Jumat, 29 Januari 2016

Surau Uwo



“Alif duo diateh an, alif duo di bawah in, alif duo di dapan un... annn.. innn.. unnn..” suarak laila dan kawan-kawannya memenuhi ruang tengah rumah uwo. Ruang tengah rumah kayu itu adalah tempat aku , kakak, abang dan adikku laila mengaji. Kami tidak mengaji bersama. Waktu mengaji kami beda. Iya, karena anak surek gadang dan anak surek ketek dipisah jam mengajinya. “supaya bisa berpacu dengan kawan sama surek ketek” begitu kata uwo. Aku sendiri masih surek gadang. Hari ini anak surek gadang masuk malam. Aku hanya membantu uwo menunjuki kaji adik-adik di surau.
****
 Uwo, demikian kami memanggilnya. Perempuan bertubuh subur itu adalah guru mengaji kami. Tidak hanya aku dan saudaraku yang diajarinya mengaji.  Emak dulu juga mengaji disana. Emak yakin, sistem mengaji yang diajarkan uwo sangat bagus. Buktinya, banyak anak didik uwo yang menjadi guru mengaji sekarang. Menurut amak, uwo , tak hanya mengajarkan baca tulis al Quran,tapi juga akhlak muridnya. Saat aku masih surek ketek, kawan sepengajianku tak hanya kawan main sekampung. Anak kampung sebelah dan kampung hilir juga mengaji disini.
Rumah  uwo yang kami sebut surau hanyalah rumah kayu lama. Disana  Uwo tinggal bersama suami dan emaknya yang sering kami panggil uwak. Uwo memiliki seorang anak perempuan, tapi itu dulu. Sekarang anak perempuan uwo sudah tiada. Anak perempuan uwo sudah lama meninggal dunia.
Menurutku, sewaktu masih surek ketek, uwo adalah guru yang kejam. Kalau  kami berbicara saat menghafal kaji kami di perciki air. Parahnya kalau kami tak dapat kaji setelah “menyeleweng” saat menghafal kaji, kami kan dihadiahi rotan. Oh bukan, kami permanis dengan kata roti agar tak terlalu menyakitkan. Ketahuilah, rasa malu teramat sangat akan menampar  kami kalau kamitak bisa melafaskan kaji dengan benar. Jika makhraj ayat salah, roti sedia mencium kulit kami.
Emakku tak pernah memarahi uwo atas apa yang terjadi padaku. Bagaimanapun pengaduanku dirumah, uwo akan selalu benar. Alih-alih emak atau ayah membelaku, mereka akan balik memarahi aku atau berceramah panjang atas aduanku tadi.
Uwo hanya ‘ganas’ kalau membaca kaji al Quran. Hari senin dan kamis uwo akan beda. Hari senin  dan kamis kami praktek shalat. Semula kami menghafal rukun dengan me-la-lakan kaji. Maksudku, rukun  iman, rukun islam hingga rukun shalat  hafal dengan cara menyanyikannya. Begini irama kami menghafal rukun shalat:
“bara mulo rukun sumbahyang itu. Yaitu tigo ba;eh parakaro, nan partamo niat, nan ka duo tagak badiri batu, nan ka ampek.......nan kaduo baleh salam, tigo baleh taratik apo nan dikatokan taratik dahulu dahuluan, kudian kudianan, nan samo disamoan.”
Kami selalu berusaha melafaskannya dengan suara nyaring. Terkadang seperti paduan suara saja.  Praktek shalat antara laki-laki dan p[erempuan dipisah. Perempuan praktek shalat hari senin. Sedangkan laki-laki hari kamis. Saat laki-laki praktek shalat, perempuan diliburkan. Kata uwo cara shalat anak laki-laki dan perempuan  beda. Akhir ini aku sadar bahwa tak baik murid laki-laki dan perempuan dibaurkan dalam praktek shalat. Karena kami sudah mulai balig.
