Sabtu, 14 September 2013

Takdir, terserah kau!!!




Takdir, terserah kau!!!

Rinai membasahi kota kelahiranku kala itu. suara “tess…” terdengar jelas dari aspal jalan yang sudah mengerang pada panas siang hari. Padang memang terlalu panas bulan juli ini. terlebih saat kau mencoba berjalan dari satu tempat ke tempat lain tanpa ada peneduh dikepala. Aku yakin akan terasa sedikit menyakitkan ubun-ubun. Seperti yang kurasakan hari ini.
Siapa bilang aku akan mengeluhkan cuaca hari ini. bukan, aku bukan mengeluhkan cuacanya. Kepalaku memang sedang berdenyut. Memikirkan semua yang mungkin kufikirkan. Terlalu banyak yang kufikirkan, kurasa begitu. Aku sadar tak baik demikian. Tapi bukankah berfikir begini lebih baik daripada harus bertatapan kosong di siang yang mulai memuakkan ini. yah, walaupun kepalaku sedikit tidak terima dan urat sarafku serasa mulai ditarik-tarik.
Apa yang kufikirkan?. Entahlah, ada-ada saja yang kubayangkan. Masa lalu dengan kenangannya, masa sekarang dengan semua masalahnya, dan masa depan dengan semua mimpiku. Mungkin aku pengimaji yang ulet. Aku bahkan bisa menerbangkan khayalan masalalukku ke masa depan. Hingga tersangkut-sangkutlah yang kufikirkan. Kadang menjadi suatu yang tak mungkin kurasa. haha, namanya juga khayalan.
Baiklah. Huruf-huruf ini sudah mulai membuatku geram. Akan kuceritakan sedikit tentang masa laluku.
Saat aku mejalani masa itu terasa begitu manis. Jika kuibaratkan mungkin akan serupa gula balok.kemanapun kau menjilatinya, akan selalu terasa manis. Manis. Manis dan manis. Terbuai jua aku dibuatnya. Hingga aku tak mau membuka mata saat semua hal memberitahuku bahwa aku telah keracunan pada manisnya kisahku.
Aku berhenti menjilat. Hatiku #jiahHATI, mulai dirubungi semut. Hilang sejengkal setiap detiknya. Hingga benar-benar tak ada hati. Jangan berharap aku akan selamat setelah hatiku diraup para pasukan kerdil itu. tidak. Aku tak bisa diselamatkan. Bahkan aku tak lagi meminum kopi dengan gula. “bahkan pahit begini lebih jelas,” keluhku pada cangkir usai meneguk air kopi tanpa apapun itu.
Ah, takdir.. sekarang terserah kau lah. Kunikmati saja.
***
Angin tak lagi malu-malu menampar wajah tak tirusku. Tamparan yang semakin melenyapkanku pada khalayan bodoh tengah hari bolong.
Setelah mulai berbaikan dengan badanku nan sempat ogah berdiri, kutelusuri lagi kisah selanjutnya.
Kau tahu, seekor kucing manis pemalu mendekatiku. Mengeluskan bulu-bulunya padaku. Bulu-bulu yang tak lebat. Tapi kurasakan hangat saat dia mulai mengitari kakiku.
padanan tiga warna di dahi, badan dan ekornya, menyentilku untuk sedikit bergurau dengannya. “kucing manja,” desahku sambil mengelus bulu-bulu teratur dibadannya.  si kucing menggeliat  manja saat tanganku mulai mengelus kepala hingga ujung ekor.  “ah, dasar…”
Lihatlah, matanya. Mata polos yang membuatku tak tahan. Aku ingin melarikan kucing ini saja. Sepertinya aku sudah jatuh cinta pada kehangatannya. Siapakah pemiliknya?. Adakah?. Jika iya, tentu aku akan meminta izin dahulu. Dan kukatakan “tuankah pemilik simanis ini?. dia telah membuatku kembali sadar. Masih ada sedikit hati yang bisa kuselamatkan. Dan izinkan kucing ini menemaniku memperbaiki keadaan.”
Dengar, jika memang ada pemiliknya. Dan aku dilarang memiliki kucing ini, “KULARIKAN SAJA…!!”. Haha, jahatkah?. Tak apa. Nanti kalau kucingnya sudah gemuk, ku kembalikan lagi.
Tapi…
untuk bisa tinggal bersama seekor kucing berparas cantik tentu tak semudah membuat telur dadar. Aku harus menjaga bulu indahnya, biar hangatnya tak berkurang. Aku harus menjaga kesehatannya, agar dia tak cepat mati dan meninggalkanku begitu saja. Agar dia tak malu memilki tuan seperti aku ini.
“Tentu, tentu saja. Semua sudah kuatur. Bahkan sebelum aku bertemu denganmu manis..” kataku. Kuharap kau bersabar. Akupun takkan meyia-nyiakan kamu. Kumisnya mulai naik turun seakan mengiyakan kataku. Hidungmu terlalu pesek, tapi aku suka warnanya. Sayang tak bisa kusapit dengan jari. Bagaimana kalau kuciumi saja. Haha, kucingpun malu.

S I A L….!!
Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Sibelang bermata kaca. Apa akalku menyembunyikan perasaan ini?.
Ah, kufikir tak terlalu masalah. Bahkan ibu sangkuriang bercinta dengan suaminya yang menyamar jadi anjing. Lalu apa salahnya jika aku berkekasihkan kucing manis ini?. tak ada yang salah bukan.
“aku yakin, sekitar empat tahun lagi, saat bulan purnama datang, kekasihku itu sudah berubah menjadi pangeran berkuda putih.” Ucapku mencari-cari alasan penguat.
Hai, kau manis. Maukah kau menjadi pangeran untukku?. Kurasa Tuhanpun tak akan mempermasalahkan hubungan kita. Asalkan kau berjanji padaku, jadilah pangeran bermahkota mutiara kelak. Aku berjanji, menemanimu berevolusi. J
***
Terlalu buas khayalanku siang ini. kurasa keadaan mendukung untuk tetap semena-mena pada imajinasi pemburuku. Ya, aku suka berburu. Berburu anggapan. Berburu sisi-sisi lain kehidupan lalu kuceritakan pada dunia tentang apa yang kudapat dari perburuan itu. seperti yang kau baca sekarang kira-kira. Inilah hasil buruanku.
Saat ini aku mulai lelah berfikir. Kepalaku serasa makin ditarik. Belum kumasuki zona masa depan. Lain waktu kita akan bercerita lagi. Mungkin lanjutan cerita tentang si kucing yang belakangan kuberi nama ‘B’. aku tak tahu sejauh mana dia bisa member ide tulisan di laman ini. kita nikmati saja lah, sembari berharap khalayan itu tak umpama bulu simanis yang mudah gugur saat kusentuh.
Haha, B… :D

Senin, 09 September 2013


STRUKTUR DAN EKSPRESI BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG KARYA MUHAMMAD SUBHAN
Oleh:
Novi Yenti
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
FBS Universitas Negeri Padang
ABSTRACT

 This article aimed to describe: (1) the structure of the novel Rinai Kabut Singgalang, by Muhammad Subhan, and (2) the  culture expression found in this novel. The data of this study were the texts of the novel that contain culture expression .Those data were collected descriptively through some stages, (1) read and mark the events and the characters’ behaviors which lead to the focus of the research, (2) mark parts of the novel that became the focus of research, and (3) record the data by noting down those which are related to the culture expression. The findings of the study were first, the plot of the novel moves forward, the main character is Fikri, the background of the novel is the setting of a place. The theme of this novel is an unrequited love, and the Analyzing perceptions and author’s feeling that combined in his literary (religion, social and feeling). Second, the culture expression found in this novel rinai kabut singgalang by Muhammad subhan are; a). the minang kabau cultured in this novel; b) Fact and author’s characters in the novel
Kata kunci: struktur; nilai; religius
Analyzing perceptions and author’s feeling that combined in his literary (religion, social and feeling).




