Abu
Bakar ditanyai oleh salah seorang sahabat, “ya Abu Bakar. Apakah yang membuatmu
demikian bijaksana?” lalu Abu Bakar menjawab. “entahlah, setiap kali aku
meminta kepada tuhan agar memberi sifat yang bijaksana padaku. Allah selalu
memberiku cobaan.”
Begitulah
cara Tuhan menjadikan Abu Bakar sosok yang bijaksana. Bakar berasal dari kata Baqa-bijaksana.
Saat
ini kembali kita dibelai masalah-masalah yang insyaallah semakin bertambah vase
beratnya. Semoga saja setelah permasalahan yang lahir ini akan menumbuhkan rasa
dewasa dan bijaksana yang luar biasa. Aamiin.
Begini
ceritanya, sebagai manusia tetunya tak semua keadaan aka nada di zona nyaman
dan aman. Sesekali aka nada jalan yang berliku, tanjakan bahkan jalan cacat. Aku
tengah berda di jalan cacat menuju tanjakan dan disambut jalan cacat lagi.
Sekali lagi saya berdo’a semoga ini benar-benar saya jadikan caramenjadi
dewasa.
“Anak
anda di keluarkan dari sekolah karena
melanggar aturan sekolah terkait asusila,” tegas seorang staaf pengajar di
salah satu sekolah swasta kampung saya. Orang tua mana yang akan baik-baik saja
mendengar hal demikian?. Sama dengan ibuku yang langsung tak stabil tensi dan
fisiknya usai pemberitahuan demikian.
Pasalnya si anak tak dibesarkan dalam lingkungan keluarga inti, dan tiba-tiba
beliau harus menerima berita demikian. Bibir ibu berubah keunguan. Matanya
jelas menampakkan guratan lelah, dengan lingkar hitam yang semakin jelas. Pucat. “pendarahan pulo baliak er?” Tanya
ayah. “iyo da,” jawab ibu lambat. Kemudian ayah menggas sepeda motor menuju
rumah.
***
Senja
hari, saat guratan merah nyaris hilang. “kenapa er?” Tanya ayah. “tampaknya
dunsanak sebelah sudah tahu masalah anak kita uda, saya takut mereka akan salah
info dan salah menyampaikan kepada yang lain uda.” “sudahlah, yang jelas anak
kita tak melakukan hal yang dituduhkan. Jangan takut. Kita tak salah. Ayah
menenangkan. “tapi bagaimana nanti dengan mental anak kita yang lain uda?.
mereka akan terganggu karena berita serupa ini.” er mulai terisak. “er, er…
takkah kau percaya Tuhan. Mari kita kiblatkan kesana balik.” Ayah merangkul ibu
yang semakin terguncang bdannya ulah menahan isak.
Dan
aku hanya menjadi penikmat drama Tuhan setelah semua yang kulakukan.
***
“praaaang….”
Piringan layang menghantam pintu kamar. Adik nomor tiga kembali mengamuk.
Agaknya dia tak terima pada pernyataanku tadi. Apa salahnya dengan omongan
singkat tentang seorang penjaja sayur yang memainkan ikek guna memberi efek banyak pada tiap ikat sayur. Bukankah
menyisipkan rumput dalam ikatan sayur sudah masuk korupsi?. Membohongi orang banyak. Bahasa
kasarnya curang. Atau rang kampungku bilang ciluih.
Tapi
adik ketiga mengatakan hal yang tak dalam pikiran saya. “kakak tak tahu betapa
orang disini sangat kesulitan ekonomi. Untuk mengecoh sedikit agar sayur mereka
bisa tampak banyak saja tidak boleh. Bagaimana dengan kau yang mengecoh orang
tua kita dengan pacaran dan mengabaikan sekolah kak?”
Lalu
dia lari kedalam kamar dan, “praaaang….” Piringan layang menghantam pintu
kamar.
***
Beberapa
hari dirumah membuat aku mulai tahu rasanya keluarga. Selama ini tinggal jauh
dari ibu membuat kami jarang berkomunikasi. Hah, lewat seluler sekalipun.
Mungkin akan terdengar lucu. Hanya dengan jarak sekiar 6 Km dan kami
jarang berkomunikasi. Sangat miris
memang, tapi tak memberi efek apa-apa. Kami tetap tahu status keluarga dan tak merasa kehilangan kehangatan keluarga.
