Selasa, 31 Desember 2013

Teruntuk Istriku Er…


Buat Er, istriku tercinta.
Istriku, cepatlah engkau sembuh dari sakit yang membuatmu kurus ini. kau cantik jika tersenyum.
Maafkan aku membawa pada kehidupan seperti ini. maafkan aku yang membuatmu kehilangan kemolekan tubuhmu. Maafkan aku yang membuatmu benar-benar jatuh buruk dan memburuk. Maafkan aku jika memberitahumu tentang semua terlambat. Dan kau menyesal. Sungguh tak ada niatku membuatmu merutuki kehidupan ini. sekali lagi maafkan aku.
Tertanda, Zal, suamimu.

            Seminggu sudah istriku terbaring lemah di atas ranjang kayu ini. penyakit magnya kumat dan menurut dokter mag itu sudah terlalu kronis. “ini namanya bukan mag lagi pak, ini sudah tukak lambung,”jelanya padaku pecan lalu. Tapi terserah apa katanya, toh istriku tak mau mengakui tukak yang ada dilambungnya, alias menurut istriku penyakitnya masih mag biasa.
Er, istriku, tampak pucat dan semakin kurus saja jika terbaring seperti itu. matanya menerawang kelangit-langit rumah. Entah apa yang dia lihat atau yang dia fikirkan. Aku tak tahu. Kali saja dia menghitung lubang-lubang kecil yang membentuk pola di atap rumah kami. Ataukah dia kembali menyalahkan keadaan karena telah terlalu lama salah langkah menjalani hidup denganku. Ah, yang terakhir ini hanya pikiran nyelenehku saja. Semoga tidak begitu.
Er, wanita berparas indah yang kunikahi 21 tahun yang lalu. Entah, mungkin iya 21 tahun lalu. Yang jelas saat ini anak gadis kami yang sulung telah berumur 20 tahun. Dan Er melahirkan Hana, putri sulungku, setahun setelah kami menikah. Tapi aku ingat tanggal aku menikahi Er. Tanggal 14 februari. Iya, aku ingat jelas hari itu. hari kasih sayang kata orang-orang . Aku sengaja menjadikan tanggal ini bersejarah karena akan mudah diingat nanti. Walaupun akhirya aku nyaris lupa juga.
Menurutku, pertemuanku dengan Er adalah jodoh. Dia adik kelasku sekaligus saudara jauh bagiku. Dia cantik, elok laku, dan yang paling membuatku ingin memilikinya saat itu adalah karena Er belum pernah dekat dengan satu lelakipun.” Akan ada kebanggaan tersendiri bagiku jika bisa meluluhkan hatinya.” Gumamku.
Gayungku bersambut manis. Dia menyukaiku dan menerimaku . sebenarnya aku sudah yakin akan  seperti ini, maklum, retorika ku sangat luar biasa. Menjalin hubungan dengan status “teman dekat” membuatku semakin ingin memiliki Er seutuhnya. Jadilah aku lakukan operasi pengambilan hati calon mertua dengan mendekati mereka satu persatu.
Adik Er, Iid, kubelikan sepeda onthel seken. Dalam hati, Kuharap dia merestuiku dengan kakaknya. Tapi kepadanya kukatakan “kuharap bisa membantumu bersekolah,” licinnya otakku.kakak-kakaknya kudekati dengan melembut-lembut kata. Aih, ini tak terlalu sulit. Kuulangi lagi. Retorika ku sangat luar biasa. Itulah jurusku.
Namun jurus ini tak berlaku untuk ibu er. Beliau menentang keras hubunganku dengan anaknya. Alasannya karena aku anak dari lelaki berilmu mudo yang akhir-akhir ini ku ketahui sebagai semacam  pamanih untuk kaumku. Sedikit, aku yakin ilmu itu ada padaku. Karena kuakui dari masa SMP aku sudah menjajali sepuluh lebih hati lawan jenisku. Mungkin ini yang mereka maksud.  Atau, ibu er tahu perihal aku sesungguhnya. Tapi bukankah keluargaku telah menutupi semua masa silamku?. Entahlah, duga-duga pun tak baik kurasa.