A.    PENDAHULUAN

Novel rinai kabut singalang adalah novel pertama yang ditulis oleh Muhammad subhan.  Dengan teknik penulisan yang lincah dan gaya penyampaian yang lembut, penulis berhasil mengenalkan sosok sang tokoh dengan petualangan dan konflik yang penuh dengan pelajaran yang bermakna. Kehidupan yang berjalan dengan sedikit rumit dan penghadiran banyak konflik di awal pengisahan memberikan kesan betapa tokoh utama benar-benar seorang yang dihadirkan memiliki kisah yang unik dalam hidupnya. meski hidup dalam jalan yang terbilang sulit membuat semangat juang dari tokoh utama meletup-letup. Hal ini merupakan kepiawaian penulis dalam bercerita, segala kekurangan dan keterbatasan hidup bukan hanya sebagai sebuah ironi ataupun tragedi, melainkan dapat pula berbentuk ria dan suka cita, angan dan kebahagian serta segala masalah yang di hadirkan penulis untuk tokoh utama membuat kita belajar bahwa semua jalan hidup ini adalah dari Tuhan. Apakah hidup hanya diserahkan kepada kepasrahan dan ketidakberdayaan diri atau hidup harus dipenuhi dengan perjuangan dan pengharapan atas hasil yang terbaik dalam sejarah manusia.Melalui tokoh utama penulis menyampaikan betapa masalah itu benar-benar diberikan Tuhan sesuai batas kemampuan hambanya, dan setelah kesulitan itu aka nada kemudahan. Dari sekian panjang penceritaan, juga disertai ekspresi budaya yang menjadi latar novel ini.
Banyak dari keragaman budaya minangkabau yang juga diceritakan dan mempengaruhi tokoh utama dalam novel. Pembaca merupakan unsur penting dalam menilai sebuah karya, khususnya novel. Dalam hal ini penulis tertarik untuk meneliti ekspresi budaya minangkabau yang dihadirkan Muhammad subhan dalam karyanya rinai kabut singgalang. Tujuan penelitian ini adalah guna agar pembaca lebih menghayati kandungan ekspresi budaya minangkabau yang dihadirkan Muhammad subhan dalam dalam novelnya, sehingga dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Muhammad Subhan adalah penulis asal aceh yang memiliki darah minang. Lahir di Sumatra utara tanggal 3 desember tahun 198. Dia menamatkan pendidikan di smp negri 6 kruenggeukueh dan pendidikan SMA negeri 1 dewantara, kabupaten aceh utara. Profesi yang dilakoninya adalah sebagai jurnalis. Dia bekerja sebagai wartawan di sejumlah surat kabar di padang diantaranya; SKM gelora. Gelar reformasi, media watch, (2000-2003), harian haluan (2004-2010). Sejak april 2010 menjai pimpinan di media online www.korandigital.com yang berbasis kota serambi mekah padang panjang.
Perkara ekspresi budaya merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Dalam Luxemburg (96:1989) mengatakan bahwa sebuah teks dikatakan ekspresif apabila fungsi utama teks itu adalah mengungkapkan perasaan, pertimbangan dan sebagainya dalam diri seorang pengarang. Dalam ekspresi budaya dapat kita temukan.
Pertama, terlebih dahulu kita kaji mengenai  kritik ekspresif dalam sastra. Kritik ekspresif adalah kritik sastra yang memandang karya sastra sebagai ekspresi, curahan perasaan, atau imajinasi pengarang. Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus dalam hal ini cenderung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan pengelihatan mata batin pengarang/keadaan pikirannya. Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam novel karyanya.
Novel merupakan karya sastra yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Novel yang dihasilkan sastrawan merupakan alat komunikasi sosial bagi masyarakat yang harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan. Seorang sastrawan dalam sebuah karyanya ingin menyampaikan “sesuatu” kepada pembaca, sesuatu itu dapat berupa pesan, ide, ataupun opini.
 unsure pembentuk karya sastra terbagi dua yaitu intrinsic dan eksterisik. Menurut Muhardi dan Masanuddin (1992:20), unsur intrinsik dibedakan menjadi dua macam, yakni unsur utama dan unsur penunjang atau unsur tambahan. Unsur utama seperti penokohan, alur dan setting, ketiga unsur ini membentuk tema dan amanat. Sedangkan unsur penunjang seperti sudut pandang dan gaya bahasa. Atas dasar tersebut, dari segi struktur, penelitian ini hanya hanya membahas, alur, penokohan, latar atau setting, tema dan amanat.
Muhardi dan Hasanuddin (1992:24-26) mengatakan bahwa penokohan termasuk dalam masalah penamaan, pemeranan, keadan fisik, keadaan psikis, dan karakter. Bagian-bagian dari penokohan ini saling berhubungan dalam upaya membangun permasalahan fiksi. Senada dengan pendapat Muhardi dan Hasanuddin di atas, Atmazaki (2007:102) menyebutkan bahwa karakter atau tokoh adalah orang yang dilengkapi dengan kualitas moral dan watak yang diungkapkan oleh apa yang dikatakannya, dialog serta tindakan yang dilakukannya. Ada dua jenis tokoh dalam sastra naratif, yaitu tokoh utama dan tokoh sampingan.
Menurut Muhardi dan Hasanuddin, karakteristik alur dapat dibedakan menjadi konvensional dan inkonvensial. Alur konvensional adalah jika peristiwa yang disajikan lebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya peristiwa yang hadir sesudahnya. Peristiwa yang muncul kemudian, selalu menjadi akibat dari peristiwa yang diceritakan sebelumnya. Alur inkonvensional adalah peristiwa yang diceritakan kemudian menjadi penyebab dari peristiwa yang diceritakan sebelumnya atau peristiwa yang diceritakan lebih dahulu menjadi akibat dari peristiwa yang diceritakan sesudahnya.
Luxemburg dalam Atmazaki (2007:99) menyimpulkan bahwa plot/alur adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Dengan demikian, plot merupakan struktur tindakan yang diarahkan untuk menuju keberhasilan efek artistik dan emosional tertentu. Fungsi utama plot adalah agar cerita terasa sebagai cerita yang berkesinambungan dan mempunyai kaitan yang erat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain (Atmazaki, 2007:102).
Latar merupakan penanda identitas permasalahan fiksi yang mulai secara samar diperlihatkan alur atau penokohan. Latar memperjelas suasana, tempat dan waktu peristiwa itu berlaku. Latar memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan masalah fiksi, apakah fiksi mengungkapkan permasalahan tahun 20-an, atau 80-an, pagi, siang atau malam, di kota atau di desa, di perkampungan atau di hutan, berhubungan dengan kultur Minangkabau atau Sunda, permasalahan remaja atau dewasa, dan lain-lain (Muhardi dan Hasanuddin 1992:30).
Unsur-unsur latar menurut Nurgiantoro (2010:227), yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar atau setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Latar atau setting memperjelas pembaca untuk mengidentifikasi permasalahan fiksi. Secara langsung latar atau setting berkaitan dengan alur atau penokohan.
Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan oleh pengarang dalam karyanya. Tema merupakan hasil kongklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Amanat merupakan opini, kecenderungan dan visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya. Amanat dalam sebuah fiksi, bisa saja lebih dari satu, asalkan semua itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan kristalisasi dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, dan latar cerita (Muhardi dan Hasanuddin, 1992:38).


B.      METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Semi (1993:23), penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak mengutamakan pada angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris. Empiris berarti berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, dan pengamatan yang telah dilakukan. Berdasarkan tujuan penelitian dan permasalahan, metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik analisis isi. Penelitian kualitatif dengan metode deskriptif, artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena, bukan berupa angka atau koefisien tentang hubungan antar variabel. Penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung, membaca, memahami, mengidentifikasi, mencatat, dan mengumpulkan nilai religius yang ditemukan, yaitu nilai aqidah, syari’ah dan akhlak.
Data penelitian ini adalah bagian teks novel yang mengandung nilai ekspresi budaya minang kabau yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan. Nilai ekspresi budaya tersebut mencakup pada pengungkapan perasaan, pertimbangan, dan hal lainnya dalam diri pengarang yang dituangkan dalam novel. Hal tersebut dapat dilihat melalui perilaku tokoh utama  yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang.
Sumber data penelitian ini adalah novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan yang diterbitkan oleh penerbit Rahima Intermedia Publishing, pada bulan Januari 2011 dengan 396 halaman yang merupakan cetakan pertama. Setelah kedua data yang diteliti terkumpul, teknik pengabsahan data yang digunakan adalah teknik uraian rinci. Menurut Moleong (2005:338), teknik uraian rinci ini menuntut peneliti agar melaporkan hasil penelitiannya sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan konteks serta tempat penelitian diselenggarakan.


