“Alif duo diateh an, alif duo di bawah in, alif duo di dapan un... annn..
innn.. unnn..” suarak laila dan kawan-kawannya memenuhi ruang tengah rumah uwo.
Ruang tengah rumah kayu itu adalah tempat aku , kakak, abang dan adikku laila
mengaji. Kami tidak mengaji bersama. Waktu mengaji kami beda. Iya, karena anak
surek gadang dan anak surek ketek dipisah jam mengajinya. “supaya bisa berpacu
dengan kawan sama surek ketek” begitu kata uwo. Aku sendiri masih surek gadang.
Hari ini anak surek gadang masuk malam. Aku hanya membantu uwo menunjuki kaji
adik-adik di surau.
****
Uwo, demikian kami memanggilnya.
Perempuan bertubuh subur itu adalah guru mengaji kami. Tidak hanya aku dan
saudaraku yang diajarinya mengaji. Emak
dulu juga mengaji disana. Emak yakin, sistem mengaji yang diajarkan uwo sangat
bagus. Buktinya, banyak anak didik uwo yang menjadi guru mengaji sekarang.
Menurut amak, uwo , tak hanya mengajarkan baca tulis al Quran,tapi juga akhlak
muridnya. Saat aku masih surek ketek, kawan sepengajianku tak hanya kawan main
sekampung. Anak kampung sebelah dan kampung hilir juga mengaji disini.
Rumah uwo yang kami sebut surau
hanyalah rumah kayu lama. Disana Uwo
tinggal bersama suami dan emaknya yang sering kami panggil uwak. Uwo memiliki
seorang anak perempuan, tapi itu dulu. Sekarang anak perempuan uwo sudah tiada.
Anak perempuan uwo sudah lama meninggal dunia.
Menurutku, sewaktu masih surek ketek, uwo adalah guru yang kejam. Kalau kami berbicara saat menghafal kaji kami di
perciki air. Parahnya kalau kami tak dapat kaji setelah “menyeleweng” saat
menghafal kaji, kami kan dihadiahi rotan. Oh bukan, kami permanis dengan kata
roti agar tak terlalu menyakitkan. Ketahuilah, rasa malu teramat sangat akan
menampar kami kalau kamitak bisa
melafaskan kaji dengan benar. Jika makhraj ayat salah, roti sedia mencium kulit
kami.
Emakku tak pernah memarahi uwo atas apa yang terjadi padaku. Bagaimanapun
pengaduanku dirumah, uwo akan selalu benar. Alih-alih emak atau ayah membelaku,
mereka akan balik memarahi aku atau berceramah panjang atas aduanku tadi.
Uwo hanya ‘ganas’ kalau membaca kaji al Quran. Hari senin dan kamis uwo
akan beda. Hari senin dan kamis kami
praktek shalat. Semula kami menghafal rukun dengan me-la-lakan kaji.
Maksudku, rukun iman, rukun islam hingga
rukun shalat hafal dengan cara
menyanyikannya. Begini irama kami menghafal rukun shalat:
“bara mulo rukun sumbahyang itu. Yaitu tigo ba;eh parakaro, nan partamo
niat, nan ka duo tagak badiri batu, nan ka ampek.......nan kaduo baleh salam,
tigo baleh taratik apo nan dikatokan taratik dahulu dahuluan, kudian kudianan,
nan samo disamoan.”
Kami selalu berusaha melafaskannya dengan suara nyaring. Terkadang seperti
paduan suara saja. Praktek shalat antara
laki-laki dan p[erempuan dipisah. Perempuan praktek shalat hari senin.
Sedangkan laki-laki hari kamis. Saat laki-laki praktek shalat, perempuan
diliburkan. Kata uwo cara shalat anak laki-laki dan perempuan beda. Akhir ini aku sadar bahwa tak baik murid
laki-laki dan perempuan dibaurkan dalam praktek shalat. Karena kami sudah mulai
balig.
Aku akan bercerita sedikit tentang perjuanganku mencapai surek gadang.
