Minggu, 12 Oktober 2014

Teruntuk B #3





Oke,aku bersyukur karena akhirnya kamu membaca blog-ku dan menyetujui aksiku.semula aku sangat ragu akan tindakanku memberi tahu dunia tentang cerita kita. Tapi, ahm… mugkin Dia memang Maha Tahu.
***

“oi kirei,” seru suara dari seberang. “eh, anuik, tumben nyapo? Hahahah” jawabku sekenanya. Teman SMA-ku yang satu ini memang rajin menelpon. Walau sering tak kuangkat, dia tetap dengan hati lapang menghadapi rekan masa lalunya yang sudah sok sibuk ini. sedikit pemberitahuan, temanku yang bernama lengkap Puspita Sari ini adalah istri dari Eko Rajo Batuah. Yep, doi sudah menikah, tepatnya di semester dua aku menjamah kuliah. 

Sari, selalu jadi rekan yang baik untuk curhat. Yah, walau akhirnya kadar curhatnya -wanita yang lebih suka dipanggil ‘anuik’ ini- lebih banyak. Aku maklum, maklumlah, wong yang nelpon dia.

Dengan sengaja Anuik membahas sesuatu yang ingin kucurhatkan. Tentang siapa lelaki yang bertahta dihati rekan sesama scorpionya ini. bagaimana anaknya, dan pertanyaan lebih rinci lagi. Hingga sampai pada satu pertanyaan yang aku tak tahu jawabannya. “bilo jadiannyo pi?”
Huaaa, jangan tanyakan itu, aku lupaaa… oh tidak, bukan lupa. Tepatnya aku tidak tahu kapan laki-laki itu mengungkapkan perasaannya dan aku menjawab “IYA…” setahuku ritual itu belum ada.

Yang ada malah kebalikannya.

Dengan nada misramolai kukisahkan pada sari hal serupa. Walhasil, dia menceracau padaku. Seolah dia paham seluruh alur ber-kawan-ku. “ang tatap takah itu, jan diagih angin kalau indak. Jaleh-jaleh lah malangkah tu.”

Aksi anuik membuyarkan keinginanku menjelaskan bahwa kali ini aku tidak sedang bernostalgia dengan sifat urakanku dimasa lalu. aku diam menikmati sari berwasiat. ‘sungguh sar, dari dulu aku hanya takut untuk banyak hal. Bukan aku jahat.’ Bela-ku dalam hati.

Setelah beberapa menit berwasiat, anuik tersenggal-senggal nafasnya. Dan kini ada jeda, giliranku mengutus peri bibir mengatupkan mulut si puspita sari. “ehm, sar, bilo eko junior lahia?”
dengan demikian dia mundur dengan teratur. Heheh, masalah ini tak akan dibahasnya. Kami akan berdebat darah jika masih berkomunikasi malam ini.


“pandai bana, yolah, mbo perjuangkan lu. Salaam” bip.
Heheh, cara yang manis menutup pembicaraan.


**B**

Setelah tidur terlalu malam, kini aku harus bangun terlalu pagi. Mata-ku harus melek untuk hari ini. bukan PJ wawancara yang jadi alasannya kali ini. hari ini aku ada agenda yang mungkin akan rilis lembar perdana dalam buku harianku. Dalam hidupku mungkin. Hohooo.

Azan subuh mesjid kampus mengguncang-guncang hatiku. Sisi baik dan sisi buruk saling adu pendapat untuk satu pertanyaanku ‘apakah masih boleh aku tidur?’

Tapi datang sebuah wangsit. “kamu ada janji..”

Ah, dasar, satu pernyataan yang mengharuskan aku harus segera ke kamar mandi. Membersihkan sekujur tubuh dan bauluak .

Sholat versi Subuh kelar sudah. Tinggallah menjalankan kewajiban lainnya. ‘dandan’. Eh, kok mesti dandan? Buat apa? Semalam kan nginap di Ganto, kok paginya mau cantik gitu? Biasanya kan ga’ mandi dan langsung pulang?
Heheee #nyengir#alasapi

Biasanya sih iya, kalau sudah nginap di ganto, aku akan pulang pagi. Berbekal cuci muka dan gosok gigi –yang kadang juga males- aku pulang dengan langkah loyo. Naik angkot trun angkot itu sangat melelahkan, percayalah. Tapi demi satu tujuan, aku mempertahankan langkahku. Dalam hati aku berteriak, “I wanna be LALOK…”

Kadang aku menamatkan misi. Sampai dengan selamat dan langsung tarik selimut. Tapi lebih sering aku kandas tengah jalan. Aku ketiduran di angkot. Belakangan aku sadar itu sangat memalukan.
Kita kembali.