C.    PEMBAHASAN
a.      Sinopsis novel Rinai Kabut Singgalang
Dikisahkan, Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatra Barat) telah dicoret dari ranji silsilahnya lantaran nekad menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai “orang-datang”, “orang di pinggang”, “orang yang tak berurat-berakar”. Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf—pemuda yang dicintainya—di kota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orangtua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa (gila), lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat.
Luka serupa kelak juga dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum ke Padang, Fikri mencari mamaknya (paman) di Kajai, Pasaman. Di kampung asal ibunya itu, Fikri sempat merawat Safri pamannya yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh—dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri tewas dibunuh akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai hijrah ke Padang. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima—utamanya Ningsih (kakak Rahima)—bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan: Fikri “orang-datang”, “orang di pinggang”.
Remuk-redamnya perasaan Fikri bersamaan dengan luluh lantaknya Aceh, tanah asal Fikri, selepas mega bencana Gempa dan Tsunami (2004). Annisa, adik kandungnya digulung gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya. Ibu-bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Fikri hidup sebatangkara. Dan, begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Betapa tidak? Rahima telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya perempuan itu diboyong Ningsih ke Jakarta. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam kesendirian, dalam keterpiuhan perasaan lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam di kerak kepedihan.
Atas luka yang ditanggungkannya, Fikri sempat berkeinginan menenggelamkan dirinya ke laut. Tapi seorang sahabatnya Yusuf selalu hadir disaat ia berada pada titik kulminasi kejenuhan hidup. Yusuflah yang selalu memberikan semangat hingga Fikri mampu bangkit dari keterpurukan hidupnya. Di akhir kisahnya, Fikri digambarkan sebagai laki-laki yang terlahir kembali. Ia menjadi pengarang tersohor, bahkan salah satu novelnya difilmkan. Ia dipuja banyak orang. Kabar tentang keberhasilan Fikri itu membuat Ningsih (orang yang telah memisahkannya dengan Rahima), tak segan-segan menjilat ludah sendiri. Pada saat yang sama, Rahima sedang tertimpa masalah; suaminya menjadi tersangka korupsi, dan bunuh diri di penjara.
Sejatinya, rasa cinta Fikri pada Rahima tiada bakal punah, meski pengkhianatan itu sukar ia lupakan. Atas dasar itu pula Fikri memenuhi undangan Ningsih untuk datang ke Jakarta ketika Rahima yang telah menjanda mengalami sakit keras. Ningsih, hendak mempertemukan kembali “kasih tak sampai” yang telah membuat perasaan  Fikri-Rahima tercabik-cabik. Namun, kisah novel ini disudahi dengan cara sangat tragis, kepulangan Ningsih, Rahima, dan Fikri ke Padang ternyata bukan kepulangan yang membahagiakan. Pesawat yang mereka tumpangi tergelincir. Rahima selamat, tapi Fikri mengalami geger-otak, dan karena itu ia merasa tak memenuhi syarat lagi untuk menjadi suami Rahima. Ia meminta sahabat karibnya, Yusuf, untuk menikahi Rahima. Saat ijab-kabul pernikahan itu berlangsung, Fikri menghembuskan napas penghabisan. Atas permintaan Fikri, jasadnya dikubur di kaki gunung Singgalang yang selalu dijatuhi rinai dan kabut. Meski telah sah menjadi suami istri, Yusuf tak pernah menyentuh Rahima, perempuan itu tetap suci. Tiga bulan kemudian, Rahima menghembuskan napas terakhirnya setelah menderita suatu penyakit. Ia bermohon kepada Yusuf agar menguburkannya di samping pusara fikri.
b. Struktur Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan
Struktur novel RKS karya Muhammad Subhan ini terdiri dari alur, penokohan, latar, tema dan amanat. Alur novel RKS ini terdapat alur maju atau dengan kata lain alurnya progresif, dimana peristiwa-peristiwa dikisahkan secara kronologis.
Penghadiran peristiwa secara urut dan saling menyambung antara satu sama lainnya. peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa selanjutnya, atau secara runtun, cerita dimulai dari tahap awal, tengah, dan akhir. pengarang mula-mula menceritakan peristiwa demi peristiwa. Urutan alur tersebut adalah pengarang mulai melukiskan keadaan, kemudian peristiwa bergerak, lalu peristiwa mulai memuncak, selanjutnya peristiwa mencapai puncak (klimaks) dan akhirnya pengarang menciptakan alternatif penyelesaian.
Selanjutnya tokoh dalam novel RKS ini yaitu Fikri sebagai tokoh utama dan tokoh-tokoh lainnya sebagai tokoh tambahan. Latar pada novel RKS adalah secara umum latarnya di Padang, di rumah gadang Kajai Pasaman, di Bukittinggi, dan di Koto Baru Padangpanjang yang merupakan latar tempat. Latar waktu yang terdapat dalam novel ada siang, malam, seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, kemudian latar sosialnya mencerminkan latar sosial tokoh beragama Islam, latar sosial masyarakat yang baik seperti menjalin hubungan baik antar sesama umat yang beragama, bertakziah kerumah orang yang ditimpa musibah, tolong-menolong antar sesama. Latar tempat merupakan latar yang paling dominan digunakan dalam novel ini. Tema dari novel RKS ini adalah tentang kasih tak sampai.
Cinta Fikri yang tak sampai dengan Rahima, karena Fikri dianggap orang datang tidak beradat dan miskin harta. Kakak Rahima yang bernama Ningsih memisahkan mereka berdua, Rahima dipaksa untuk menikah dengan teman Ningsih lantaran hutang budi. Ningsih rela menjual harga diri adiknya demi mementingkan kehendaknya. Amanatnya adalah kita harus berserah diri kepada Allah dan sabar dalam menghadapi cobaan.
 c. Ekspresi Budaya Minang Kabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan
a). Budaya minang Kabau yang terkandung dalam novel
Ada banyak hal yang perlu dikaji saat berbicara mengenai budaya minang kabau.  menjadi Budaya berasal dari kata budi dan daya. Artinya kemampuan fikiran manusia dalam menjalankan kehidupannya. Di Minang Kabau banyak hal yang menjadi dasar pemikiranya. Baik dari segi adat, agama, dan pendidikan yang semuanya berbasis “alam takambang jadi guru”.
            Namun, Kali ini penulis hanya akan menganalisa kebudayaan minangkaau yang dicantumkan pengarang Muhammad Subhan novelnya Rinai Kabut Singgalang. Penganalisaan ini hanya sebatas persepsi-persepsi dan perasaan pengarang yang dikombinasikan dalam karya sastra ciptaannya. Baik itu dari segi agama, social, dan perasaan.
penceritaan novel yang berlatar di daerah minang kabau berawal dengan d  atangnya tokoh utama, Fikri, ke tempat kelahiran ibunya di Pasaman. kehidupan masyarakat Pasaman khususnya daerah Kajai diceritakan dengan sangat deskriptif oleh pengarang. mulai dari keadaan lingkungannya,pengarang menceritakan secara ringan dan rinci keadaan lingkungan daerah Kajai, Pasaman. bentuk gunung Talamau, sungai Batang Tongar, dan posisi rumah yang saling berjauhan namun tetap menjaga keaslian dan keasrian bentuknya.
            kehidupan sosial, dalam novel bagian awal pengarang menceritakan bagaimana interaksi antar satu dengan yang lain di kawasan Pasaman. dijelaskan  dalam halaman 51 ketika Fikri baru sampai di kampung Kajai, tempat kelahiran ibunya dan sambutan yang baik dari masyarakat sekitar. kehidupan beragama, tampak jelas dalam novel ini. bagaimana seorang Fikri berlaku dengan lingkungannya dan menjadi idola lewat seringnya dia menjadi muazin subuh di surau. kehidupan adat-istiadat juga digambarkan pengarang melalui cara musyawarah yang digambarkan masih kental di daerah Kajai, Pasaman. Dalam novelnya, pengarang mengatakan bahwa untuk meminta agar dia bisa menjaga dan merawat mamaknya yang mengalami gangguan jiwa di rumah, perlu dirundingkan terebih dahulu dengan semua peuka adat, agama, dan orang kampung. Pengarang menceritakan keadaan suatu latar dengan sangat detail.
Kemudian dilanjutkan dengan kisah perjalanan tokoh utama menuju kota Padang. Sama dengan bahasan pertama, kali ini pun pengarang menggunakan metode deskriptif dalam penceritaannya.
Berlanjut pada kisah tokoh utama yang sudah menetap di kota padang. Kota tujuan utama, pengarang dalam menggarap penceritaan novel lebih lanjut. Disini dideskripsikan lagi kebudayaan kota Padang dengan rinci. Mulai dari keamaian aktifitas masyarakatnya, kebiasaan masyarakat dan pandangan pengarang mengenai kota padang yang disertakan dalam karyanya.
b). Fakta dan watak khusus penulis dalam karyanya
            Muhammad Subhan lahir di Medan, namun dia memiliki darah Aceh-Minang. Ibunya merupakan orang Minang Kabau yang menikah dengan pendatang dari Aceh. Sedikitnya, penulis menjadikan kisah orang tuanya juga sebagai bahan tulisannya. Dapat ditemukan dalam tiga bab bagian awal novel. Dimana disana dijelaskan bahwa tokoh utama, Fikri, yang mengajukan niatnya hendak merantau dan melanjutkan pendidikannya ke Padang. Dari sanalah ibu Fikri, Maimunah, menceritakan kisah hidupnya.
            Seperti yang telah dicntumkan dari sekilas tentang penulis, Muhammad Subhan saat itu juga seorang mahasiswa semester akhir di Fakultas Dakwah Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam, Imam Bonjol Padang Panjang. Dalam novelnya juga dikisahkan bahwa Fikri, juga hendak melanjutkan pendidikannya dai salah satu universitas islam kota Padang. Meskipun kota yang ditujukan berbeda, namun sedikit banyak ada persamaan ide.
            Dalam halaman terakhir novel Rinai Kabut Singgalang, dicantumkan beberapa kegiatan yang tengah dilakoni oleh penulis. Salah satunya adalah menjadi koordinator Sanggar Sastra Siswa Rumah Puisi. Dari sana penulis menyimpulkan bahwa seorang Muhammad Subhan memiliki jiwa sastra yang kuat. Apalagi jika ditinjau dari segi bahasanya dia merupakan pencinta roman lama seperti roman siti nurbaya, dan roman-roman karangan buya hamka. Dalam novel juga ditemukan sedikit penjelasa mengenai hal itu. Terdapat dalah hlaman 117, saat sahabatnya Yusuf memberikan dua hadiah novel. Fikri terkesan sangat senang dan mengagumi pemberian tersebut.
            Pada halaman 246, pengarang mengisahkan bagaimana seorang Fikri menjadi penulis dan mengirimkan hasil tulisannya ke redaktur-reaktur Koran. Lalu pada halaman 253, diceritakan bagaimana Fikri menjadi penulis novel dan diundang penerbit novelnya ke Jakarta. Dalam catatan singkat dibelakang novel mengenai pengarang, juga di jelaskan bahwa Muhammad Subhan merupakan seorang wartawan di sejumlah media. Dari hal itu penulis berkesimpulan bahwa ide penceritaan tadi, juga melalui kisah seputar kewartawanan pengarang. Mengenai pengisahan bahwa tokoh utama dalam novel, Fikri, diundang oleh penerbit novelnya ke Jakarta. Penulis menyimpulkan hal ini juga berkaitan dengan kehidupan nyata pengarang yang juga baru menyelesaikan novel perdananya. Dalam catatan singkat di halaman akhir novel, pengarang menulis bahwa dia sering diundang dalam berbagai acara semacam seminar dan pelatihan jurnalistik di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi.
D. Simpulan dan Saran
Banyak hal yang dapat dipelajari dan diteladani dari keseluruhan isi novel RKS karya Muhammad Subhan. Dalam penelitian ini penulis hanya menganalisis ekspresi budaya minangkabau yang terdapat dalam novel RKS karya Muhammad Subhan. Bagi peneliti lain hendaknya dapat menelaah novel ini dengan analisis dari segi lainnya, seperti nilai sosial, budaya, pendidikan dan psikologi tokoh dalam novel ini akan menjadi hal yang sangat menarik untuk dikupas dan diteliti lebih rinci lagi. Kemudian membandingkan hasilnya dengan penelitian ini, agar pemahaman terhadap novel ini lebih mantap.
Bagi mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah khususnya dan pembaca umumnya, penelitian ini dapat memberikan gambaran dalam memahami karya sastra dalam menganalisis novel khususnya novel RKS karya Muhammad Subhan. Dengan adanya hasil penelitian ini dapat dijadikan contoh dalam menganalisis novel. Adapun bagi masyarakat umum, analisis ini juga perlu diterapkan, supaya lebih memahami kandungan nilai dan amanat yang terdapat dalam novel dengan lebih medalam sehingga dapat direalisasikan dalam kehidupan sehri-hari.
Catatan: artikel ini disusun berdasarkan penelitian untuk penulisan tugas dengan dosen pembimbing Yasnuar Asri.



