Penulis: Novi Yenti, Sastra
Indonesia, UNP
Perut
buncit dielus lembut. Sebentar lagi aku akan sampai di perantauan. Negeri yang
selama ini jadi pusat pengiriman surat untuk dan dari seorang laki-laki. laki-laki
yang selalu ada dalam setiap do’a malamku. Siapa lagi kalau bukan ayah si
jabang.
Embun dingin membekas di kaca jendela bus kota. Suara musik Minang yang
kemarin sore diputar kencang sekarang sudah terdengar sayup-sayup.
Satu
jam lagi waktu subuh akan masuk. Hanya satu-satu kepala yang tegak. Selebihnya
sudah rebah tak beraturan. Ada yang terkulai ke belakang, menyender ke bahu
rekan di sampingnya, terpekur, mencium kursi di depannya atau sudah mengadu-adu kepala dengan kaca. Ada
mulutnya yang mengeluarkan bunyi dan ternganga. Ada pula yang tidur cantik.
Bahkan ada yang seperti bangun, tapi dia sudah tak sadarkan diri.
Disampingku
seorang wanita umur 56 tahun. Dia tidur mendengkur. Tak kalah keras dengan
lelaki berbadan bongsor di kursi sebelahnya.
Kukenalkan
padamu, wanita ini adalah mertuaku. Namanya Aya. Di keluarnganya beliaulah
generasi perempuan terakhir. Anaknya, Zal, menikahiku tahun lalu. dia
–mertuaku- sangat sayang padaku. Katanya
dia tak mempunyai anak perempuan. Dia
jualah yang berkeras hati mengajakku ketempat Zal. Selain beberapa
alasan yang memang membuatku sangat ingin menemui Zal. Aku juga tak ingin
melepas mertuaku pergi seorang diri saja ke ranah perantauan ini. Karena bukan
beliau saja yang rindu dengan laki-laki bermata bulat itu. Aku juga.
**A**
‘sreeet’
suara kertas berbalut lem berbunyi-bunyi saat kubalik per lembarnya. Senyumku
mengembang saat menatap tubuhku berbalut baju merah berias manik-manik itu.
sangat cantik. kepalaku diberati oleh benda semacam tembaga bermotif. Kau tahu suntiang? Subpakaian adat yang beratnya
membuat kepalamu sakit tiga hari. Itulah yang kukenakan saat acara sakral dulu.
Upacara pernikahanku.
Lelaki
yang bertahta di sebelah kananku itu adalah suamiku. namanya Zal. Dia adalah
kakak kelasku di SMA. Yah, selain seniorku, dia juga saudara jauh. Anak dari bako amak. Akhirnya aku dan dia menikah
14 Februari tahun lalu. kau tahu, tak mudah melabuhkan cinta kami. Maklumlah,
Zal baru saja putus kuliah. Aku disebut-sebut sebagai alasannya. Padahal bukan
begitu. Sungguh bukan begitu.
Kemarin
sore aku baru menerima surat dari Zal. Isinya manis sekali. Dia menitip peluk
dan cium untuk jabang bayi kami dan untukku juga tentunya. Zal sangat romantis.
Itulah yang membuatku luluh dan jatuh padanya.
Sudah
lebih tiga bulan kami hanya berkomunikasi lewat surat. Maklum, Zal memilih
jalan untuk merantau. Katanya di sini tak ada pekerjaan yang pantas untuknya.
Aku maklum saja, suamiku sangat suka merantau. Ranah jauh mana yang belum dia
tempuh? Bali? Jakarta? Medan? Atau Pekanbaru, semua sudah dicacahnya. Aku tak
ragu dengannya, selama dia pergi mencacah kota bertuah semacam yang kusebutkan
tadi, dia selalu kembali padaku.
Memang
sebelumnya aku tak pernah ragu untuknya. Bagiku kodrat seorang istri adalah
patuh dan menurut pada suami. Sebagai
istri, aku menjalankannya, kuharap suamiku tak kecewa padaku. Aku akan menjadi
istri yang patuh dan penurut.
Puas
melihat potret pernikahanku, kulayangkan pandangan ke rumah Rais. Dia baru saja
pulang dari Pekanbaru, perantauan yang sama dengan yang dilabuhi suamiku, Zal.
Dia pulang dengan istrinya, beserta dua orang anak. Anak Rais tentunya. Teman
SD sekaligus sepupuku ini memang menikah lebih dulu dariku.
Ah,
mengingat Rais-Pekanbaru-Anak, aku kembali merindukan Zal. Sedang apakah dia
saat ini?