Baru
kuakui wanita memang pencerita yang ulung. Lihatlah, tiga jam duduk bersama ibu
membuat kami membicarakan banyak hal. Bahkan sampai aku tak tahu lagi sopan
berbicara seperti apa.
Kuceritakan
semuanya kepada ibu, mulai dari yang kecil. Kebiasaan aku kalau sedang
bersekolah. Hingga hal yang tak kusangka akan kulepaskan begitu saja. Perihal
seorang perempuan yang sering menemui ayah di tempat kerjanya. Harusnya ini tak
kuceritakan. Biarlah ini menjadi rahasia kami saja. Tapi, ampuni saya Tuhan.
Ibu
kembali pucat, butir peluh dingin mulai membasahi wajah yang keriput lebih
cepat itu. mata yang semula membulat dan memejam ulah tertawa akan ceritaku,
kini merah. Lambat-lambat air mata itu merembes. Ah, wanita yang kupanggil ibu
menangis. Salahkah aku?. Kucoba membujuk, tapi terlambat. Ibu sudah dimakan
cemburu.
Sebentar
lagi ayah akan pulang.
Benar
saja, tak lama setelah aku bergumam demikian, terdengar motor tuanya. Reaksi
ibu berbeda dengan hari sebelumnya. Gelagat tak bagus mulai terdeteksi.
“Er,
Alhamdulillah.uda naiak satingkek dari jabatan patang. Tapi ado beberapa yang
harus diurus.” “uruslah, bukannyo uda sudah memiliki bini lain selain ambo.
Kalau uda sudah berpangkek tinggi, tantulah ambo tak terpakai lagi.” “apolah
yang kau bicarakan Er?” “terserah uda lah.” “Er, Masihkah kau cemburu padaku?.
Kau lupa sumpahku diatas al Quran padamu Er?” Er hanya diam menatap
langit-langit ruang makan.
Aku
menggigil menyaksikan orang tuaku bersitegang ulah laporan tanpa dasar dari
diriku.
Ah,
mulutku memang keterlaluan. Kadang ingin
rasanya aku mati saja agar mulut ini tak semakin besar hari ke hari.
Tapi tak bisa. Ada-ada saja yang menghalangiku untuk mengakhiri saja cerita
hidup.
***
Kudengar
siang tadi si sulung datang kerumah. Dari balik bilik kudengar dia mengonfirmasi yang terjadi dengan
orangtua kami. Agaknya memag akulah yang salah. Sulung selalu bisa menenangkan
ibu. Pantaslah dia dijadikan tokoh utama setelah ayah dan ibu. “tak perlulah
takut bu, kami sudah besar. takkan kami biarkan ayah menghancurkan keluarga
kita bu. Berhentilah mendengarkan omongan orang. Percantiklah dirimu bu, sudah
lama engkau melusuh bukan?” kudengar
pembicaraa mereka. Ibu tak menjawab, sudah pasti ibu mengangguk-anggukan
pernyataan si sulung.
“dan
untuk adikku itu bu, biarlah aku yang bicara dengannya nanti. Tak usahlah ibu
memikirkan banyak hal. Kembalikan saja montokmu dulu bu. Aku berharap ibu minta
maaf pada ayah. Bagaimanapun redho Tuhan untukmu ada pada ayah, bu.” Ah, sulung
selalu bisa mencubit manja hati ibu.
Setelah
itu diam.
Azan
magrib lewat sudah. Yang mengambil air wudhu sudah mengantri sekitar lima
orang. Bukan main ributnya. Kami berencana solat magrib berjemaah. Abang mengimami
jamaah kali ini. hingga akhir salam tahiyat akhir. Masih kurasakan deg degan
kesalahan. Sampai sulung bersalaman denganku dan memelukku. Dalam pelukannya
kudengar dia membisikkan sesuatu yang semakin malam jadi buah imang jelang tidur.
“kak
harap isa sudah dewasa dan bisa mnjago perasaan urang tuo kito. Ingeklah, urang
tuo kito tidak akan hiduik duo kali. Jadi pakailah waktu yang ado sebaik
mungkin. Paham?”
Aku
mengangguk tanda paham.
******N