Daftar rujukan
Atmazaki. 2007. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: UNP Press.
Luxemburg, jan van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Muhardi, dan Hasanuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Padang Press.
Semi, M. Atar. 1984. Anatomi Sastra. Padang: UNP.
Semi, M. Atar. 1993. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Bandung.
Subhan, Muhammad. 2011. Rinai Kabut Singgalang. Jakarta: PT Gramedia.



TUGAS AKHIR TELAAH PROSA
JURNAL ILMIAH

Mengenai: Kajian Sosiologis Masyarakat Minangkabau
dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan


Oleh:
Novi Yenti
NIM/TM: 1100903/2011
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia

Dosen Pembina:

Dr.  Yasnur Asri, M. Pd



FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
PADANG
2012


STRUKTUR DAN EKSPRESI BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG KARYA MUHAMMAD SUBHAN
Oleh:
Novi Yenti
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
FBS Universitas Negeri Padang

ABSTRAK
Salah satu masalah utama dalam bidang pendidikan dan kebudayan adalah masalah identitas kebangsaan. Dengan derasnya arus globalisasi dikhawatirkan budaya bangsa, khususnya budaya lokal akan mulai terkikis. Budaya asing kini kian mewabah dan mulai mengikis eksistensi budaya lokal yang sarat makna. Agar eksistensi budaya lokal tetap kukuh, maka diperlukan pemertahanan budaya lokal. Fenomena anak usia sekolah yang senang dengan budaya asing menjadikan kewaspadaan untuk mengangkat dan melestarikan budaya lokal agar menjadi bagian integratif dalam pemelajaran sastra di sekolah. Budaya lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan mencerminkan keadan sosial di wilayahnya. Beberapa hal yang termasuk budaya lokal diantaranya adalah cerita rakyat, lagu daerah, ritual kedaerahan, adat istiadat daerah, dan segala sesuatu yang bersifat kedaerahan. Dalam jurnal ini, penulis mencoba mengemukakan pentingnya menjadikan kekayaan lokal dalam bidang adat istiadat yang bersangkutan dengan nilai sosiologis dalam karya sastra agar dijadikan bahan pemelajaran sastra. Hal ini dilakukan dalam upaya penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal, seperti nilai religius, nilai moral, dan khususnya nilai kebangsaan. Pada akhirnya, penanaman nilai-nilai budaya lokal dalam pemelajaran sastra diharapkan akan mengimbangi pengaruh budaya asing yang semakin mewabah di masyarakat kita.
Kata kunci : Budaya lokal, pembelajaran sastra
A.    PENDAHULUAN

Novel Rinai Kabut Singalang adalah karya novel pertama yang ditulis oleh Muhammad Subhan.  Dengan teknik penulisan yang lincah dan gaya penyampaian yang lembut, penulis berhasil mengenalkan sosok sang tokoh dengan petualangan dan konflik yang penuh dengan pelajaran yang bermakna. Kehidupan yang berjalan dengan sedikit rumit dan penghadiran banyak konflik di awal pengisahan memberikan kesan betapa tokoh utama benar-benar seorang yang dihadirkan memiliki kisah yang unik dalam hidupnya. meski hidup dalam jalan yang terbilang sulit membuat semangat juang dari tokoh utama meletup-letup. Hal ini merupakan kepiawaian penulis dalam bercerita, segala kekurangan dan keterbatasan hidup bukan hanya sebagai sebuah ironi ataupun tragedi, melainkan dapat pula berbentuk ria dan suka cita, angan dan kebahagian serta segala masalah yang di hadirkan penulis untuk tokoh utama membuat kita belajar bahwa semua jalan hidup ini adalah dari Tuhan. Apakah hidup hanya diserahkan kepada kepasrahan dan ketidakberdayaan diri atau hidup harus dipenuhi dengan perjuangan dan pengharapan atas hasil yang terbaik dalam sejarah manusia.Melalui tokoh utama penulis menyampaikan betapa masalah itu benar-benar diberikan Tuhan sesuai batas kemampuan hambanya, dan setelah kesulitan itu aka nada kemudahan. Dari sekian panjang penceritaan, juga disertai ekspresi budaya yang menjadi latar novel ini.
Banyak dari keragaman budaya Minangkabau yang juga diceritakan dan mempengaruhi tokoh utama dalam novel. Pembaca merupakan unsur penting dalam menilai sebuah karya, khususnya novel. Dalam hal ini penulis tertarik untuk meneliti ekspresi budaya minangkabau yang dihadirkan Muhammad subhan dalam karyanya rinai kabut singgalang. Tujuan penelitian ini adalah guna agar pembaca lebih menghayati kandungan ekspresi budaya minangkabau yang dihadirkan Muhammad subhan dalam dalam novelnya, sehingga dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Muhammad Subhan adalah penulis asal aceh yang memiliki darah minang. Lahir di Sumatra utara tanggal 3 desember tahun 198. Dia menamatkan pendidikan di smp negri 6 kruenggeukueh dan pendidikan SMA negeri 1 dewantara, kabupaten aceh utara. Profesi yang dilakoninya adalah sebagai jurnalis. Dia bekerja sebagai wartawan di sejumlah surat kabar di padang diantaranya; SKM gelora. Gelar reformasi, media watch, (2000-2003), harian haluan (2004-2010). Sejak april 2010 menjai pimpinan di media online www.korandigital.com yang berbasis kota serambi mekah padang panjang.
Perkara ekspresi budaya merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Dalam Luxemburg (96:1989) mengatakan bahwa sebuah teks dikatakan ekspresif apabila fungsi utama teks itu adalah mengungkapkan perasaan, pertimbangan dan sebagainya dalam diri seorang pengarang. Dalam ekspresi budaya dapat kita temukan.
Pertama, terlebih dahulu kita kaji mengenai  kritik ekspresif dalam sastra. Kritik ekspresif adalah kritik sastra yang memandang karya sastra sebagai ekspresi, curahan perasaan, atau imajinasi pengarang. Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus dalam hal ini cenderung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan pengelihatan mata batin pengarang/keadaan pikirannya. Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam novel karyanya.
Novel merupakan karya sastra yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Novel yang dihasilkan sastrawan merupakan alat komunikasi sosial bagi masyarakat yang harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan. Seorang sastrawan dalam sebuah karyanya ingin menyampaikan “sesuatu” kepada pembaca, sesuatu itu dapat berupa pesan, ide, ataupun opini.
 unsur pembentuk karya sastra terbagi dua yaitu intrinsik dan eksterisik. Menurut Muhardi dan Hasanuddin (1992:20), unsur intrinsik dibedakan menjadi dua macam, yakni unsur utama dan unsur penunjang atau unsur tambahan. Unsur utama seperti penokohan, alur dan setting, ketiga unsur ini membentuk tema dan amanat. Sedangkan unsur penunjang seperti sudut pandang dan gaya bahasa. Atas dasar tersebut, dari segi struktur, penelitian ini hanya hanya membahas, alur, penokohan, latar atau setting, tema dan amanat.
Muhardi dan Hasanuddin (1992:24-26) mengatakan bahwa penokohan termasuk dalam masalah penamaan, pemeranan, keadan fisik, keadaan psikis, dan karakter. Bagian-bagian dari penokohan ini saling berhubungan dalam upaya membangun permasalahan fiksi. Senada dengan pendapat Muhardi dan Hasanuddin di atas, Atmazaki (2007:102) menyebutkan bahwa karakter atau tokoh adalah orang yang dilengkapi dengan kualitas moral dan watak yang diungkapkan oleh apa yang dikatakannya, dialog serta tindakan yang dilakukannya. Ada dua jenis tokoh dalam sastra naratif, yaitu tokoh utama dan tokoh sampingan.
Menurut Muhardi dan Hasanuddin, karakteristik alur dapat dibedakan menjadi konvensional dan inkonvensial. Alur konvensional adalah jika peristiwa yang disajikan lebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya peristiwa yang hadir sesudahnya. Peristiwa yang muncul kemudian, selalu menjadi akibat dari peristiwa yang diceritakan sebelumnya. Alur inkonvensional adalah peristiwa yang diceritakan kemudian menjadi penyebab dari peristiwa yang diceritakan sebelumnya atau peristiwa yang diceritakan lebih dahulu menjadi akibat dari peristiwa yang diceritakan sesudahnya.
Luxemburg dalam Atmazaki (2007:99) menyimpulkan bahwa plot/alur adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Dengan demikian, plot merupakan struktur tindakan yang diarahkan untuk menuju keberhasilan efek artistik dan emosional tertentu. Fungsi utama plot adalah agar cerita terasa sebagai cerita yang berkesinambungan dan mempunyai kaitan yang erat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain (Atmazaki, 2007:102).
Latar merupakan penanda identitas permasalahan fiksi yang mulai secara samar diperlihatkan alur atau penokohan. Latar memperjelas suasana, tempat dan waktu peristiwa itu berlaku. Latar memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan masalah fiksi, apakah fiksi mengungkapkan permasalahan tahun 20-an, atau 80-an, pagi, siang atau malam, di kota atau di desa, di perkampungan atau di hutan, berhubungan dengan kultur Minangkabau atau Sunda, permasalahan remaja atau dewasa, dan lain-lain (Muhardi dan Hasanuddin 1992:30).
Unsur-unsur latar menurut Nurgiantoro (2010:227), yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar atau setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Latar atau setting memperjelas pembaca untuk mengidentifikasi permasalahan fiksi. Secara langsung latar atau setting berkaitan dengan alur atau penokohan.
Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan oleh pengarang dalam karyanya. Tema merupakan hasil kongklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Amanat merupakan opini, kecenderungan dan visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya. Amanat dalam sebuah fiksi, bisa saja lebih dari satu, asalkan semua itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan kristalisasi dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, dan latar cerita (Muhardi dan Hasanuddin, 1992:38).