**As**
Amak
Rais tergopoh-gopoh memanggil Amakku. Beliau langsung menuju dapur yang berada
di bagian belakang rumah. Seakan sudah paham tabiat amakku yang mematenkan
tengah hari sebagai waktu memasak. Mereka kulihat berbincang serius. Suara amak
Rais mendesis, membisikkan sesuatu yang bernada darurat pada amakku. Aku tak
peduli, hampir setiap hari dua orang tua itu melakukan ritual menggosip.
Mungkin siang ini juga ritual yang sama. Entah dosa siapa lagi akan di-karincangi nya.
Cukup
lama mereka menggosip. melewati waktu biasanya yang hanya dua sampai sepuluh
menit. Sekitar satu jam lebih amak Rais beradu muka dengan amakku di dapur.
Entah karena amak yang sadar masakannya hangus atau karena bahasan gossip
mereka habis, kulihat Amak Rais bergegas pulang. Saat melihatku duduk di
serambi depan. Aku tersenyum, tapi dia memandangku lama baru membalas senyumku.
Sedikit aneh, mungkin dia takut aku menguping pembicaraan mereka tadi.
Sepeninggal
amak Rais, amakku datang menghampiri aku. “Er, nanti sore, pergilah ketempat
mertuamu. Bawakan masakan yang amak buatkan ini.” kata amak padaku. “kenapa
mak? Sakitkah One da Zal?” tanyaku heran. Jelas aku heran, ini bukan Ramadhan
apa lagi Maulid. Dalam rangka apa aku mengantar masakan ke rumah mertuaku? “tidak, amak kepikiran beliau saja.” Tukas
Amak menaruh tangannya di perutku dan mengelusnya. “iya mak,” jawabku masih
dengan nada heran.
Amak
menyuruhku ke rumah One sore ini.
berarti ada waktu sekitar tiga jam untuk bersiap-siap. Aku akan menginap di
sana selama beberapa hari. begitu saran amak, agar anakku jadi merasa dekat
dengan bako-nya.
One,
begitu suamiku memanggil ibunya. Akupun juga ikut-ikutan memanggil one.
Sebenarnya panggilan one untuk kakak tertua. Tapi suamiku mendengar saudaranya
memanggil ibunya dengan sebutan One. Itulah alasan suamiku, Da Zal, memanggil
ibunya dengan panggilan one.
Rumah
One tak jauh, tapi tidak dekat pula. Aku harus naik angkot ke sana. Sebenarnya
bisa ditempuh dengan bejalan kaki. Tiga jam
perjalanan sampai. Tapi dalam keadaan hamil begini aku memilih naik
angkot saja. Mengandung anak manusia itu berat. Terlebih saat kandunganku
memasuki usia tua. Lagian, kalau naik angkot, aku bisa lebih hemat waktu dua
setengah jam.
Rumah
ber-cat kuning hambar itu tampak lengang. Maklum, hanya ada One dan apak, ayah
tiri suamiku. halamannya bersih, baru selesai disapu agaknya. Rumah ini tampak
lebih baru dari kondisi pertama kali aku ke sini. Dulu hanya satu ruang saja di
dalam rumah, sekarang sudah empat ruang.
Dari cerita da Zal aku tahu bahwa pensiunan veteran Apak menyelamatkan
keluarga One. Termasuk kondisi rumah ini.
“assalamu’alaikum
Ne,” salamku di hadapan pintu utama. “wa’alaikum salam, kau Er?” suara One
menyahut dari dalam. “iya…” jawabku cepat. Tampak One tergopoh-gopoh dari arah
dapur mengejarku. Menuntunku ke kursi tamu, serasa jadi anak kecil aku ini. mungkin
karena saatini aku tengah mengandung cucu pertamanya. Begitu gumamku.
One
menaruh segelas air putih di meja, tepat di hadapanku. Selama menjadi istri da
Zal, baru dua kali aku dihidangkan air minum. Pertama saat mula-mula ke tempat
ini. kedua sekarang. Terasa sedikit janggal.
“Er,
besok kita ke Pekanbaru…” One duduk di sampingku lamat-lambat sambil mengelus
punggungku. “ke Pekanbaru? Ada apa one? Apakah ada kabar buruk dari da Zal?
Tiba-tiba sekali one?” dadaku berdegub kencang. Perasaanku di goyang tiba-tiba.
Biasanya darahku memang selalu berdesir saat mendengar dan menyebut kata
Pekanbaru. Entah apa gerangannya, kali ini nama pekanbaru membuatku jantungan.
Mendengar
pertanyaanku yang bertubi, One terlihat risau. Minuman yang tadinya untukku
diminumnya sendiri. Air wajahnya berubah suram. Hatiku makin merasa ini memang
janggal. Sedikit salah tingkah aku melihat One menatap wajahku kemudian
menunduk.
