Istriku,
cepatlah engkau sembuh dari sakit yang membuatmu kurus ini. kau cantik jika
tersenyum.
Maafkan aku membawa pada kehidupan seperti ini. maafkan aku yang membuatmu kehilangan kemolekan tubuhmu. Maafkan aku yang membuatmu benar-benar jatuh buruk dan memburuk. Maafkan aku jika memberitahumu tentang semua terlambat. Dan kau menyesal. Sungguh tak ada niatku membuatmu merutuki kehidupan ini. sekali lagi maafkan aku.
Maafkan aku membawa pada kehidupan seperti ini. maafkan aku yang membuatmu kehilangan kemolekan tubuhmu. Maafkan aku yang membuatmu benar-benar jatuh buruk dan memburuk. Maafkan aku jika memberitahumu tentang semua terlambat. Dan kau menyesal. Sungguh tak ada niatku membuatmu merutuki kehidupan ini. sekali lagi maafkan aku.
Tertanda,
Zal, suamimu.
Seminggu sudah istriku terbaring lemah di atas ranjang kayu ini. penyakit magnya kumat dan menurut dokter mag itu sudah terlalu kronis. “ini namanya bukan mag lagi pak, ini sudah tukak lambung,”jelanya padaku pecan lalu. Tapi terserah apa katanya, toh istriku tak mau mengakui tukak yang ada dilambungnya, alias menurut istriku penyakitnya masih mag biasa.
Seminggu sudah istriku terbaring lemah di atas ranjang kayu ini. penyakit magnya kumat dan menurut dokter mag itu sudah terlalu kronis. “ini namanya bukan mag lagi pak, ini sudah tukak lambung,”jelanya padaku pecan lalu. Tapi terserah apa katanya, toh istriku tak mau mengakui tukak yang ada dilambungnya, alias menurut istriku penyakitnya masih mag biasa.
Er, istriku, tampak pucat dan semakin
kurus saja jika terbaring seperti itu. matanya menerawang kelangit-langit
rumah. Entah apa yang dia lihat atau yang dia fikirkan. Aku tak tahu. Kali saja
dia menghitung lubang-lubang kecil yang membentuk pola di atap rumah kami.
Ataukah dia kembali menyalahkan keadaan karena telah terlalu lama salah langkah
menjalani hidup denganku. Ah, yang terakhir ini hanya pikiran nyelenehku saja. Semoga tidak begitu.
Er, wanita berparas indah yang
kunikahi 21 tahun yang lalu. Entah, mungkin iya 21 tahun lalu. Yang jelas saat
ini anak gadis kami yang sulung telah berumur 20 tahun. Dan Er melahirkan Hana,
putri sulungku, setahun setelah kami menikah. Tapi aku ingat tanggal aku
menikahi Er. Tanggal 14 februari. Iya, aku ingat jelas hari itu. hari kasih sayang
kata orang-orang . Aku sengaja menjadikan tanggal ini bersejarah karena akan
mudah diingat nanti. Walaupun akhirya aku nyaris lupa juga.
Menurutku, pertemuanku dengan Er adalah
jodoh. Dia adik kelasku sekaligus saudara jauh bagiku. Dia cantik, elok laku,
dan yang paling membuatku ingin memilikinya saat itu adalah karena Er belum
pernah dekat dengan satu lelakipun.” Akan ada kebanggaan tersendiri bagiku jika
bisa meluluhkan hatinya.” Gumamku.
Gayungku bersambut manis. Dia
menyukaiku dan menerimaku . sebenarnya aku sudah yakin akan seperti ini, maklum, retorika ku sangat luar
biasa. Menjalin hubungan dengan status “teman dekat” membuatku semakin ingin
memiliki Er seutuhnya. Jadilah aku lakukan operasi pengambilan hati calon
mertua dengan mendekati mereka satu persatu.
Adik Er, Iid, kubelikan sepeda onthel seken. Dalam hati, Kuharap dia
merestuiku dengan kakaknya. Tapi kepadanya kukatakan “kuharap bisa membantumu
bersekolah,” licinnya otakku.kakak-kakaknya kudekati dengan melembut-lembut
kata. Aih, ini tak terlalu sulit. Kuulangi lagi. Retorika ku sangat luar biasa.
Itulah jurusku.
Namun jurus ini tak berlaku untuk ibu
er. Beliau menentang keras hubunganku dengan anaknya. Alasannya karena aku anak
dari lelaki berilmu mudo yang
akhir-akhir ini ku ketahui sebagai semacam
pamanih untuk kaumku. Sedikit,
aku yakin ilmu itu ada padaku. Karena kuakui dari masa SMP aku sudah menjajali
sepuluh lebih hati lawan jenisku. Mungkin ini yang mereka maksud. Atau, ibu er tahu perihal aku sesungguhnya.