B.      METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Semi (1993:23), penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak mengutamakan pada angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris. Empiris berarti berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, dan pengamatan yang telah dilakukan. Berdasarkan tujuan penelitian dan permasalahan, metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik analisis isi. Penelitian kualitatif dengan metode deskriptif, artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena, bukan berupa angka atau koefisien tentang hubungan antar variabel. Penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung, membaca, memahami, mengidentifikasi, mencatat, dan mengumpulkan nilai religius yang ditemukan, yaitu nilai aqidah, syari’ah dan akhlak.
Data penelitian ini adalah bagian teks novel yang mengandung nilai ekspresi sosiologis masyarakat Minangkabau yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan. Nilai sosiologis tersebut mencakup pada struktur lingkungan, maslaha yang berhubungan dengan sosial, idealisme masyarakat dan realitasnya, dan hal lainnya dalam diri pengarang yang dituangkan dalam novel. Hal tersebut penulis fokuskan pada tokoh maimunah dan munaf  yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang.
Sumber data penelitian ini adalah novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan yang diterbitkan oleh penerbit Rahima Intermedia Publishing, pada bulan Januari 2011 dengan 396 halaman yang merupakan cetakan pertama. Setelah kedua data yang diteliti terkumpul, teknik pengabsahan data yang digunakan adalah teknik uraian rinci. Menurut Moleong (2005:338), teknik uraian rinci ini menuntut peneliti agar melaporkan hasil penelitiannya sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan konteks serta tempat penelitian diselenggarakan.


C.    PEMBAHASAN
a.      Mengenai Novel
a). Sinopsis novel Rinai Kabut Singgalang
Dikisahkan, Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatra Barat) telah dicoret dari ranji silsilahnya lantaran nekad menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai “orang-datang”, “orang di pinggang”, “orang yang tak berurat-berakar”. Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf—pemuda yang dicintainya—di kota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orangtua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa (gila), lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat.
Luka serupa kelak juga dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum ke Padang, Fikri mencari mamaknya (paman) di Kajai, Pasaman. Di kampung asal ibunya itu, Fikri sempat merawat Safri pamannya yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh—dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri tewas dibunuh akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai hijrah ke Padang. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima—utamanya Ningsih (kakak Rahima)—bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan: Fikri “orang-datang”, “orang di pinggang”.
Remuk-redamnya perasaan Fikri bersamaan dengan luluhlantaknya Aceh, tanah asal Fikri, selepas megabencana Gempa dan Tsunami (2004). Annisa, adik kandungnya digulung gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya. Ibu-bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Fikri hidup sebatangkara. Dan, begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Betapa tidak? Rahima telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya perempuan itu diboyong Ningsih ke Jakarta. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam kesendirian, dalam keterpiuhan perasaan lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam di kerak kepedihan.
Atas luka yang ditanggungkannya, Fikri sempat berkeinginan menenggelamkan dirinya ke laut. Tapi seorang sahabatnya Yusuf selalu hadir disaat ia berada pada titik kulminasi kejenuhan hidup. Yusuflah yang selalu memberikan semangat hingga Fikri mampu bangkit dari keterpurukan hidupnya. Di akhir kisahnya, Fikri digambarkan sebagai laki-laki yang terlahir kembali. Ia menjadi pengarang tersohor, bahkan salah satu novelnya difilmkan. Ia dipuja banyak orang. Kabar tentang keberhasilan Fikri itu membuat Ningsih (orang yang telah memisahkannya dengan Rahima), tak segan-segan menjilat ludah sendiri. Pada saat yang sama, Rahima sedang tertimpa masalah; suaminya menjadi tersangka korupsi, dan bunuh diri di penjara.
Sejatinya, rasa cinta Fikri pada Rahima tiada akan pernah punah, meski pengkhianatan itu sukar ia lupakan. Atas dasar itu pula Fikri memenuhi undangan Ningsih untuk datang ke Jakarta ketika Rahima yang telah menjanda mengalami sakit keras. Ningsih, hendak mempertemukan kembali “kasih tak sampai” yang telah membuat perasaan  Fikri-Rahima tercabik-cabik. Namun, kisah novel ini disudahi dengan cara sangat tragis, kepulangan Ningsih, Rahima, dan Fikri ke Padang ternyata bukan kepulangan yang membahagiakan. Pesawat yang mereka tumpangi tergelincir. Rahima selamat, tapi Fikri mengalami geger-otak, dan karena itu ia merasa tak memenuhi syarat lagi untuk menjadi suami Rahima. Ia meminta sahabat karibnya, Yusuf, untuk menikahi Rahima. Saat ijab-kabul pernikahan itu berlangsung, Fikri menghembuskan napas penghabisan. Atas permintaan Fikri, jasadnya dikubur di kaki gunung Singgalang yang selalu dijatuhi rinai dan kabut. Meski telah sah menjadi suami istri, Yusuf tak pernah menyentuh Rahima, perempuan itu tetap suci. Tiga bulan kemudian, Rahima menghembuskan napas terakhirnya setelah menderita suatu penyakit. Ia bermohon kepada Yusuf agar menguburkannya di samping pusara Fikri.
                  b). Struktur Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan
Struktur novel RKS karya Muhammad Subhan ini terdiri dari alur, penokohan, latar, tema dan amanat. Alur novel RKS ini terdapat alur maju atau dengan kata lain alurnya progresif, dimana peristiwa-peristiwa dikisahkan secara kronologis.
Penghadiran peristiwa secara urut dan saling menyambung antara satu sama lainnya. peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa selanjutnya, atau secara runtun, cerita dimulai dari tahap awal, tengah, dan akhir. pengarang mula-mula menceritakan peristiwa demi peristiwa. Urutan alur tersebut adalah pengarang mulai melukiskan keadaan, kemudian peristiwa bergerak, lalu peristiwa mulai memuncak, selanjutnya peristiwa mencapai puncak (klimaks) dan akhirnya pengarang menciptakan alternatif penyelesaian.
Selanjutnya tokoh dalam novel RKS ini yaitu Fikri sebagai tokoh utama dan tokoh-tokoh lainnya sebagai tokoh tambahan. Latar pada novel RKS adalah secara umum latarnya di Padang, di rumah gadang Kajai Pasaman, di Bukittinggi, dan di Koto Baru Padangpanjang yang merupakan latar tempat. Latar waktu yang terdapat dalam novel ada siang, malam, seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, kemudian latar sosialnya mencerminkan latar sosial tokoh beragama Islam, latar sosial masyarakat yang baik seperti menjalin hubungan baik antar sesama umat yang beragama, bertakziah kerumah orang yang ditimpa musibah, tolong-menolong antar sesama. Latar tempat merupakan latar yang paling dominan digunakan dalam novel ini. Tema dari novel RKS ini adalah tentang kasih tak sampai.
Cinta Fikri yang tak sampai dengan Rahima, karena Fikri dianggap orang datang tidak beradat dan miskin harta. Kakak Rahima yang bernama Ningsih memisahkan mereka berdua, Rahima dipaksa untuk menikah dengan teman Ningsih lantaran hutang budi. Ningsih rela menjual harga diri adiknya demi mementingkan kehendaknya. Amanatnya adalah kita harus berserah diri kepada Allah dan sabar dalam menghadapi cobaan.
b.      Realitas sosial masyarakat Minangkabau dalam Novel “Rinai Kabut Singgalang” karya Muhammad Subhan.

