Jumat, 21 November 2014

PEKANBARU


Penulis: Novi Yenti, Sastra Indonesia, UNP
Perut buncit dielus lembut. Sebentar lagi aku akan sampai di perantauan. Negeri yang selama ini jadi pusat pengiriman surat untuk dan dari seorang laki-laki. laki-laki yang selalu ada dalam setiap do’a malamku. Siapa lagi kalau bukan ayah si jabang.
 Embun dingin membekas  di kaca jendela bus kota. Suara musik Minang yang kemarin sore diputar kencang sekarang sudah terdengar sayup-sayup.
Satu jam lagi waktu subuh akan masuk. Hanya satu-satu kepala yang tegak. Selebihnya sudah rebah tak beraturan. Ada yang terkulai ke belakang, menyender ke bahu rekan di sampingnya, terpekur, mencium kursi di depannya atau  sudah mengadu-adu kepala dengan kaca. Ada mulutnya yang mengeluarkan bunyi dan ternganga. Ada pula yang tidur cantik. Bahkan ada yang seperti bangun, tapi dia sudah tak sadarkan diri.
Disampingku seorang wanita umur 56 tahun. Dia tidur mendengkur. Tak kalah keras dengan lelaki berbadan bongsor di kursi sebelahnya.
Kukenalkan padamu, wanita ini adalah mertuaku. Namanya Aya. Di keluarnganya beliaulah generasi perempuan terakhir. Anaknya, Zal, menikahiku tahun lalu. dia –mertuaku-  sangat sayang padaku. Katanya dia tak mempunyai anak perempuan.  Dia  jualah yang berkeras hati mengajakku ketempat Zal. Selain beberapa alasan yang memang membuatku sangat ingin menemui Zal. Aku juga tak ingin melepas mertuaku pergi seorang diri saja ke ranah perantauan ini. Karena bukan beliau saja yang rindu dengan laki-laki bermata bulat itu. Aku juga.
**A**
‘sreeet’ suara kertas berbalut lem berbunyi-bunyi saat kubalik per lembarnya. Senyumku mengembang saat menatap tubuhku berbalut baju merah berias manik-manik itu. sangat cantik. kepalaku diberati oleh benda semacam tembaga bermotif. Kau tahu suntiang? Subpakaian adat yang beratnya membuat kepalamu sakit tiga hari. Itulah yang kukenakan saat acara sakral dulu. Upacara pernikahanku.
Lelaki yang bertahta di sebelah kananku itu adalah suamiku. namanya Zal. Dia adalah kakak kelasku di SMA. Yah, selain seniorku, dia juga saudara jauh. Anak dari bako amak. Akhirnya aku dan dia menikah 14 Februari tahun lalu. kau tahu, tak mudah melabuhkan cinta kami. Maklumlah, Zal baru saja putus kuliah. Aku disebut-sebut sebagai alasannya. Padahal bukan begitu. Sungguh bukan begitu.
Kemarin sore aku baru menerima surat dari Zal. Isinya manis sekali. Dia menitip peluk dan cium untuk jabang bayi kami dan untukku juga tentunya. Zal sangat romantis. Itulah yang membuatku luluh dan jatuh padanya.
Sudah lebih tiga bulan kami hanya berkomunikasi lewat surat. Maklum, Zal memilih jalan untuk merantau. Katanya di sini tak ada pekerjaan yang pantas untuknya. Aku maklum saja, suamiku sangat suka merantau. Ranah jauh mana yang belum dia tempuh? Bali? Jakarta? Medan? Atau Pekanbaru, semua sudah dicacahnya. Aku tak ragu dengannya, selama dia pergi mencacah kota bertuah semacam yang kusebutkan tadi, dia selalu kembali padaku.
Memang sebelumnya aku tak pernah ragu untuknya. Bagiku kodrat seorang istri adalah patuh dan menurut pada suami.  Sebagai istri, aku menjalankannya, kuharap suamiku tak kecewa padaku. Aku akan menjadi istri yang patuh dan penurut.
Puas melihat potret pernikahanku, kulayangkan pandangan ke rumah Rais. Dia baru saja pulang dari Pekanbaru, perantauan yang sama dengan yang dilabuhi suamiku, Zal. Dia pulang dengan istrinya, beserta dua orang anak. Anak Rais tentunya. Teman SD sekaligus sepupuku ini memang menikah lebih dulu dariku.
Ah, mengingat Rais-Pekanbaru-Anak, aku kembali merindukan Zal. Sedang apakah dia saat ini?