Namun aku tak berhenti disana. Er, harus menjadi milikku. Kukerahkan ibuku untuk mau mengolah dan mendekati keluarga Er yang semakin tak suka saja padaku. Sampai-sampai mereka mendukuni Er agar tak mau denganku. Ah, aku tak akan menyerah.
Kudengar mereka melarang er dekat denganku dan akan mengim Er ke Jawa. “untung-untung disana dia akan lupa padamu.” Ujar salah seorang saudara Er. Berita itu  benar-benar membuatku mabuk. Tak tahu lagi apa yang akan kulakukan. Mungkin jika ini benar akan terjadi. Aku hanya akan berdo’a saja.
Sehari sebelum keberangkatannya Er menemuiku. Aku yang merasa sedikit terhina dengan keluarganya tak bisa menyembunyikan tampang malasku. Walaupun dalam hatiku sangat-teramat sangat menginginkan saat-saat seperti ini untuk mengungkapkan isi hatiku.
Er tersedu dihadapanku. Terisak sembari mengatakan tak mau berpisah. Inilah kesempatanku. Ku katakana saja apa yang aku rasakan padanya. Setidaknya iu akan menyelamatkanku dari  beban dalam hati. Er tersenyum mendengar pengakuanku. Mungkin itulah yang ia tunggu sejak lama.
Terimakasih tuhan, aku bebas dari perasaan terpendamku.
Tak lama Er di Jakarta, ia kembali pulang dan menemuiku. Mungkin melihat Er dan aku tak mungkin dipisahkan lagi, akhirnya pihak keluarga Er menyetujui pinanganku.
Kami menikah dengan semua kemewahan adat. Tak kufikirkan lagi apapun perkataan orang lain. Apapun bisik undangan. Yang jelas akulah pemenang hati wanita yang kini menggandeng tanganku. Itu saja. Dadaku sudah busung sekali rasanya.
Kisah kami berlanjut pada malam pertama dan malam bercinta selanjutnya. jujur, aku takut dalam hal ini. sengaja setiap berhubungan aku matikan lampu dan membiarkan Er tak melihat apapun. Ini taktikku. Tak perlu kalian tahu.
Lalu setahun kemudian Er melahirkan anak pertama, namanya Hana. Dari bahasa Jepang berarti bunga. Dia cantik seperti Er. Tapi tak ada miripnya denganku. Ah, tak apalah. Anak Er, adalah anakku.
Itulah kenanganku tentang perjuanganku mendapatkan seorang Er. Kini Er, istriku itu terbujur lemah. Sudah seminggu dia tak makan, tak tidur dan berkata apa-apa padaku. Setiap hari dia hanya memanggil  Hana. Putri sulung kami yang tengah sekolah di luar kota. Dia tak mau aku mengurusi sakitnya.  Semakin hari keadaannya semaki buruk. Er yang dulu bersih, rapi dan selalu menciumi tanganku setiap pulang bekerja. Kini tampak lusuh, kurus, dan matanya menatap kosong. Suaranya meliuk-liuk tak jelas intonasi serta vokalnya. Tak lagi kulihat senyuman yang menghangatkan hatiku setiap lelah kurasakan.
Ah, aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Terlalu marah dia padaku, kurasa.   
Kuakui ini semua kesalahanku. Akulah yang membuatnya kini membenciku. Tanpa ku fikirkan aku bercerita padanya tentang siapa aku sebenarnya dan sepertinya dia takkan bisa menerima keadaan.
Kini, tangan yang dulu menemani setiap lelahku, tak bisa kegemai. Terlalu benci dia kurasa. hingga serasa najis saja jika kusentuh kulitnya.
Entahlah, tak tahu lagi harus kukatakan apa padanya kini.