Sebelumnya aku adalah murid TPA dengan bahan dasar mengaji buku Iqro. Setiap
hari yang aku pelajari adalah bagaimana bentuk dan bunyi huruf hijaiyah yang
ada di tiap kelas. Di Iqra aku baru kelas V. Semenjak emak dan ayah pindah ke
kampung, aku harus kembali beradaptasi dengan lingkungan. Tak luput tempat
mengaji. Aku kembali mengulang surek ketek dengan “alif tiado titiak” .
aku keteteran karena disana pelafalan huruf harus jelas. Antara sin dan syin
yang serumah tai beda. Antara ba, ta dan tsa yang tak bisa
disamakan.
Tiga tahun menyelami surek ketek, sakhirnya kajiku sampai ke ma-la-la-kan ayat. Maksudnya mulai membaca ayat panjang,
bukan gabungan huruf pendek-pendek lagi.
Ini pertanda gerbang surek gadang sudah dekat. Dulu, menjadsi anak surek gadang
sangat membanggakan. The power of senior sudah di bahu. Dulu, melihat kakak dan
abang membaca Al Quran adalah hal yang paling menyebalkan. Aku juga ingin
demikian. Tapi tahapanku belum selesai.
Suatu sore, uwo memberitahukan ada beberapa anak yang akan di tes surek
gadang. Namaku juga disebutkan dari lima belas anak yang akan disurekgadangkan.
Aku grogi. Pertanyaan pemudur semangat bergelimpangan dikepalaku. “bagaimana
jika aku tak bisa? Bagaimana kalau aku dipermalukan?”
Mungkin saja emak tahu kebimbanganku. Senja saat akan berangkat tes surek
gadang, emak mengatakan padaku bahwa beliau akan membelikan Al Quran baru untuk
aku. Dengan catatan aku harus lulus surek gadang. Benar saja, pertanyaan dikepalaku
tadi terhapus sudah. PD ku meningkat. Dan hamdalah ayat panjang yang disodorkan
uwo berhasil kutaklukan.
Sekarang aku sudah surek gadang. Sesekali aku membantu uwo mengajari
adik-adik yang masih surek ketek. Membantu mereka hingga alih kaji. Sesekali
mereka yang surek ketek menjemukan. Selalu bertanya “ini bacaannya apa tadi
kak?” padahal baru saja di jelaskan. Tapi tak apa, pastilah uwo juga merasa
demikian padaku, dulu.
***
Uwo terbatuk, pertanda ada pelafalan kaji yang salah. Batuk atau deheman uwo
pertanda ulang kembali bacaannya. Sekarang uwo sudah jarang menghadiahi kami
roti. Banyaknya berita guru yang diseret ke kandang situmbin ulah memukul murid
membuat uwo sedikit gamang memarahi kami seperti dulu.
Sekarang dikampungku sudah berdiri
tiga mushala dan satu mesjid. Semula para umak dan abak masih bernyiyir-nyinyir
menyuruh anak-anak mengaji di surau Uwo. Tapi akhir-akhir ini mushala dan
mesjid sudah membuaka TPA-TPSA dan MDA. Surau uwo tidak ditinggalkan, masih ada
yang mengaji disana. Meski beberapa diantara memilih mengaji di mushala dengan
alasan lebih dekat rumah. Dan meski “alif tiado titik” digantikan oleh “A-Ba,
A-Ta”.
Kelak, anak-anak dikampungku tidak akan tahu betapa surau uwo menjadi
pesona oleh petua seperti kami. Dihadiahi ‘roti’ bukan kesalahan guru yang
harus kami laporkan kepada Komnas HAM. Karena di dari surau kami tahu cara
menghargai dengan benar. Menghargai bahwa pendidikan itu nafas kehidupan.
Menghargai bahwa kesalahan memang tak selalu
dosa, tapi kesalahan berulang akan membawamu kepada dosa. kurasa tiap orang
membutuhkan ‘roti’ uwo untuk membuatnya sadar kesalahan yang dilakukannya.
Uwo tak hanya mengajar mengaji. Beliau mempersiapkan kami menjadi manusia
yang suatu saat dewasa. Banyak dendang petuah yang dilantunkan uwo. Uwo memang
selalu membekali kami. Mungkin kelak, uwo lupa nama kami. Tapi kami tahu kemana
do’a akan kami tujukan.
Terima kasih Uwo.
Kp Tanjung, 14 februari 2015