Kudekati
beliau, mertua perempuanku memang terlalu rapuh jika mempersoalkan anak
bungsunya itu. maklum, saat umur da Zal 20 tahun, dia nyaris mati ulah menabrak
pohon kelapa. One tak pernah rela da Zal kenapa-kenapa setelah saat itu. “Ne, kenapa kita harus ke Pekanbaru besok?”
tanyaku lembut. Bukannya menjawab pertanyaanku, One malah memelukku erat.
Mendegar
isaknya, aku pun terisak. Pedih hatiku melihat perempuan yang menyetujui aku
menjadi menantunya ini menangis seperti itu. baru kali ini aku melihat One
dalam kesedihan demikian dalam.
**A**
“indak Ne, dia bukan
istriku,” laki-laki berkumis tipi situ
membentak wanita tua yang sudah meraung-raung di depan kelontong
tempat laki-laki itu bekerja. “Zal, dia
ini mengandung anakmu. Wak den yang
membawanya kesini, biar wa ang insaf Zal. Wa ang punya bini di Padang.” ratap si perempuan. “One yang salah, kenapa membawanya ke sini. Sudah
jelas aku di sini punya keluarga pula. Sudah tiga bulan lebih dia tak kunafkahi
lahir bathin, berarti dia bukan istriku lagi. Pulangkan dia kerumah amaknya.”
Laki-laki itu kini berlagak pinggang membuat perempuan yang dipanggilnya one
semakin meraung-raung.
“Zal, wanita jawa itu
sudah mengguna-guna wa ang nak,
ngucap Zal… ngucap nak…” tangan perempuan tua itu menyentuh dada. Raungannya
kini berubah menjadi isak. “terserah apapun kata One, agakpun makananku
dicampur dengan darah buruk biniku yang one katakan orang jawa itu. aku tak
peduli ne, aku akan tetap disini. One pulanglah ke Padang segera!” setelah
menyunggingkan bibir pada perempuan tua
yang masih terisak menyembah tanah, laki-laki pekerja toko kelontong itupun
meninggalkan tokonya. Berjalan hingga ke ujung simpang. Kemudian hilang.
**A**
Kulihat seluruh tempat
menjadi putih. Bau betadine sangat kental. Kenapa aku dirumah sakit ini? tadi
aku merasa perutku di koyak, sdan sekarang masih perih. Apakah tadi aku mimpi?
Tapi kenapa sekarang perutku sakit?
Apa yang terjadi
denganku terakhir kali?
Lalu hatiku merasa
tersondak penumbuk lesung. Bukan, bahkan lebih berat dan besar dari itu. ‘oh da
Zal, tega nian kau mencampakkan aku dengan cara begini…’mataku panas sama
dengan hatiku yang mendidih. ‘da Zal, bukan begitu cara membunuhku, bagaimana
jika pisau tadi mengenai anakmu? Apakah kau tidak sayang dengannya?’ oh, air
mataku mulai menderas. ‘da Zal…, Oh… Tuhan…’
Kupejamkan mataku
mencoba mengulum ngilu-ngilu di sekujur badan.
“Er…” sepasang tangan
kurasai mengamit telapak tanganku. Bukan
tangan laki-laki. “one?” “oh anakku, maafkan One Er… maafkan One selama ini
menyimpannya darimu, One takut akan mengganggu kandungamu Er…” air mataku makin
tak tertahan. Mengucur begitu saja, membasahi pipiku. Kumiringkan kepala,
berusaha mengelakkan pandangan dari wajah perempuan dihadapanku. “cucuku sudah
keluar dari rahimmu Er, terimakasih sudah mengandungnya.” Perempuan itu semakin
kuat menggenggam tanganku.
Aku masih diam.
“lekaslah pulih nak,
kita segera pulang dari sini.” Imbuhnya. Aku semakin tak berselera mendengarkan
perempuan ini.
Diam.
“mana anakku ne?”
kata-kata berhasil kukeluarkan setelah kesulitan melafaskannya.
“ada, lekaslah pulih.”
Ujarnya sambil mengusap kepalaku.
‘ah, one, apakah engkau
mau menipuku lagi setelah memberiku penulis surat palsu?’gumamku dendam.
Kepalaku seketika
sangat sakit. Sejumlah tangan seolah menarik rambutku kebanyak sisi. Sakit.
Kakiku mulai dingin. Kemudian tanganku dingin. Pandanganku kabur hingga aku
mendengar terikan “dokter… dokter….”.
Padang, 14 November 2011
SUT-O