***
Aku terperangah di pintu kamar saat menyilau istriku. Dia tegang. Lurus dan tangannya sudah rapih. Disamping wanitaku terselip kertas. Tak kuhiraukan. Kurangkul tubuh dingin itu. lalu kuurusi sampai tanah merah terakhir.
***
Lalu bibirku kering, mataku bengkak. Hidungku tak henti mengeluarkan cairan dari kemarin. Di tanganku masih tersibak kertas kusam yang kutemukan disamping er.
“dengan ini jelaslah bahwasanya anak kami Er, kami serahkan sebagai penebus hutang.” Begitu kalimat kertas kusam itu kubaca lagi.
“praaang…” kemudian darah mengucuri kepalaku dan gelap.

Jumat, 13 Desember 2013

Menjadi Tua dan Tersisih



Rasanya mereka terlalu jahat padaku akhir-akhir ini. celana dalamku kini tak lagi dari kain. Sudah berbusa. Tebal dan panas. Ah, apa ini. ‘peampers’ katanya. Aku tak suka. Selangkangku dikapitnya. Sakit gerah dan panas. Aku tak mengeluarkan air seni banyak-banyak. Toh makan dan minumku pun tak banyak. Kenapa aku disiksa , mereka menyegel duburku dengan pembalut besar berkaret itu.
***
Pukul lima subuh. Garin pun terdengar berbisik disini. Kali-kali mereka tak mau mengganggu para pesakit yang tengah beristirahat dalam kejang. Namun ibaratnya aku ini sudah terlalu paham panggilan Tuhan. Bahkan jika yang menjadi muazin surau sebongkah telur semut pun, akan terdengar olehku. Seperti yang kukatakan tadi. Aku sudah terlalu paham panggilan Tuhan.
“tak..tak..tak..” dari jauh terdengar tumit sepatu berjalan lambat. Bunyi ketukan yang sama dengan dua hari lalu. Sudah bisa kuprediksi kalau yangakan muncul adalah perawat gemuk ber-bra besar itu. aku suka bila dia yang melakukan pemeriksaan pagi. olahraga otot mata. Begitulah kufikir. Tapi kalian jangan salah. Tangannya yang besar cukup kuat mengapit lengan si renta macam aku. Jarinya yang jempol semua menekan daging pembalut tulangku. Kurasa tak perlu pakai …… (pengukurtensi)… dia akan tahu berapa kadar darah yang kumiliki saatitu dan betapa aku masih kuat dengan pompaan detak jantung yang luar biasa saat disentuhnya.
Usai denganku dia berpindah pada pasien disampingku. Lelaki renta. Tubuhnya hanya dibalut sehelai boksen tipis. Warnanya sudah sedikit kusam. Alasannya boksen itu ringan dan tidak membuatnya gerah. Terserah dialah.
Lelaki lanjut usia disampingku itu selalu saja mencari lawan dengan aku yang renta ini. aku marah sangat padanya. Tiap hari dia selalu saja dibawakan air, buah, makanan dan baju oleh anaknya. Dan istrinya, istrinya selalu saja mengipasinya, menyuapi si tua itu dengan makanan dan minuman bawaan anak mereka.
Kalau mereka sudah berkumpul bersama. Kendati ruangan yang ditempati si tua itu hanyalah bangsal sederhana di rumah sakit umum pemerintah, seakan menjadi ruang VIP saja buatnya. Si tua itu tersenyum walau sedikit dipaksa. Sedang saya. Anak saja enggan datang kesini. Kalaupun datang mereka hanya memberi saya uang, uang dan uang. Saya tak butuh itu. uang saya sudah banyak. Banyak sekali di bank sana. Kenapa mereka mengartikan kasih sayang hanya dengan uang?.