Kajian sosiologi selalu mengaitkan antara karya fiksi dengan penyelidikan system sosial masyarakat pendukungnya. Tujuannya tak lain adalah menguji sejauh mana kerelevanan cerita yang dibuat penulis dengan kehidupan masyarakat dengan konteks sosialnya masyarakat Minangkabau. Sehingga dari penyelidikan tersebut dapat diketahui bobot novel yang dituliskan Muhammad subhan dengan kajiannya tentang masyarakat minangkabau.
Untuk menjalankan pengujian tersebut, perlu dilakukan berapa langkah model analisis realitas sosial yang tercermin dalam sebuah karya fiksi. Langkah-langkah tersebut adalah: (1) menentukan latar cerita untuk mengetahui gambaran masyarakat yang menajdi topic cerita, (2) penentuan tokoh beserta perannya, (3) penentuan peran anatar tokoh yang terlibat untuk menentukan permasalahan cerita; (4) perumusan masalah berdasarkan hubungan antar peran;(5) mengmengkaji hubungan permasalahan yang dirumuskan, baik secara normative, secara fiktif, maupun secara objektif; dan (6) interprestasi data untuk menentukan tingkat kerelevanan antara realitas fiksi dengan realitas sosiobudaya masyarakat. Penerapan hasil analisis dari langkah-langkah kerja diatas adalah sebagai berikut.
1.      Penentuan latar
 Melalui berapa analisa, novel RKS mengungkapkan kehidupan tokoh utama mulai dari kehidupannya di Aceh. Dari penceritaan penulis diperkirakan babak pertama berlatarkan kehidupan masyarakat aceh pada saat perang saudara dan kecamuk GAM (Gabungan Aceh Merdeka) dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Hal demikian dapat dilihat kutipan novel berikut;
“ …… media massa nasional dan internasional menyorot Aceh, negeri yang terus banjir darah, karena perang saudara pecah, walau yang jadi korban selalu rakyat tak bersalah.
di tahun-tahun itulah, di masa perang brkecamuk dan tak kunjung usai, remaja itu menghabiskan hari-harinya. Di sebuah kampong kecil di pesisir pantai Aceh Utara.”
Kemudian penulis mengalurkan tokoh utama kepada perantauan, yaitu ke Sumatra barat. Penjelasan latar  dapat diambil dari kutipan novel RKS berikut ini;
….. perjalanan terasa sangat jauh. Ia tak tahu saat itu telah ada dimana. Yang ia tahu nbahwa ia tertidur pulas ketika bus memasuki kota Berastagi. Ditebak-tebaknya saja kalau-kalau kendaraan yang ditumpanginya itu sudah berada di perbatasan Sumatra Barat.”
Diperkirakan juga penulis mengungkap kehidupan pada tahun 2000-an. Dalam salah satu kutipan erpen dijelaskan tentang tsunami yang melanda Nanggroe aceh Darussalam dan sekitarnya, seperti kutipan dibawah ini.
….. tak ada lagi kiriman surat berikutnya yang dating dari aceh. Sebab, tanggal 26 desember 2004, hari minggu pagi, seluruh daratan aceh diguncang gempa bumi dahsayat disusul tsunami hebat. Air laut tumpah ruah kedarat. Menyapu semua rumah, tanaman, ternak, dan membinasakan ratusan ribu manusia. Fikri baru dapat menyaksikan tayangan berita tersebut beberapa hari setelah peristiwa itu tejadi.”

Permasalahan masyarakata pada taun 2000-an ini, juga dibatasi pengarang terhadap masyarakat minangkabau perantauan. Indikasi itu didapati degan pengambilan latar kota aceh, pasaman, padang, dan Jakarta sebagai tempat berlangsung peistiwa. Namun, pengarang hanya menjadikan berapa latar diluar minangkabau tersebut sebagai symbol penyebab perubahan sosial. Oleh sebab itu permasalahan dalam novel ini bisa saja berhubungan dengan pergeseran nilai budaya dan nilai sosial yang diamati atau dialami pengarang.
Dengan menentukan latar waktu dan latar tempat novel ini, dapat disimpulkan bahwa Muhammad subhan membicarakan seputar perubahan system sosial minangkabau. Perilaku tokoh dalam novel dan kaitannya dengan realitas sosial yang ada di masyarakat Minangkabau. Simpulan awal ini harus dilanjutkan dengan pengamatan data-data realitas objektif untuk dapat menjadi bukti selanjutnya.

2.      Penentuan peran dan hubungan antar peran
Sosok pribadi dalam masyarakat minang minangkabau tidak hanya memerankan satu peran saja. Disamping satu peran pokok masih banyak lagi peran yang dilakoni seseorang. Bisa dikatakan peran itu berbeda sesuai dengan lingkungan atau kelompok yang dimasukinya.  Misalnya, saat berada dirumah seorang bapak sebagai kepala keluarga dalam keluarganya, sebagai ayah bagi anak-anaknya dan sebagai suami bagi istrinya. Karya fiksi sebagai pencerminan tatanan kehidupan masyarakat, akan mengetengahkan berbagai peran yang diperankan tokoh cerita. Tidak ada dalam karya fiksi satu tokoh memerankan satu peran saja.
Dalam novel Rks seorang tokoh minimal menjalankan dua peran. Inventarisasi peran tokoh dalan novel RKS adalah sebagai berikut:
Tokoh
Peran
Fikri
Anak, kakak laki-laki, ipar, kemenakan, teman, sahabat, guru mengaji, kekasih, anak angkat, pengarang, pasien.

Maimunah
Ibu, istri, adik, sepupu, mertua, nenek.

Munar
Ayah, nelayan.

Anissa
Adik, istri, ibu.

Hasan
Suami, menantu, ipar.

Rahmah
Adik, istri.

Bu aisyah
Penumpang, ibu, anggota pengajian.

Mak tuo
Pedagang, sepupu.

Buyung
Anak.

Mak bujang
Mamak, suami, ayah, adik, anggota masyarakat.

Yusuf
Pemuda kampung, sahabat, kekasih, suami.

Pemuda kampung
Pemuda.

Sopir
Sopir.

Rahima
Anak, kekasih, adik, istri.
Bu Rohana
Ibu angkat, istri.

Pak usman
Ayah angkat, suami, nelayan.

Ustad rahman
Ustad, relawan.

Ningsih
Kakak, anak, istri, ibu.

Pak hartono
Penerbit.

Pramugari
Pramugari.

dokter
Dokter.

Dengan demikian, sebuah peran dapat saja diperankan oleh berapa tokoh sekaligus. Dalam hal penyelidikan  masalah perlu ditinjau kembali sudut peran yang dibubungkan dengan peran yang lain. Dari hal ini akan dapat diidentifikasi masalah dengan cepat. Seperti yang tertera pada tabel berikut:

Hubungan Antar Peran
Tokoh yang Terlibat
Anak- orang tua
(ayah-ibu)
Fikri-maimunah-munaf-annissa-rahmah
Buyung-mamak bujang
Bu aisyah-rahima-ningsih
Fikri-bu rohana- pak usman

Suami-istri
Maimunah-munaf
Annissa-hasan
Bu rohana-pak usman
Rahima-suaminya
Yusuf-rahima

