Senin, 17 September 2018

AKAD



Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” mengerubungi telinga saya. Seperti koor suara nyanyian vlad yang menegangkan lalu membubung bahagia.  Ini adalah sesi terakhir dari perjalanan taaruf saya bersama laki-laki bernama SURYA PURNAMA. Barusan dia memasangkan cincin ke jemari saya. Bukan jari manis kiri, tapi kanan. Saya sudah dihalalkannya.
Ini bukan proses mudah, beberapa kendala harus membuat jantung hamba deg degan. Jangan sigi kisah kami sebelum duduk berdua dihadapan KUA. Shamba ceritakan setengah jam sebelum kata SAH saksi pernikahan merontokkan ketegangan kami.
Bapak hamba, entah apa yang membuatnya begitu terbata-bata. Angku kadi sampai manggaritih karena kepolosannya meniru kesalahan. Hamba berpicing-picing ria. Menuntut kepada Tuhan semoga ini dimudahkan. Dalam uji coba ijab-kabul, ijabnya nggak bener-bener. Sampai pak KUA memasrahkan diri kemudian meminta untuk melangsungkan saja ijab-kabul sesungguhnya.
Dug... dug...... dug......
Lalu telapak tangan Apa bersentuhan dengan telapak tangan abang (beberapa saat lagi manggil UDA). “hai surya purnama, (iya pak) aku nikahkan anakku Novi Yenti dengan engkau dengan mahar seperangkat alat sholat, tunai.” Langsung disambar “saya terima menikahi anak kandung bapak dengan mahar tersebut tunai.” SAAAH...
“alhamdulillahirabbilalamin..... (Pak KUA melantunkan doa)
Syukur Apa tak mengulangi kesalahan pengucapan ijab. Rasanya apa?
Rasanya lega, sekarang ada suami. Eh ada suami?? Seringan itu saja hamba sudah punya labuhan doa. Semudah itu saja hamba memiliki laki-laki selain Bapak hamba yang harus dijaga kehormatannya. Semudah itu hamba sudah membuat rumpun baru. فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ...

Terima kasih Tuhan.
**B**

Buat semua wanita yang belum menikah, silahkan saja berharap pernikahannya mau seperti apa. Silahkan saja mendekor angan-angan sedemikian rupa. Wajar dan harus malahan. Kita musti punya mimpi supaya yang dikerjakan tertuju ke satu point.
Tapi..
Jangan berharap semua akan sempurna. Jangan.
Hamba sempet cerita sebelumnya bahwa kita Cuma bisa usaha, penentunya Tuhan. Dan Tuhan akan selalu campur tangan.
Oke, ini tentang perhelatan hamba.
Baralek, atau resepsi pernikahan yang hamba rencanakan hanya satu hari. Harus di perpanjang menjadi tiga hari. Alasannya? Segan dengan masyarakat lain aleknya Cuma sehari . ini alasan paling nybelein dan sulit dibantah. Sabda orangtua selalu paling benar. Padahal hamba sudah merunut kemampuan dan kesanggupan untuk ritual pamer-pamer ini.
Alek tiga hari juga harus dilakukan di rumah yang renovasinya keluar dari rancangan yang sudah hamba desainkan. Harapan mempertahankan rumah lama Amak pupus setelah langkan depan dibuang. #hanyaTuhanyangtahusedihnyahamba
Next, rencana resepsi sehari yang diaminkan menjadi tiga hari juga berdampak pada jumlah undangan yang sudah hamba siapkan. Jadi, maafkan hamba jika akhirnya hamba seolah menjadi tokoh sombong. Serius, nggak niat kayak gitu.
Mulai pukul 07.00 WIB, hamba sudah bersitungkin menyiapkan lokasi akad nikah. Kecuali nyiapin kasur dan rekan-rekannya. Hamba mulai nyiapin muka yang mau dibedakin. Jam 9 an, uni-uni tukang mik ap datang dengan koper besanya dia.
Kesian si uni mik ap.
Uni mik ap langsung ambil posisi. Molesin wajah hamba yang tidak terlalu halus permukaannya. Uni mik apnya temen satu organisasi yang juga junior calon laki. Beliau juga temen curhat selain konco palonco.
Tiga jam kemudian hamba sudah ancak dan siap dinikahi.  Lalu  si abang datang dengan kemeja poutihnya. Duh, kok deg degan nya sekarang ya?. hamba mau sembunyi biar nanti pas ketemu di depan KUA si calon laki panngling gituu.. etapi sepertinya itu hanyalah harapan belaka.
Dan tiba-tiba langit yang tadinya diam meringkik-ringkik. Angin seolah ingin mempelintir pucuk-pucuk kelapa. Lalu seperti yang sudah diprediksi, hujan turun dengan curah tinggi. Apalah daya  pelaminan yang onderdilnya sudah pada tua. Air hujan tetap membuat karpet dan kawan-kawannya basah. Pak KUA yang sedari tadi hamba nyinyirin berbalik ngomelin gara-gara beliau sudah basah-basah (dan lokasi akad juga basah).  Hamba lihat semua yang datang untuk tengok nikahan hamba tengah diuji kesabarannya, keikhlasannya dan setia kawannya.
Hamba bahagia dalam penderitaan mereka. Hahaha. Hamba merasa benar-benar memiliki keluarga besar. Hamba merasa ‘masih ada’ diantara mereka.
Keluarga calon laki juga mengalami nasib yang sama. Bedanya, mereka punya space khusus biar tidak basah-basah.
Jujur, hamba merasa berdosa. Apakah ini semua imbas dari sikap tidak mau patuh hamba selama ini? Betapa kata-kata itu memang menjelma jadi do’a.
Hamba adalah anyangers aktif. Nggak ada weekend tanpa anyang. Did you know anyang? Itu loh, jambua ir + nenas + bengkoang + kuah kacang pake cabe kutu super banyak? Rujak . bukan.. anyang!! Yang kalo kamu makan anyang deket rumah hamba bersama para padusi perawan lainnya akan dikata-katain “we alah, ujan labek baralek kawu bekoooooo” lah kalau makan rujak mah biasa.
Rujak dapat ditemukan di Taplau atau di abang tukang buah. Sedangkan anyang dapat kamu produksi dengan menjarah parak urang!. #iklan