**As**
Amak Rais tergopoh-gopoh memanggil Amakku. Beliau langsung menuju dapur yang berada di bagian belakang rumah. Seakan sudah paham tabiat amakku yang mematenkan tengah hari sebagai waktu memasak. Mereka kulihat berbincang serius. Suara amak Rais mendesis, membisikkan sesuatu yang bernada darurat pada amakku. Aku tak peduli, hampir setiap hari dua orang tua itu melakukan ritual menggosip. Mungkin siang ini juga ritual yang sama. Entah dosa siapa lagi akan di-karincangi nya.
Cukup lama mereka menggosip. melewati waktu biasanya yang hanya dua sampai sepuluh menit. Sekitar satu jam lebih amak Rais beradu muka dengan amakku di dapur. Entah karena amak yang sadar masakannya hangus atau karena bahasan gossip mereka habis, kulihat Amak Rais bergegas pulang. Saat melihatku duduk di serambi depan. Aku tersenyum, tapi dia memandangku lama baru membalas senyumku. Sedikit aneh, mungkin dia takut aku menguping pembicaraan mereka tadi.
Sepeninggal amak Rais, amakku datang menghampiri aku. “Er, nanti sore, pergilah ketempat mertuamu. Bawakan masakan yang amak buatkan ini.” kata amak padaku. “kenapa mak? Sakitkah One da Zal?” tanyaku heran. Jelas aku heran, ini bukan Ramadhan apa lagi Maulid. Dalam rangka apa aku mengantar masakan ke rumah mertuaku?  “tidak, amak kepikiran beliau saja.” Tukas Amak menaruh tangannya di perutku dan mengelusnya. “iya mak,” jawabku masih dengan nada heran.
Amak menyuruhku ke rumah One  sore ini. berarti ada waktu sekitar tiga jam untuk bersiap-siap. Aku akan menginap di sana selama beberapa hari. begitu saran amak, agar anakku jadi merasa dekat dengan bako-nya.
One, begitu suamiku memanggil ibunya. Akupun juga ikut-ikutan memanggil one. Sebenarnya panggilan one untuk kakak tertua. Tapi suamiku mendengar saudaranya memanggil ibunya dengan sebutan One. Itulah alasan suamiku, Da Zal, memanggil ibunya dengan panggilan one.
Rumah One tak jauh, tapi tidak dekat pula. Aku harus naik angkot ke sana. Sebenarnya bisa ditempuh dengan bejalan kaki. Tiga jam  perjalanan sampai. Tapi dalam keadaan hamil begini aku memilih naik angkot saja. Mengandung anak manusia itu berat. Terlebih saat kandunganku memasuki usia tua. Lagian, kalau naik angkot, aku bisa lebih hemat waktu dua setengah jam.
Rumah ber-cat kuning hambar itu tampak lengang. Maklum, hanya ada One dan apak, ayah tiri suamiku. halamannya bersih, baru selesai disapu agaknya. Rumah ini tampak lebih baru dari kondisi pertama kali aku ke sini. Dulu hanya satu ruang saja di dalam rumah, sekarang sudah empat ruang.  Dari cerita da Zal aku tahu bahwa pensiunan veteran Apak menyelamatkan keluarga One. Termasuk kondisi rumah ini.
“assalamu’alaikum Ne,” salamku di hadapan pintu utama. “wa’alaikum salam, kau Er?” suara One menyahut dari dalam. “iya…” jawabku cepat. Tampak One tergopoh-gopoh dari arah dapur mengejarku. Menuntunku ke kursi tamu, serasa jadi anak kecil aku ini. mungkin karena saatini aku tengah mengandung cucu pertamanya. Begitu gumamku.
One menaruh segelas air putih di meja, tepat di hadapanku. Selama menjadi istri da Zal, baru dua kali aku dihidangkan air minum. Pertama saat mula-mula ke tempat ini. kedua sekarang. Terasa sedikit janggal.
“Er, besok kita ke Pekanbaru…” One duduk di sampingku lamat-lambat sambil mengelus punggungku. “ke Pekanbaru? Ada apa one? Apakah ada kabar buruk dari da Zal? Tiba-tiba sekali one?” dadaku berdegub kencang. Perasaanku di goyang tiba-tiba. Biasanya darahku memang selalu berdesir saat mendengar dan menyebut kata Pekanbaru. Entah apa gerangannya, kali ini nama pekanbaru membuatku jantungan.
Mendengar pertanyaanku yang bertubi, One terlihat risau. Minuman yang tadinya untukku diminumnya sendiri. Air wajahnya berubah suram. Hatiku makin merasa ini memang janggal. Sedikit salah tingkah aku melihat One menatap wajahku kemudian menunduk.
