Rabu, 19 Februari 2014

Untuk Ibu, Dari isa.



Abu Bakar ditanyai oleh salah seorang sahabat, “ya Abu Bakar. Apakah yang membuatmu demikian bijaksana?” lalu Abu Bakar menjawab. “entahlah, setiap kali aku meminta kepada tuhan agar memberi sifat yang bijaksana padaku. Allah selalu memberiku cobaan.”
Begitulah cara Tuhan menjadikan Abu Bakar sosok yang bijaksana. Bakar berasal dari kata Baqa-bijaksana.
Saat ini kembali kita dibelai masalah-masalah yang insyaallah semakin bertambah vase beratnya. Semoga saja setelah permasalahan yang lahir ini akan menumbuhkan rasa dewasa dan bijaksana yang luar biasa. Aamiin.
Begini ceritanya, sebagai manusia tetunya tak semua keadaan aka nada di zona nyaman dan aman. Sesekali aka nada jalan yang berliku, tanjakan bahkan jalan cacat. Aku tengah berda di jalan cacat menuju tanjakan dan disambut jalan cacat lagi. Sekali lagi saya berdo’a semoga ini benar-benar saya jadikan caramenjadi dewasa.
“Anak anda  di keluarkan dari sekolah karena melanggar aturan sekolah terkait asusila,” tegas seorang staaf pengajar di salah satu sekolah swasta kampung saya. Orang tua mana yang akan baik-baik saja mendengar hal demikian?. Sama dengan ibuku yang langsung tak stabil tensi dan fisiknya usai pemberitahuan demikian.  Pasalnya si anak tak dibesarkan dalam lingkungan keluarga inti, dan tiba-tiba beliau harus menerima berita demikian. Bibir ibu berubah keunguan. Matanya jelas menampakkan guratan lelah, dengan lingkar hitam yang semakin jelas.  Pucat. “pendarahan pulo baliak er?” Tanya ayah. “iyo da,” jawab ibu lambat. Kemudian ayah menggas sepeda motor menuju rumah.
***
Senja hari, saat guratan merah nyaris hilang. “kenapa er?” Tanya ayah. “tampaknya dunsanak sebelah sudah tahu masalah anak kita uda, saya takut mereka akan salah info dan salah menyampaikan kepada yang lain uda.” “sudahlah, yang jelas anak kita tak melakukan hal yang dituduhkan. Jangan takut. Kita tak salah. Ayah menenangkan. “tapi bagaimana nanti dengan mental anak kita yang lain uda?. mereka akan terganggu karena berita serupa ini.” er mulai terisak. “er, er… takkah kau percaya Tuhan. Mari kita kiblatkan kesana balik.” Ayah merangkul ibu yang semakin terguncang bdannya ulah menahan isak.
Dan aku hanya menjadi penikmat drama Tuhan setelah semua yang kulakukan.
***
“praaaang….” Piringan layang menghantam pintu kamar. Adik nomor tiga kembali mengamuk. Agaknya dia tak terima pada pernyataanku tadi. Apa salahnya dengan omongan singkat tentang seorang penjaja sayur yang memainkan ikek guna memberi efek banyak pada tiap ikat sayur. Bukankah menyisipkan rumput dalam ikatan sayur sudah masuk  korupsi?. Membohongi orang banyak. Bahasa kasarnya curang. Atau rang kampungku bilang ciluih.
Tapi adik ketiga mengatakan hal yang tak dalam pikiran saya. “kakak tak tahu betapa orang disini sangat kesulitan ekonomi. Untuk mengecoh sedikit agar sayur mereka bisa tampak banyak saja tidak boleh. Bagaimana dengan kau yang mengecoh orang tua kita dengan pacaran dan mengabaikan sekolah kak?”
Lalu dia lari kedalam kamar dan, “praaaang….” Piringan layang menghantam pintu kamar.
***
Beberapa hari dirumah membuat aku mulai tahu rasanya keluarga. Selama ini tinggal jauh dari ibu membuat kami jarang berkomunikasi. Hah, lewat seluler sekalipun. Mungkin akan terdengar lucu. Hanya dengan jarak sekiar 6 Km dan kami jarang  berkomunikasi. Sangat miris memang, tapi tak memberi efek apa-apa. Kami tetap tahu status keluarga  dan tak merasa kehilangan  kehangatan keluarga.