Istriku, ah.. Muanah.. muanah ooii… lihat lah suami kau Muanah. Kenapa kau begitu durhaka padaku. Kau pergi tanpa mengajakku dulu. Kau tak tahu betapa aku kesulitan menghabiskan sisa amanah ini seorang diri. Kau tak ada. kepada siapa cerita ini kuhempaskan Muanah. Ah, Muanah.. Muanah.. tega sekali kau padaku ini.Dulu seketika kita akan menjajaki kehidupan berdua, kau berjanji tak akan meninggalkanku sendiri. Tapi kau lihat kini inah?, aku terbujur dengan selang bening menancap ditanganku. Sendiri. Aih, percuma kutanya kau sekarang Inah, jawabanmu sudah kutebak. Pastilah kau akan menyalahkan takdir.
***
Duha sudah berlalu, kini jam sudah mengisyaratkan lapar padaku. Maklum, sakit diabetes membuatku harus sedikit lebih rajin berpuasa dibanding para ulama. Sekalipun hanya untuk berapa jam, kan namanya puasa juga. “jadwal makan, pukul 11:30”. Begitu tertera di papan kecil atas dipanku. Untuk sampai pada jam itu, aku masih harus menunggu sekitar 3 jam lagi.
Disini, menunggu makan jauh lebih mengasyikan disbanding dirumahku. Rumah seluas wisma itu serasa sangat mengikat perutku. Bagaimana tidak, didalam kulkas ada bayak bahan makanan tersedia. Didapur apa lagi. Peralatan masak, bumbu, dan banyak hal lainnya untuk meramu masakan tersedia. Kendalanya satu saja. Aku malas memasak. Untuk aku yang tinggal sebatang tubuh ini saja, haruskah aku jua yang menggiling cabai?. Aku jugakah yang akan dijajal minyak ikan nan meletup-letup?. Terlalu letih aku rasanya jika harus memasak juga.
Lebih baik kubeli makanan itu, kalaupun aku tak mampu membeli ikan, kerupuk jangek juga bisa menemani nasi bukan?. Tak perlulah mahal dan mewah. Yang jelas bisa mengganjal perutku.
Sekali waktu aku berfikir. Kenapa tak diberinya aku ini makanan oleh anakku?. Takutkah mereka aku akan mengusak makanan keluarganya. Kenapa mereka hanya membelikan kulkas besar itu sayur mayur dan protein-protein yang akan mudah busuk. Jelas mereka tahu tanganku tak kuat mengangkat kuali gorengan. “mereka fikir aku akan tetap mandiri sekalipun sudah tua begini,” ujarku kadang-kadang.
Pernah suatu ketika, Pasar Usang, kawasan rumahku, menjadi wisata banjir usai diguyur hujan sesiang-malaman. Tentulah aku tak bisa keluar persembunyian guna membeli makanan. Sekalipun kedai yang akan kutuju berada selangkah lebih dari depan rumahku. Terlalu dingin membuat urat kakiku kaku. Hingga cita-citaku mendapatkan sehelai rakik maco pupus sudah. Aku hanya bisa memagut guling sekuat mungkin. Agar tak terasa lagi perutku bergetar hebat ulah lapar.
Kali saja anakku memang terlalu sibuk, hingga mereka lupa aku selalu lapar jika waktu Zuhur dan Magrib tiba.
***
“kriing….” Bunyi meja berjalan milik petugas dapur rumah sakit. Pertanda waktu makan menghampiri bangsalku. Wadah segi empat berbahan alumunium kuterima. Cuih, nasi hambar lagi. “terimakasih telah mau menggantikan istriku,” ucapku dalam pada wanita yang menyuguhkan makanan padaku. Setidaknya bahasaku membuat makanan ini lebih manis. Hu,
Kupaksakan makanan lunak itu memasuki lorong tenggorokanku. Memualkan. Tapi akan lebih berbahaya jika aku tak makan.