Kudekati beliau, mertua perempuanku memang terlalu rapuh jika mempersoalkan anak bungsunya itu. maklum, saat umur da Zal 20 tahun, dia nyaris mati ulah menabrak pohon kelapa. One tak pernah rela da Zal kenapa-kenapa setelah saat itu.  “Ne, kenapa kita harus ke Pekanbaru besok?” tanyaku lembut. Bukannya menjawab pertanyaanku, One malah memelukku erat.
Mendegar isaknya, aku pun terisak. Pedih hatiku melihat perempuan yang menyetujui aku menjadi menantunya ini menangis seperti itu. baru kali ini aku melihat One dalam kesedihan demikian dalam.
**A**
“indak Ne, dia bukan istriku,” laki-laki berkumis tipi situ  membentak wanita tua yang sudah meraung-raung di depan kelontong tempat  laki-laki itu bekerja. “Zal, dia ini mengandung anakmu. Wak den yang membawanya kesini, biar  wa ang insaf Zal. Wa ang punya bini di Padang.” ratap si perempuan. “One  yang salah, kenapa membawanya ke sini. Sudah jelas aku di sini punya keluarga pula. Sudah tiga bulan lebih dia tak kunafkahi lahir bathin, berarti dia bukan istriku lagi. Pulangkan dia kerumah amaknya.” Laki-laki itu kini berlagak pinggang membuat perempuan yang dipanggilnya one semakin meraung-raung.
“Zal, wanita jawa itu sudah mengguna-guna wa ang nak, ngucap Zal… ngucap nak…” tangan perempuan tua itu menyentuh dada. Raungannya kini berubah menjadi isak. “terserah apapun kata One, agakpun makananku dicampur dengan darah buruk biniku yang one katakan orang jawa itu. aku tak peduli ne, aku akan tetap disini. One pulanglah ke Padang segera!” setelah menyunggingkan bibir pada perempuan  tua yang masih terisak menyembah tanah, laki-laki pekerja toko kelontong itupun meninggalkan tokonya. Berjalan hingga ke ujung simpang. Kemudian hilang.
**A**
Kulihat seluruh tempat menjadi putih. Bau betadine sangat kental. Kenapa aku dirumah sakit ini? tadi aku merasa perutku di koyak, sdan sekarang masih perih. Apakah tadi aku mimpi? Tapi kenapa sekarang perutku sakit?
Apa yang terjadi denganku terakhir kali?
Lalu hatiku merasa tersondak penumbuk lesung. Bukan, bahkan lebih berat dan besar dari itu. ‘oh da Zal, tega nian kau mencampakkan aku dengan cara begini…’mataku panas sama dengan hatiku yang mendidih. ‘da Zal, bukan begitu cara membunuhku, bagaimana jika pisau tadi mengenai anakmu? Apakah kau tidak sayang dengannya?’ oh, air mataku mulai menderas. ‘da Zal…, Oh… Tuhan…’
Kupejamkan mataku mencoba mengulum ngilu-ngilu di sekujur badan.
“Er…” sepasang tangan kurasai mengamit telapak tanganku.  Bukan tangan laki-laki. “one?” “oh anakku, maafkan One Er… maafkan One selama ini menyimpannya darimu, One takut akan mengganggu kandungamu Er…” air mataku makin tak tertahan. Mengucur begitu saja, membasahi pipiku. Kumiringkan kepala, berusaha mengelakkan pandangan dari wajah perempuan dihadapanku. “cucuku sudah keluar dari rahimmu Er, terimakasih sudah mengandungnya.” Perempuan itu semakin kuat menggenggam tanganku.
Aku masih diam.
“lekaslah pulih nak, kita segera pulang dari sini.” Imbuhnya. Aku semakin tak berselera mendengarkan perempuan ini.
Diam.
“mana anakku ne?” kata-kata berhasil kukeluarkan setelah kesulitan melafaskannya.
“ada, lekaslah pulih.” Ujarnya sambil mengusap kepalaku.
‘ah, one, apakah engkau mau menipuku lagi setelah memberiku penulis surat palsu?’gumamku dendam.
Kepalaku seketika sangat sakit. Sejumlah tangan seolah menarik rambutku kebanyak sisi. Sakit. Kakiku mulai dingin. Kemudian tanganku dingin. Pandanganku kabur hingga aku mendengar terikan “dokter… dokter….”.
                                                                                                            Padang, 14 November 2011
SUT-O

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...