Aku akan bercerita sedikit tentang perjuanganku mencapai surek gadang. Sebelumnya aku adalah murid TPA dengan bahan dasar mengaji buku Iqro. Setiap hari yang aku pelajari adalah bagaimana bentuk dan bunyi huruf hijaiyah yang ada di tiap kelas. Di Iqra aku baru kelas V. Semenjak emak dan ayah pindah ke kampung, aku harus kembali beradaptasi dengan lingkungan. Tak luput tempat mengaji. Aku kembali mengulang surek ketek dengan “alif tiado titiak” . aku keteteran karena disana pelafalan huruf harus jelas. Antara sin dan syin yang serumah tai beda. Antara ba, ta dan tsa yang tak bisa disamakan.
Tiga tahun menyelami surek ketek, sakhirnya kajiku sampai ke  ma-la-la-kan  ayat. Maksudnya mulai membaca ayat panjang, bukan gabungan huruf  pendek-pendek lagi. Ini pertanda gerbang surek gadang sudah dekat. Dulu, menjadsi anak surek gadang sangat membanggakan. The power of senior sudah di bahu. Dulu, melihat kakak dan abang membaca Al Quran adalah hal yang paling menyebalkan. Aku juga ingin demikian. Tapi tahapanku belum selesai.
Suatu sore, uwo memberitahukan ada beberapa anak yang akan di tes surek gadang. Namaku juga disebutkan dari lima belas anak yang akan disurekgadangkan. Aku grogi. Pertanyaan pemudur semangat bergelimpangan dikepalaku. “bagaimana jika aku tak bisa? Bagaimana kalau aku dipermalukan?”
Mungkin saja emak tahu kebimbanganku. Senja saat akan berangkat tes surek gadang, emak mengatakan padaku bahwa beliau akan membelikan Al Quran baru untuk aku. Dengan catatan aku harus lulus surek gadang. Benar saja, pertanyaan dikepalaku tadi terhapus sudah. PD ku meningkat. Dan hamdalah ayat panjang yang disodorkan uwo berhasil kutaklukan.
Sekarang aku sudah surek gadang. Sesekali aku membantu uwo mengajari adik-adik yang masih surek ketek. Membantu mereka hingga alih kaji. Sesekali mereka yang surek ketek menjemukan. Selalu bertanya “ini bacaannya apa tadi kak?” padahal baru saja di jelaskan. Tapi tak apa, pastilah uwo juga merasa demikian padaku, dulu.
***
Uwo terbatuk, pertanda ada pelafalan  kaji yang salah. Batuk atau deheman uwo pertanda ulang kembali bacaannya. Sekarang uwo sudah jarang menghadiahi kami roti. Banyaknya berita guru yang diseret ke kandang situmbin ulah memukul murid membuat uwo sedikit gamang memarahi kami seperti dulu.
Sekarang dikampungku sudah  berdiri tiga mushala dan satu mesjid. Semula para umak dan abak masih bernyiyir-nyinyir menyuruh anak-anak mengaji di surau Uwo. Tapi akhir-akhir ini mushala dan mesjid sudah membuaka TPA-TPSA dan MDA. Surau uwo tidak ditinggalkan, masih ada yang mengaji disana. Meski beberapa diantara memilih mengaji di mushala dengan alasan lebih dekat rumah. Dan meski “alif tiado titik” digantikan oleh “A-Ba, A-Ta”.
Kelak, anak-anak dikampungku tidak akan tahu betapa surau uwo menjadi pesona oleh petua seperti kami. Dihadiahi ‘roti’ bukan kesalahan guru yang harus kami laporkan kepada Komnas HAM. Karena di dari surau kami tahu cara menghargai dengan benar. Menghargai bahwa pendidikan itu nafas kehidupan. Menghargai bahwa kesalahan memang  tak selalu dosa, tapi kesalahan berulang akan membawamu kepada dosa. kurasa tiap orang membutuhkan ‘roti’ uwo untuk membuatnya sadar kesalahan yang dilakukannya.
Uwo tak hanya mengajar mengaji. Beliau mempersiapkan kami menjadi manusia yang suatu saat dewasa. Banyak dendang petuah yang dilantunkan uwo. Uwo memang selalu membekali kami. Mungkin kelak, uwo lupa nama kami. Tapi kami tahu kemana do’a akan kami tujukan.
Terima kasih Uwo.

Kp Tanjung, 14 februari 2015

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...