Kali karena sering dijampi jampi dengan kata diatas maka fenomena menyebalkan ini harus ada. Setelah menikah, saya belum sempat memanggil laki dengan panggilan yang mesra dan benar “uda...” masih agak geli-geli risih mengeja tiga fonem tersebut.
Kami, hamba, Pak Surya dan antek-antek hamba (baca: anak daro pengiring) di gotong menuju Balai-baru.
Babako, rundown acara selanjutnya yang harus dituntaskan.
Babako adalah acara arak-arak yang diselenggarakan pihak bako (kali ini bako hamba) , keluarga ayah, untuk anak pisang , hamba. Arak-arakan dengan iringan kasidah  ini bisa menggunakan kuda, mobil,  odong-odong, dan berjalan kaki. Lumrahnya sih berkuda atau jalan kaki. Dan hamba berjalan kaki.
Dulu, sebelum harus menjadi tokoh utama dalam arak-arakan bako. Hamba tidak suka dengan ritual ini. Rasanya ribet, buang waktu dan malu.
Tapi setelah diwajibkan menjadi aktor utamanya, hamba tahu, bahwa prosesi ini adalah wujud kebanggaan keluarga dari pihak ayah untuk kita. Penghargaan dari mereka bahwa kita sudah menyelesaikan masa lajang dengan baik dan mendapatkan restu untuk membuat “rumpun” baru.
Dalam arak-arakan akan terselip rasa, mereka menyayangimu.
**B**

Kali ini hamba haru menghiba-hiba, meminta izin Tuhan agar mau berbaik hati menghilangkan hujan. Kasian adik-adik yang akan mengiringi arakan. Perjuangan mereka sudah luar biasa. Mereka sudah bersedia duduk di bagasi (gara-gara ga muat). Jangan sampai harus sakit karena hujan.
Empat orang adik hamba, enong, Laila, Satria dan Iklas adalah tim yang tidak terpilih.  Mereka harus jadi dayang dayang hamba selama di arak. Meskipun mereka bahagia dibedakin dan pakai baju anak daro. Hamba yakin, setelah melihat album pernikahan nanti, mereka akan mengutuki diri sendiri, nyzl, kzl. Sisanya dititahkan untuk bersiap di beberapa titik. Dio, Ica dan Eci mereka harus bagi tanggung jawab supaya acara berjalan lancar.
Dio di bagian humas, transportasi, keamanan dan perlengkapan
Eci di bagian konsumsi, acara dan sesekali perlengkapan
Kemudian ica harus mengurusi cabang pusat (rumah uwak) gegara seluruh kami sudah sibuk di rumah Ama.

Hujan masih tetap keras kepala. Walaupun curahnya sudah ringan rintikan air masih saja membuat galau.
Kemudian hamba berpikir keras, bagaimana cara berarak  yang lokasi Startnya banjir semata kaki. “kira-kira sepatu hamba kuat nggak ya?” “nanti gatal-gatal gimana” “kalau tajilapak gimana” “badak hilang gimana?” dan masih banyak gimana lainnya.
Walhasil dengan lobi semampunya dan Izin Tuhan, lokasi arakan dimajukan sedikit artinya jarak tempuh makin deketh..
Yes!
**B**
“malam-malam baiko yo mamak
Malam malam bainai yo sayang”
Ini merupakan kode dari tim kasidah bahwa kami sudah sampai di klimaks acara.
Makaaaaan... hamba sudah lapar dari tadi
Eh tapi hamba harus mengikuti satu ritual lagi. Dan ini wajib. Ini menyenangkan...
Sesi poto-poto..

Eh, kok agak grogi gitu deket-deket abang sur yaah??


*bauleh

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...