tosca dengan jilbab pink lembut (tanpa renda) dengan sepatu (harga biasa). Setidaknya begitulah narasi tanpa lebay dari tampilan saya. Jelas penampilan ala Qadarnya ini membuat saya sedikit terperang-ah saat bersua dengan uni-uni si be yang berdandan dengan cara (entahlah saya tak paham) masing-masing. Mulanya aman tentram dan damai, setidaknya masih terpampang wajah letih mendaki bukit Unand dari sayanya. Jadi, bedak yang luntur tak jadi masalah. Sampai azan Zuhur bergema dengan lantang. Pertanda si beddak memang harus hengkang dari wajah saya. --,--“ aduh be, kasihan kamu tak melihat sosok saya yang ancak habis dandan. #icak-icak ngibur diri.

Habis shalat, jiwa wanita uni-uni si B membludak. Kaca berhias bagian kanan shaf wanita dalam mesjid di kuasai dengan cepat. Dan kaget saya bertambuh, satu tas yang dari tadi ditenteng ternyata berisi seperengkat alat memoles diri. ‘Tuhan, ndak tairiangan do..’ jadilah dengan tampang yang sudah tak berdaya hamba menikmati pemandangan dan suasana ini dengan ikhlas.
***
“ado di sms opi sm Kasua dima nyo kini?” “ndak kak,” “ee.. dima lah kacua ko ah,” celingak celinguk dimulai. Si wisudawan sudah keluar dari ritualnya. Banyak manusia berseragam sama, tinggi mereka berbeda. Tentunya saya mencari si empunya badan tinggi selayang dari tinggi badan saya. Wisudawan –katanya- berbaju coklat. Lulusan FH Agustus 14 bernama Surya Purnama. S.H.
“ha, tu nyo ha.” Si uni dengan semangat menyambut kedatanyan adik kedua. Jabat tangan dan ucapan Happy graduation…

Demi apapun, saya jadi tegang. Kaku dan kalau sampai lupa nafas, mungkin saya mati. “ini kamu be? Kok masih mirip. ” #batu mana batu. Hehe. Kadar grogi semakin menjadi-jadi. Bahkan semakin mencapai batas maksimal saat menciumi tangan apa-ama si B.

Sumpah, semua praktek senyum tulus ikhlas, jalan ayu, dan mata indah tak bisa member bantuan apa-apa. Saya bahkan lebih kaku dari boneka Poppy (filem tahun 1999) yang baru diciptain professor sontoloyonya.
Apa boleh buat, dengan segenap ekspresi nyaris hambar, saya ikuti alur  hari ini. sedikit titipan do’a. “Tuhan, jangan sampai hamba terlihat bodoh.”

Ceritanya belum habis sampai di Unand saja. Sesi makan-makan pun rampung. Saya ikut serta dengan keluarga si B. ahm, gerogi yang mulai bersahabat. Dari belakang saya perhatikan B. apa yang kamu fikirkan saat ini? setelah akhirnya kamu keluar dari kemelut tugas akhir kuliah. Setelah akhirnya tak ada lagi tangisan yang terendapkan. karena malu menangis dihadapan pembimbing. Setelah akhirnya terimakasih untuk seluruhnya kamu haturkan? Karena banyak yang berpartisipasi dalam mencapai toga perdana ini.

Tiba-tiba sebersit rasa menyentil saya dan mendobrak-dobrak mulut saya menggumamkan kata yang harusnya terucap dari tadi. “selamat be, satu misi  usai.” lalu pipi kiri dan kanan saya panas. Naik sedikit lebih tinggi ulah senyum cembung memuai.

Wanita yang kamu panggil ama be, saya merasa berdosa padanya. Karena saya memaksa kamu ikut kemauan saya ke merapi lalu. Saya tak sangka beliau berpuasa untuk kepulangan kamu. Jika tulisan ini kamu baca. Sampaikan maaf saya untuknya.

selamat wisuda tuan Purnama...
Hari ini istimewa untukmu Be. Untuk keluargamu. Juga untuk saya. Lahirlah kembali dan mari kita tuntaskan misi selanjutnya tuan Surya Purnama.
***

Sabtu, 23 Agustus 2014

tanpa maaf, dengan terimakasih. untuk kamu, dia dan mereka.


Bunyi kipas angin yang masih belum berubah dari tahun lalu seolah bersaing dengan suara emosi dari seorang rekan sederetan DPH. Namaya Meri Susanti, ringkas saja panggilannya jadi ‘Wak I’. kali ini dia tak langsung tersedu menyampaikan keluhan tentang rumah kami. Tentang anak-anak yang kami besarkan dan tentang dapurnya. Dia masih menahan bulir-bulir jatuh dari mata yang sudah lelah itu. ataupun mencoba tak berbicara lambat, kali saja takut serak segera datang padanya. Semua masalah dan kesalahan dari jendela dia, meluncur begitu saja. Menceropoh tanpa ada nada landai, nada tinggi, dan nada rendah. Semua senada. Nada hati yang tak stabil.
Mungkin wak I lelah,aku membiarkannya sendiri. aku egois pula. Jelas dia tak tahan. Aku  selalu berulah, terlebih aku. Wak I memberi pukulan-pukulan sedikit keras padaku. masing-masing dapat namun kadar pukulannya berbeda. Dari keseluruhan masa menjabat disini, barulah ini yang membuat aku terdiam dan bertanya sendiri “apa yang aku lakukan?”. Benar saja, apa yang aku lakukan disini?. Apa saja yang sudah aku lakukan disini. Untuk apa aku disini?. Kenapa hingga sat ini aku masih bertahan disini?. Jika bertahan disini, apa yang sudah aku lakukan untuk ini?. diam…

 selama ini aku meng-egois-kan diri dengan sibuk berfikir tentang saya sendiri. Yang lain juga punya masalah, bukan aku saja. Bekerja tapi seadanya, mungkin begitulah predikat untuk kinerjaku disini. Wajar saja wak I atau yang lain mencelaku. Pemimpin semacam apalah aku ini.
sedetik dua detik, mungkin lebih. Masa lalu menari-nari dengan leluasa dibenakku. Lalu bertanya lagi. “dimana semangat dulu?” “dimana hangat dulu?”. Hening..
untuk meminta maafpun tak kuasa lagi rasanya disini. Aku sudah tak bisa merubah pandangan mereka. Memperbaiki hingga akhir musim ini mungkin saja bisa. Tapi statusnya baru mungkin. Belumlah pasti. Mungkin saja nanti aku akan berulah lagi.
Melihat kamu, dia, kalian seperti ini semacam rasa sangat membenci diri sendiri muncul. Muak dengan badan sendiri.
Saya tak bisa berjanji teman. Tapi saya akan menuntun saya sendiri untuk tak menyakiti kamu lagi. Untuk tidak membuat kamu menangis lagi. Untuk tak membuat ketua merasa tak melakukan apa-apa lagi.
Dari hati yang terdalam. Aku mencintai kalian.

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...