Baju orange hambar, tas ransel berbahan kulit KW 14, jilbab orange, jaket –lebih mulia disebut baju kaos-, dan HP. Oke fix and toast.
Tidak cantik, tapi, untuk apa dandan cantik-cantik. Toh nanti juga amburadul gegara naik motor. #mencobamelawankaca

Aku sudah ada janji hari ini dengan seseorang. Berjenis kelamin laki-laki dan menurutnya dia yakin menyukai wanita. laki-laki ini memiliki ciri tinggi semampai (semeter -lebih dikit- sampai). Rambut ikal, alis tebal, bulu mata lentik, hidung mancung versi Kamang Magek, Dan memiliki banyak tahi lalat disekitaran wajah.

Singkat saja, secara umum laki-laki ini adalah rekan se-Asosiasi persma. Secara khusus, dia adalah pasanganku. Panggil saja namanya Surya. Aku selalu kesulitan menyebutkan deret konsonan yang ada huruf ‘r’-nya. Jadi panggilanku sedikit beda dengan kamu, ok?
Aku panggil dia, ‘Be’.
**B**
“kama Be?” pertanyaan pembuka pelumer kaku dan kikuk. “caliak selah beko?” jawaban yang sungguh tak memberi celah untuk mengucapkan “iyo Be? Serius kasitu? Aaa.. makassiii..”.

 Jawaban yang akhirnya memaksaku untuk sabar menunggu beko .
 
Jujur, ini adalah tantangan perdana usia 20 yang harus aku taklukan. Hueheheh. Untuk kali pertama aku pergi ke tujuan yang bahkan aku tidak tahu akan kemana bersama laki-laki yang baru kukenal berapa bulan lalu. sejak Raja pagaruyung, Adityawarman, wafat, aku tidak pernah keluar kota Padang tanpa ditemani keluarga.

Stang motor mengarah ke indarung, pertanda tujuan kami adalah solok dan sekitarnya.

Sekarang aku melawan ritme. Mencoba berpetualang meski dalam hati aku bingung akan bersikap seperti apa. Bagaimana jika dia lelah dan tidak sanggup nyetir. Aku ga bisa bawa motor non-matic. Bagaimana jika dia ngantuk dan butuh istirahat?

Akhirnya naluri induak-induak keluar begitu saja. Aku bercerita tentang ini tentang itu dan semua padanya. Berharap dia tak merasa jadi ‘supir’ dalam tour kali ini. sesekali dia mengingatkan aku untuk tidak menggunjing. Kadar induak-induak menurun.

Saat muluku mulai berbusa, dia bertanya“kok lapeh gitu caritonyo ka abang?”. “picayo je nyoh” just it dan diam.
**B**

Perjalanan berlanjut, dari sekian waktu berjalan kepastian ‘pergi kemana’ kudapati. Doi mau ke kawasan seribu rumah gadang yang ada di Solok Selatan. Perjalanan masih jauh dan aksi-aksi gajeku semakin membludak. Nyanyi ini itu-lah. Lalu ditanya maknanya, aku akan jawab semampunya. Dewasa ini aku sadar, itu adalah jawaban terbodoh yang pernah ada.

foto dari belakang lebih baik.
Entah ini ada dalam perencanaannya atau tidak, kami singgah di danau atas. Danau buatan yang katanya punya kembaran danau bawah ini terlihat lengang. Tak banyak yang kami lakukan di sini mengabadikan gambar. Dan, bagian polos lainnya. Em, bagian polos yang kumaksudkan adalah saat kami –ikut serta- memainkan permainan di taman main anak-anak. Seluncuran khususnya. Naik, kemudian merosot lagi. Naik, lalu turun. Sampai akhirnya kami tersangkut. Pertanda mainan ini bukan untuk umur kami. Kami pasrah dan turun.