Teman - teman
Fikri-yusuf
Yusuf-pemuda kampung

Kekasih (pr)- kekasih (lk)
Yusuf-halimah
Fikri- rahima

Mamak-kemenakan
Mak bujang-mamak safri- fikri

Penulis-penerbit
Fikri-pak hartono

Dokter-pasien
Rahima-dokter-fikri

Pengelompokan hubungan antar peran tersebut, sekaligus dapat di dipandang sebagai topik-topik yang dibicarakan pengarang dalam karyanya. Topik-topik ini membantu peneliti dalam menganalisa lebih dalam permasalahan yang diangkat pengarang dalam karyanya. Terdapat enam kandidat permasalahan yang dirumuskan. Jika hubungan antar peran itu tidak didukung oleh konflik, maka hubungan peran itu tidak dilanjutkan sebagai penanda adanya permasalahan.
Sebagai contoh adalah topik ke lima (5), penulis dengan penerbit yang tidak terdapat konflik diantara dua peran tersebut. Dalam penceritaan tidak ditemukannya permasalahan yang diangkat dari hubungan Fikri dengan pak Hartono. Diilustrasikan Fikri hanya merasa gembira karena novelnya diterbitkan pihak penerbit Jakarta. Maka dalam hal ini permasalahan hubungan kerjasama ini tidak bisa dilanjutkan sebagai permasalahan yang harus dikonfirmasikan dengan konteks sosial.
Mengikuti pola uji tersebut maka bersisa berapa topik diantaranya; (1) Anak- orang tua (ayah-ibu); (2) Suami-istri; (3) Teman – teman;(4) Kekasih (pr)- kekasih (lk); (5) Mamak-kemenakan. Sedangkan untuk topic (6) penulis dan penerbit dengan topik (7) dokter dan pasien, tidak dapat dilanjutkan, karena tidak memiliki permasalahan yang berdampak pada sosial. Topik-topik tersebut dianggap sebagai latar atau hanya mendukung peran.
Topik anak-orang tua (topik 1) didukung oleh beberapa tokoh, seperti Maimunah sebagai ibu dan Munaf sebagai ayah dari Fikri, Annisa, dan Rahmah. Tokoh bu Aisyah sebagai orang tua dari Rahima dan Ningsih. Serta tokoh bu Rohana dan pak Usman sebagai orang tua angkat Fikri saat menetap di kota Padang.
Topik suami istri di dukung oleh berapa peran diantaranya, Maimunah sebagai istri dan Munaf sebagai suami. Annisa dan Hasan, bu Rohana dengan pak Usman, Rahima dan suaminya, serta Yusuf dengan Rahima. Sedangkan tokoh Fikri tidak dapat dianggap mandukung topik ini karena tidak memilki ikatan suami dan istri dengan tokoh lain sehingga tidak menimbulkan konflik.
Topik teman-teman hanya di dukung oleh peran Fikri dengan Yusuf dan Yusuf dengan  pemuda kampung Kajai. Hubungan Fikri dan Yusuf tidak menimbulkan konflik.
Topik kekasih perempuan dengan kekasih laki-laki didukung oleh peran Yusuf dan Halimah, Fikri dengan Rahima. Kekasih perempuan dan kekasih laki-laki yang lebih menonjolkan konflik terlihat dari hubungan Fikri dan Rahima. Adapun hubungan Yusuf dan Halimah tidak menimbulkan konflik yang terlalu mendukung konflik ini.
Topik hubungan mamak dengan kemenakan di dukung oleh, Mamak Bujang dan Mamak Safri yang memiliki peran sebagai ninik mamak, sedangkan Fikri sebagai kemenakan. Mamak Bujang sebagai mamak jauh Fikri sedangkan Mamak Safri merupakan mamak kandung. hubungan dengan Mamak Bujang dikatakan tidak mendukung topik ini karena tidak menimbulkan konflik.
Topik hubungan penulis dengan penerbit hanya diperankan oleh Fikri dan pak Hartono. Hubungan ini tidak menimbulkan konflik.
Topik selanjutnya adalah hubungan pasien dengn dokter, diperankan oleh Rahima dan Fikri sebagai pasien dengan dokter yang merawatnya. Hubungan ini tidak menimbulkan konflik.
Dari tujuh topik diatas, penulis mengarahkan untuk membahas konflik yang dihasilkan dari hubungan suami istri yang di perankan oleh Maimunah dan Munaf. Dengan demikian, masalah yang ditimbulkan dari hubungan ini terlihat pada beberapa bahasan dalam novel yang menceritakan bahwasanya Maimunah menjadi orang terbuang dari kampung dikarenakan menikah dengan Munaf yang merupakan pendatang baru yang berdagang ke minangkabau. Adapun topik-topik lain yang juga memiliki permasalahan dari hasil hubungan satu tokoh dengan tokoh lain akan menjadi bahasan di lain waktu.
3. Masalah Pernikahan Eksogami
A.    Secara normatif
a.       Pernikahan di Minangkabau
 Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimanapun, perkawinan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga. Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian.
Perkawinan juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Berpilin duanya antara adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan. Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah diundangkan sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara. Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau. Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut :
1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.
2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.
 3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
 4. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.

 Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Selain dari itu masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang dan sebagainya. Tatakrama dan upacara adat perkawinan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa “Perkawinan itu sesuatu yang agung”, yang kini diyakini hanya “sekali” seumur hidup

b.      Pernikahan Eksogami
      Menurut ajaran Islam sebagai agama satu-satunya yang dianut orang Minang dikatakan bahwa ada 3 hal yang mutlak hanya diketahui dan ditentukan Tuhan untuk masing-masing kita. Pertama adalah umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun tahu kapan dia akan mati. Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya dituntut berikhtiar dan berusaha namun berapa rezeki yang akan diberikan kepada kita secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Ketiga adalah jodoh.  Apapun upaya yang dilakukan oleh anak manusia, bagaimanapun cintanya dia kepada seseorang, kalau Tuhan tidak mengizinkan, perkawinan tidak akan terlaksana. Sebaliknya kalau memang jodohnya, kenal dua minggupun, perkawinan dapat terjadi. Karena itu sebagai orang Islam kita hanya senantiasa berdoa semoga dipanjangkan umurnya, diberi rezeki yang banyak dan dientengkan jodohnya, disamping tetap berusaha mencari pasangan hidupnya. Sekalipun demikian masyarakatpun mempunyai peranan yang besar dalam penetapan jodoh. Dalam masyarakat Jawa misalnya, pemilihan jodoh hampir tidak ada pembatasan. Namun perkawinan antara saudara sekandung tetap tidak diperbolehkan.
Pada tiap masyarakat, orang memang harus kawin diluar batas suatu lingkungan tertentu. Perkawinan diluar batas tertentu ini disebut dengan istilah “eksogami”. Istilah eksogami ini mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif). Pengertian diluar batas lingkungan bisa diartikan luas namun bisa pula sangat sempit. Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau orang dilarang kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka kita sebut “eksogami keluarga batih”. Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga “marga” yang sama, disebut “eksogami marga”. Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari “nagari” yang sama, kita sebut dengan “eksogami nagari”.
Adat Minang menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun. Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis ibu”, maka disebut “eksogami matrilokal atau eksogami matrilinial”. Dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendekiawan, para pakar adat dan pecinta adat Minang dituntut untuk memberikan kata sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian kata serumpun ini yang akan diperlakukan dalam perkawinan di Minang kabau. Apakah “serumpun” itu sama dengan “samande”, “saparuik”, “sajurai”, “sasuku”, ataukah “sasuduik”.
Pengamatan kami membuktikan bahwa pengertian “serumpun” ini tidak sama di Minangkabau. Bahkan dalam satu nagari saja, pengertian ini tidak sama, sehingga sangat membingungkan masyarakat awam, apalagi generasi muda Minangkabau. Di nagari kubang di Luhak 50-Kota misalnya, pengetian serumpun disamakan dengan “sasuduik”. Yang dimaksudkan dengan “sasuduik” adalah satu kelompok dari beberapa “suku”. Misalnya “Suduik nan 5″, terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu suku Jambak, suku Pitopang, suku Kutianyir, suku Salo dan suku Banuhampu. Kelima buah suku ini dianggap serumpun, sehingga antara kelima buah suku itu tidak boleh dilakukan perkawinan. Kalau sampai terjadi bisa “dibuang sepanjang adat” karena dianggap perkawinan “endogami” atau perkawinan didalam rumpun sendiri, yang berlawanan dengan prinsip “eksogami” yang dianut di Minangkabau.
Tapi pengertian “sarumpun” sama dengan “sasuduik” ini tidak konsisten pula, sebab ternyata perkawinan sesama anggota dari “suduik nan 6″ dan sama-sama berasal dari suku “Caniago” dan dalam nagari yang sama, malah diperbolehkan. Pengertian “serumpun” yang tidak konsisten semacam ini, jelas akan sangat membingungkan anak kemenakan di Minangkabau dalam memahami adat perkawinan di Minangkabau. Pengertian serumpun yang tidak sama ini juga merupakan penghalang dalam mencari jodoh. Semakin luas atau semakin banyak suku yang terhimpun dalam “serumpun” semakin “sempit” arena perburuan mencari jodoh. Hal ini berakibat makin lama, makin sulit bagi muda-mudi mencari pasangan dalam lingkungan masyarakatnya sendiri. Misalnya bagi muda-mudi dari sudut nan 5 diatas, sangat musykil mencari jodoh di nagari Kubang itu. Ini adalah suatu realita yang dapat dibuktikan. Akibatnya banyak yang kawin ke luar “nagari”, bahkan sudah ada yang sampai ke luar negeri. Kami tidak mengatakan bahwa hal ini menunjukkan gejala yang baik, atau tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip “eksogami matrilinial” akan mandek sendiri, bila pengertian serumpun tidak segera direvisi dan diperkecil dari pengertian umum yang ada sekarang. Hal ini perlu segera dilakukan bila kita ingin melestarikan prinsip-prinsip pokok adat perkawinan Minangkabau khususnya.