Tapi bukankah keluargaku telah menutupi semua masa silamku?. Entahlah,
duga-duga pun tak baik kurasa.
Namun aku tak berhenti disana. Er,
harus menjadi milikku. Kukerahkan ibuku untuk mau mengolah dan mendekati
keluarga Er yang semakin tak suka saja padaku. Sampai-sampai mereka mendukuni
Er agar tak mau denganku. Ah, aku tak akan menyerah.
Kudengar mereka melarang er dekat
denganku dan akan mengim Er ke Jawa. “untung-untung disana dia akan lupa
padamu.” Ujar salah seorang saudara Er. Berita itu benar-benar membuatku mabuk. Tak tahu lagi
apa yang akan kulakukan. Mungkin jika ini benar akan terjadi. Aku hanya akan
berdo’a saja.
Sehari sebelum keberangkatannya Er menemuiku.
Aku yang merasa sedikit terhina dengan keluarganya tak bisa menyembunyikan
tampang malasku. Walaupun dalam hatiku sangat-teramat sangat menginginkan
saat-saat seperti ini untuk mengungkapkan isi hatiku.
Er tersedu dihadapanku. Terisak
sembari mengatakan tak mau berpisah. Inilah kesempatanku. Ku katakana saja apa
yang aku rasakan padanya. Setidaknya iu akan menyelamatkanku dari beban dalam hati. Er tersenyum mendengar
pengakuanku. Mungkin itulah yang ia tunggu sejak lama.
Terimakasih tuhan, aku bebas dari
perasaan terpendamku.
Tak lama Er di Jakarta, ia kembali
pulang dan menemuiku. Mungkin melihat Er dan aku tak mungkin dipisahkan lagi,
akhirnya pihak keluarga Er menyetujui pinanganku.
Kami menikah dengan semua kemewahan
adat. Tak kufikirkan lagi apapun perkataan orang lain. Apapun bisik undangan.
Yang jelas akulah pemenang hati wanita yang kini menggandeng tanganku. Itu
saja. Dadaku sudah busung sekali rasanya.
Kisah kami berlanjut pada malam
pertama dan malam bercinta selanjutnya. jujur, aku takut dalam hal ini. sengaja
setiap berhubungan aku matikan lampu dan membiarkan Er tak melihat apapun. Ini
taktikku. Tak perlu kalian tahu.
Lalu setahun kemudian Er melahirkan
anak pertama, namanya Hana. Dari bahasa Jepang berarti bunga. Dia cantik
seperti Er. Tapi tak ada miripnya denganku. Ah, tak apalah. Anak Er, adalah
anakku.
Itulah kenanganku tentang perjuanganku
mendapatkan seorang Er. Kini Er, istriku itu terbujur lemah. Sudah seminggu dia
tak makan, tak tidur dan berkata apa-apa padaku. Setiap hari dia hanya
memanggil Hana. Putri sulung kami yang
tengah sekolah di luar kota. Dia tak mau aku mengurusi sakitnya. Semakin hari keadaannya semaki buruk. Er yang
dulu bersih, rapi dan selalu menciumi tanganku setiap pulang bekerja. Kini
tampak lusuh, kurus, dan matanya menatap kosong. Suaranya meliuk-liuk tak jelas
intonasi serta vokalnya. Tak lagi kulihat senyuman yang menghangatkan hatiku
setiap lelah kurasakan.
Ah, aku tak tahu lagi harus berbuat
apa. Terlalu marah dia padaku, kurasa.
Kuakui ini semua kesalahanku. Akulah
yang membuatnya kini membenciku. Tanpa ku fikirkan aku bercerita padanya
tentang siapa aku sebenarnya dan sepertinya dia takkan bisa menerima keadaan.
Kini,
tangan yang dulu menemani setiap lelahku, tak bisa kegemai. Terlalu benci dia
kurasa. hingga serasa najis saja jika kusentuh kulitnya.
Entahlah,
tak tahu lagi harus kukatakan apa padanya kini.
***
Aku terperangah
di pintu kamar saat menyilau istriku. Dia tegang. Lurus dan tangannya sudah
rapih. Disamping wanitaku terselip kertas. Tak kuhiraukan. Kurangkul tubuh
dingin itu. lalu kuurusi sampai tanah merah terakhir.
***
Lalu bibirku
kering, mataku bengkak. Hidungku tak henti mengeluarkan cairan dari kemarin. Di
tanganku masih tersibak kertas kusam yang kutemukan disamping er.
“dengan
ini jelaslah bahwasanya anak kami Er, kami serahkan sebagai penebus hutang.” Begitu
kalimat kertas kusam itu kubaca lagi.
“praaang…”
kemudian darah mengucuri kepalaku dan gelap.