Baru kuakui wanita memang pencerita yang ulung. Lihatlah, tiga jam duduk bersama ibu membuat kami membicarakan banyak hal. Bahkan sampai aku tak tahu lagi sopan berbicara seperti apa.
Kuceritakan semuanya kepada ibu, mulai dari yang kecil. Kebiasaan aku kalau sedang bersekolah. Hingga hal yang tak kusangka akan kulepaskan begitu saja. Perihal seorang perempuan yang sering menemui ayah di tempat kerjanya. Harusnya ini tak kuceritakan. Biarlah ini menjadi rahasia kami saja. Tapi, ampuni saya Tuhan.
Ibu kembali pucat, butir peluh dingin mulai membasahi wajah yang keriput lebih cepat itu. mata yang semula membulat dan memejam ulah tertawa akan ceritaku, kini merah. Lambat-lambat air mata itu merembes. Ah, wanita yang kupanggil ibu menangis. Salahkah aku?. Kucoba membujuk, tapi terlambat. Ibu sudah dimakan cemburu.
Sebentar lagi ayah akan pulang.
Benar saja, tak lama setelah aku bergumam demikian, terdengar motor tuanya. Reaksi ibu berbeda dengan hari sebelumnya. Gelagat tak bagus mulai terdeteksi.
“Er, Alhamdulillah.uda naiak satingkek dari jabatan patang. Tapi ado beberapa yang harus diurus.” “uruslah, bukannyo uda sudah memiliki bini lain selain ambo. Kalau uda sudah berpangkek tinggi, tantulah ambo tak terpakai lagi.” “apolah yang kau bicarakan Er?” “terserah uda lah.” “Er, Masihkah kau cemburu padaku?. Kau lupa sumpahku diatas al Quran padamu Er?” Er hanya diam menatap langit-langit ruang makan.
Aku menggigil menyaksikan orang tuaku bersitegang ulah laporan tanpa dasar dari diriku.
Ah, mulutku memang keterlaluan. Kadang ingin  rasanya aku mati saja agar mulut ini tak semakin besar hari ke hari. Tapi tak bisa. Ada-ada saja yang menghalangiku untuk mengakhiri saja cerita hidup.
***
Kudengar siang tadi si sulung datang kerumah. Dari balik bilik kudengar  dia mengonfirmasi yang terjadi dengan orangtua kami. Agaknya memag akulah yang salah. Sulung selalu bisa menenangkan ibu. Pantaslah dia dijadikan tokoh utama setelah ayah dan ibu. “tak perlulah takut bu, kami sudah besar. takkan kami biarkan ayah menghancurkan keluarga kita bu. Berhentilah mendengarkan omongan orang. Percantiklah dirimu bu, sudah lama engkau melusuh bukan?”  kudengar pembicaraa mereka. Ibu tak menjawab, sudah pasti ibu mengangguk-anggukan pernyataan si sulung.
“dan untuk adikku itu bu, biarlah aku yang bicara dengannya nanti. Tak usahlah ibu memikirkan banyak hal. Kembalikan saja montokmu dulu bu. Aku berharap ibu minta maaf pada ayah. Bagaimanapun redho Tuhan untukmu ada pada ayah, bu.” Ah, sulung selalu bisa mencubit manja hati ibu.
Setelah itu diam.
Azan magrib lewat sudah. Yang mengambil air wudhu sudah mengantri sekitar lima orang. Bukan main ributnya. Kami berencana solat magrib berjemaah. Abang mengimami jamaah kali ini. hingga akhir salam tahiyat akhir. Masih kurasakan deg degan kesalahan. Sampai sulung bersalaman denganku dan memelukku. Dalam pelukannya kudengar dia membisikkan sesuatu yang semakin malam jadi buah imang jelang tidur.
“kak harap isa sudah dewasa dan bisa mnjago perasaan urang tuo kito. Ingeklah, urang tuo kito tidak akan hiduik duo kali. Jadi pakailah waktu yang ado sebaik mungkin. Paham?”
Aku mengangguk tanda paham.
 ******N

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...