B.     Secara Fiktif
Permasalahan perkawinan eksogami juga ditemukan dalam permasalahan yang diangkat Muhammad Subhan dalam novelnya RKS. Pernikahan Maimunah (ibu Fikri) dengan ayah Fikri, Munaf. MUNAF merupakan pendatang yang berasal dari daerah Aceh untuk berdagang di nagari Minangkabau. Maimunah dan Munaf kemudian saling jatuh hati lalu menjalin cinta secara diam-diam. Penulis jelaskan pada halaman 61-65 yang mengisahkan hubungan ayah dan ibu fikri pada waktu pernikahannya dilarang oleh ninik mamak pihak Maimunah.
 
            Seperti pembahasan sebelumnya, pihak ninik mamak Maimunah tidak setuju dengan pinangan yang diajukan pihak Munaf. Alasannya karena Munaf merupakan orang datang yang tidak diketahui asal-usul adatnya. Namun, pihak ninik mamak Maimunah berkilah dengan mengatakan telah datang pinangan dari kampung seberang untuk Maimunah.
Maimunah tidak terima dengan keputusan dari pihak ninik mamaknya memilih untuk ikut serta dengan Munaf ke daerah asalnya lalu menikah di sana. Kisah ini diketahui Fikri dari tuturan Mak Tuo dan Mak Bujang, saudara sepupu ibunya yang mendiami rumah gadang pusaka milik ibunya.
Sikap yang dialakukan oleh Maimunah dianggap aib keluarga, sehingga orang tua Maimunah menanggungkan malu di kampung. Begitu pula dengan kakak laki-lakinya, safri, menderita gangguan jiwa akibat tak kuasa menanggung beban malu keluarganya.
Maimunah pada akhirnya menetap di daerah Aceh bersama Munaf dan anak-anaknya. Hingga Fikri memutuskan untuk merantau ke Padang. Maimunah menyuruh Fikri mendatangi kampung halamannya di daerah Kajai, Pasaman Barat. Guna menemui mamak Safri dan menceritakan perihal dirinya.
Dari penceritaan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Maimunah akhirnya merasa terbuang dari kampung akibat perkawinan eksogami yang dilakukannya. Sedangkan di kampung halamannya terjadi konflik bathin keluarga Maimunah yang menanggungkan malu.

C.     Secara Objektif
Untuk mendapatkan data-data yang objektif perlu dilakukan obserfasi kelapangan terhadap perilaku sosial masyarakat minangkabau tersebut. Untuk kepentingan ini telah dilakukan penyebaran angket mengenai perkawinan eksogami di Minangkabau sesuai dengan masalah yang dirimuskan pada realitas fiktif. Sumber data merupakan berapa sampel dari masyarakat berbagai daerah Minangkabau seperti; Pesisir Selatan, Solok, Riau, Payakumbuh, Bukittinggi, Lintau, dan Padang. kriteria sampel, merupakan orang yang memahami perihal perkawinan di daerahnya masing-masing. Agar dapat menjadi acuan penelitian sosiologis masyarakat Minangkabau mengenai perkawinan eksogami.
Situasi umum pada ketaatan masyarakat dala menjalankan aturan perkawinan di Minangkabau adalah sebagai berikut: yang menyatakan masih taat pada aturan berunding dengan ninik mamak sebelum melakukan pencalonan suami atau istri sebanyak 75%; tanpa ninik mamak sebanyak 25% dewasa ini apakah masih dipertahankan larangan perkawinan endogamy: ya 85%; tidak 15% hukuman moral bagi pelanggar aturan adat perkawinan: diucilkan dari kampung 55%; keluar tatanan adat kampung 45%; tidak ada respon apa-apa 0%.
Dari data yang di kupulkan, dapat kita tarik kesimpulan  bahwa perkawinan eksogami tanpa persetujuan ninik mamak memang salah satu hal yang dilarang dalam adat. Jika perkawinan terus dilaksanakan maka akan terjadi diskriminasi di dalam lingkungan masyarakat setempat.
Perihal semakin berkurangnya pendangan masyarakat terhadap aturan perkawinan di Minangkabau, penulis menyimpulkan dikarenakan tiga bentuk, yakni: (1) tidak terasanya peranan ninik mamak dalam keluarga (41.7 %);(2) kurangnya pengarahan mengenai aturan perkawinan Minangkabau terhadap generasi mudanya (39.3%); (3) hukuman moral yang diberikan saat ini  sudah terkesan ringan (38.0%).
Jika perkawinan di Minangkabau tidak lagi mengacu pada kebudayaan yang sudah tertanam, maka responden memberikan dampak positif dan dampak negatifnya sebagai berikut: nilai matrilineal akan memudar dengan perlahan 57,9%; hilangnya rasa hormat terhadap kedudukan ninik mamak 42,1%. Sedangkan dampak positifnya jika peraturan perkawinan Minangkabau tetap dilestarikan adalah: semakin eratnya hubungan persaudaraan dalam pihak sasuduik atau sasuku 47,8%; idealitas dan identitas Minangkabau akan lebih terlihat 52,2%.
D.    Interprestasi data
Sebuah karya fiksi dapat dipandang sebagai jemabatan dunia normatif. Dimana karya fiksi di ibaratkan penggambaran kehidupan masyarakat pada suatu waktu. Karya fiksi harus menampilkan idealisme masyarakatnya, sekaligus menggambarkan realitas sosial masyarakat.
Novel RKS ditinjau dari penjelasan tadi, memenuhi kriteria tersebut. Dalam novel RKS, di jelaskan secara objektif idealisme serta realitasnya dalam kehidupan  masyarakat sebenarnya.  Penggambaran idealisme masyarakat Minangkabau dalam novel RKS, dapat ditemukan di tiap pembahasannya. Namun, kali ini penulis hanya akan membahas perihal perkawinan eksogami yang dilakukan ibu Fikri, Maimunah dengan Munaf, ayah Fikri.  Masalah timbul saat pihak ninik mamak Maimunah tidak merestui hubungan Maimunah dengan Munaf. Pembahasan mengenai masalah Maimunah dan Munaf emang tidak terlalu mendominasi. Namun, menjadi acuan bagi alur cerita selanjutnya.
Walaupun demikian, masalah perkawinan eksogami dan peranan ninik mamak di dalamnya berkaitan dengan realitas objektif. Hal ini di perjelas dengan pendapat responden yang menilai hanya sekitar 78,9% masyarakat Minangkabau yang masih mempertahankan udaya dan peraturan perkawinan di Minangkabau.
Novel RKS dapat dikatakan mewakili keadaan masyarakat pada masa sekarang ini. Peraturan mengenai perkawinan adat sudah tidak terlalu di hiraukan lagi. Sudah banyak terjadi pelanggaran dalan aturan perkawinan. Seperti halnya perkawinan endogami, yang melarang menikahi saudara satu suku.
Hukuman moral juga tidak terlalu berat, berbeda dengan keadaan yang dirasakan Maimunah saat memilih untuk pergi dan menikah dengan lelaki pilihannya. Walaupun tidak direstui pihka ninik mamak. Maimunah jadi orang terbuang dari kampungnya.


D.    PENUTUP
a.      Simpulan dan Saran
Banyak hal yang dapat dipelajari dan diteladani dari keseluruhan isi novel RKS karya Muhammad Subhan. Dalam penelitian ini penulis hanya mengkaji nilai sosiologis yang terkandung noovel RKS karya Muhammad Subhan. Bagi peneliti lain hendaknya dapat menelaah novel ini dengan analisis dari segi lainnya, seperti nilai ekspresif, budaya, pendidikan dan psikologi tokoh dalam novel ini akan menjadi hal yang sangat menarik untuk dikupas dan diteliti lebih rinci lagi. Kemudian membandingkan hasilnya dengan penelitian ini, agar pemahaman terhadap novel ini lebih mantap.
Bagi mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah khususnya dan pembaca umumnya, penelitian ini dapat memberikan gambaran dalam memahami karya sastra dalam menganalisis novel khususnya novel RKS karya Muhammad Subhan. Dengan adanya hasil penelitian ini dapat dijadikan contoh dalam menganalisis novel. Adapun bagi masyarakat umum, analisis ini juga perlu diterapkan, supaya lebih memahami kandungan nilai dan amanat yang terdapat dalam novel dengan lebih medalam sehingga dapat direalisasikan dalam kehidupan sehri-hari.
Catatan: artikel ini disusun berdasarkan penelitian untuk penulisan tugas dengan dosen pembimbing Yasnuar Asri.


KEPUSTAKAAN
Atmazaki. 2007. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: UNP Press.

Luxemburg, jan van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia.

Minang, Palanta. 2008. Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang. Wordpress.com (diakses 8 desember 2012)

Muhardi, dan Hasanuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Padang Press.

Semi, M. Atar. 1984. Anatomi Sastra. Padang: UNP.

Semi, M. Atar. 1993. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Bandung.

Subhan, Muhammad. 2011. Rinai Kabut Singgalang. Jakarta: PT Gramedia.



AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...