Kau harus tahu, aku lebih memilih rumah sakit dibading panti jompo. Disini aku masih memandangi para perempuan dengan lelakinya. “sekedar mengenang masa muda,” celotehku dalam hati. Ya, biasanya aku hanya berceloteh dalam hati saja. Kadang kuanggap mereka aktris layar lebar. Haha, bagaimana tidak, berapa kali kuperhatikan orang-orang yang silih berganti menunggui sesosok tubuh. Saat didepan tubuh yang diikat selang infuse itu mereka menghiba-hiba, meratapi nasib si tubuh. Tapi cubalah dengar saat mereka sudah berada dibalik daun telinga si tubuh yang terbaring. Pokok utama pembicaraan mereka hanya satu hal. “bagaimana pembagian harta si tua itu,”. malang sekali kau pak tua, pak tua.
Namun semalang-malang pak tua yang digunjingkan, lebih malang aku yang tak pernah disapa. Bahkan lalat hijaupun enggan berdenging dikupingku. Kuanggap mereka yang diam saja adalah orang yang tak tahu bagaimana kayanya diriku. “kasihan sekali,” iba ku. Tapi lambat laun aku merasa iri juga. Kenapa tak ada yang mau menemaniku bercerita. Apakah aku terlalu cerewet?. Kurasa tidak. Lidahku sudah patah. Darah tinggi yang mengawani penyakit diabetesku membuat sebagian badanku mati.
Namun kenapa mereka tak mau mengajakku bercerita?. Aku ingin sedikit kosa kata saja selain ajakan makan dan minum obat melalui saluran pendengaranku.
Tampaknya bagiku berharap itu tak layak. Baiklah, aku akan diam saja.
***
 “kenapa pak tua itu?.” ujar salah seorang wanita dari balik ruang berbataskan tirai kain. “entahlah, mungkin sudah jerih nafasnya.” Sahut wanita disebelahnya. Lalu mereka sama berdo’a. entah apa yang didoakannya. Yang jelas mulutnya meruncing keluar dan kedalam.
Kurasakan kuku kakiku sudah tak berdarah lagi. Dingin. Haus. Dan aku mengharapkan suara anakku. “laaailahaillaaullah…” seorang berbaju koko memekakkan telingaku dengan kulimah yang sudah kubaca sejak minggu kemarin. “bantu saya, panggil anaknya.” Ujar si laki-laki berbaju koko. “setahu saya dia tak punya anak pak,” ujar suster disampingnya. ‘kau salah suster, anakku ada empat belas orang. Cucuku tiga puluh dua. Hanya saja mereka terlalu jijik masuk kedalam ruangan ini.’ jeritku dalam hati.
Kemudian si laki-laki menumbuk telingaku lagi dengan kalimat yang sama. Dan sesekali mengusap kepalaku yang sudah mulai dingin.
“aku anaknya pak,” samar-samar kulihat perempuan bertudung, ah itu suster yang sering kugoda. “pak…” katanya mendekat padaku. Tak lagi jantungku berdegub. Mataku saja yang nyalang terbelalak keatas. “saya sudah memaafkan bapak, sekarang  bapak ucapkan ‘Assyhaduallailahaillallah…” suara perempuan itu menenangkanku. Lalu lidahku berputar-putar dan nafasku mulai tak senggal. Dalam menghirup nafas ku bisikan dalam hati tentang istriku, kuharap kau tak marah karna telah kuselingkuhi diakhir hayatku. Semua karna kau terlalu cepat meinggalkan aku dan dunia karena paru-parumu yang busuk.  Kau tak tahu betapa hidupku sangat sulit saat tak kau temani.
Kau tahu, anak kita tak menjadi manusia karena aku tak bisa menghidupinya dengan sebelah hati. Muanah, temuilah aku disurga nanti. Kita diskusikan masalah ini. agar kaumku tak gegabah lagi dalam mencintai kaumu. Muanah, aku mencintaimu.
***
“innalillahi Wainna ilaihi Raji’un….”…..
                                                                                                           
                                    Padang, 14 desember 2013

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...