Saat itu kami buta. Tepatnya mencoba menutup mata dari semua bocah imut dan lucu yang juga ngantri main seluncuran. -___-“

Tujuan utama masih beberapa jam lagi. Baiklah, power puff girl siap menenmani tuan purnama membelah belantara. Pokoknya kita sampai ke tujuan yang kamu maksud be.

Setelah bertanya kesana kemari, dan kami mulai lelah. Akhirnya jalan Tuhan terbuka. Gerbang ‘Kampung Seribu Rumah Gadang’ ternyata ada tepat di depan kami.
setelah delapan jam, akhirnya nemu ni gerbang.

Tak membuang waktu, kami tancap gas dan tugas si Be bertambah. Memberiku informasi tentang kawasan ini dan latar belakang tujuannya membawaku kesini.

Ehm, kuakui, aku ternganga dengan pemandangan yang disuguhkan. Ini INDAH! SUNGGUH! Kampung yang memang memiliki banyak rumah adat Minangkabau. mungkin tak cukup seribu. Tapi ada disini benar-benar membuat kamu berasa kembali ke masa Rohana Kudus –pejuang wanita minang- masih muda.

Kamu akan merasa benar-benar Minang disini. Tentunya dengan mengulum mentah-mentah beberapa kekurangan yang terlihat.
Pakai efek hitam-putih jadi kayak zaman doeloe bingits.
in nih, pemandangan disana yang patut diancungi ampu. :D

Perjalanan yang memang jalan-jalan. Si be yang juga manusia biasa akhirnya minta sejenak rehat. Baiklah, aku punya waktu wawancara dengan penduduk setempat.

Kamu harus tahu, wawancara tanpa ada ancangan narasumber pasti, sedikit menyulitkan kamu dalam mengarahkan topik. Seperti saat ini saja. Si narsum malah membahas anaknya ketimbang menjawab pertanyaanku tentang kawasan Seribu Rumah Gadang ini. peliknya lagi, saat hati ini sudah berderai karena hasil wawancara -harapan- tak terkantongi, kamu harus segera pulang. Yaaah…. Data yang sangat sedikit untuk bercerita di media. sulahlah, mungkin belum jodoh.
**B**

Kami telat makan, alhasil, bang merek rokok sakit perut. Padahal perjalanan pulang masih sekitar berpuluh kilo lagi. Kami masih di Solok Selatan. Belum merangkak keluarnya. Apa akal?
Mujurnya ini bisa diatasi. Lalu pulang.

Perjalanan pulang yang tak seindah ngalau sianok. Hujan Gerang menggetutus menngunci kami di jalan. Sesekali aku harus turun dan berjalan kaki, bukan aku ngambek. Tapi banyak badan jalan yang diperbaiki di sini.

Setelah memakai peranti anti hujan. Aku ingat. Dia –Be- mencemooh jaketku yang mungkin tak berfungsi menghalau dingin. Kukerahkan semua pendapatku tentang baju yang sudah kubawa menyebrangi selat sunda ini. sungguh dia mampu menyelamatkan aku dari dinginnya level 5 Air Condisioner bus 04 UNP.

Aku yakinkan dia bahwa dengan pakaian ini aku akan baik-baik saja. Dan aaah, tak disangka tak dinyana, pria itu mengeluarkan sweater putih, tebal dan langsung di pasangkan. Mengatup rapat pertahanan opini hamba. But, MAKASIII..

Cerita berlanjut dengan sepasang cucu Adam membelah hujan. Ah, tentang hujan. Kami punya banyak kisah menarik tentang hujan. Mungkin komunitas Hujan Malam Minggu  perlu rujukan ini. Hujan tak pernah memberi kami kesempatan menikmati perjalanan dengan sempurna. Selalu saja, jika kami ada janji, Hujan akan ikut ambil bagian.

Untuk komunitas Hujan Malam Minggu, mungkin perlu bertanya pada tuan Surya Purnama. “kenapa setiap kamu menggunakan stelan jeans Dongkeer T-S-B selalu turun Hujan?”

:D

Untuk semuanya di hari itu dan hari setelahnya, TERIMAKASIH Be.

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...