move up
Caranya, adalah dengan mempercantik diri dan menikmati hidup tanpa masalah. Deal, tidak
pacaran lagi. Trauma sudah, jika memang akan ada kumbang lain yang hinggap.
Akan kuuji dengan berbagai macam cobaan dulu. Aku takut kembali pada lembah
kegelapan lalu. L
Hamdalah
wasyukurillah, Ganto-ku selalu menjadi rumah yang menghangatkan. Yah, kesibukan
disini menyelamatkan aku dari kepikiran jomblo.
Ulang
tahun Ganto ke 24. Seluruh elemen diundang. Api, air, tanah, dan angin. Mereka
akan menyaksikan persiapanku menuntaskan acara malam ini. aku dan bang cua
kembali berkomunikasi. Dan malam ini dia berjanji akan datang. Tapi kenapa ini?
sudah pukul 9 lewat, si keriting belum menampakkan batang hidungnya. Kamu
dimana???
Sampai
aku menyatakan kekesalanku pada seorang abang. “kalau sampai bang cua ndak tibo
bang, ndak ka pi sapo-sapo do.”
Lalu
seorag rekan LPM SK membisikkan –tepatnya mengatakan- bahwa cua dalam
perjalanan. Heheh, aku berdehem ‘kuharap kamu orang yang tepat janji bang
cuwa’.
Lalu
bang merek rokok datang dengan kuda sembrani merek Supra 125-nya. Ehm, kalau
tidak salah waktu itu aku girang. Sekalipun acara sudah usai, lelaki bersebo
merah ini kupaksa masuk. Setidaknya ikuti prosesi makan bersama. Dia menurut
walaupun sebelumnya terjadi adegan tarik menarik –yang ini lebay-.
Usai
menyantap nasi dengan sambal teri khas Ganto. Kami berfoto ria. Dasar cua yang
pelupa. Doi kehilangan kunci motor dan seruangan panik. Sang kunci akhirnya
ditemukan oleh seorang tuan rumah.
ini potret perdana dengan rona malu-malu dari hamba. |
Gebyar
berakhir dan kami pulang.. kehariban lelap masing-masing.
Esok
pagi,kami masih menjamu tamu istimewa. Haswita al adawiyah yang merupakan tamu
LPM STAIN Batusangkar. Darinya kuketahui si abang merek rokok titip salam untuk
aku yang belum mandi. Heheh, salam balik.
Sedikit
tersipu menyambut titipan salammu, heheh, maklumlah. Setelah itu hubungan komunikasi Via Esemes makin gencar. Hingga
pada suatu sabtu yang suram kita berencana menghabiskan seperempat malam
bersama. Kamu jemput hamba ke sarang hamba di UNP sanah. Yah, waktu itu aku
ingat betul kamu menggenakan baju kaos putih. Putiiiiih sangat. dan manusia
urakan seperti saya tampil dengan cardigan ukuran XL nya.
Mendaki
tanggul lewati MKU, hamdalah lampu air tawar dan sekitarnya pudur sudah. Macet menjelma badan jalan MKU. Nah,
kita yang ingin bersegera menikmati nge-date
mencoba menerobos jalan dan nyelip. Eh bukan, lewat jalan pintas yang belum
tentu pantas. Jalan setapak di dekat rumah warga kita lalui. Dan kamu pasti ingat,
itu bukan jalan murni. Itu GOT. Kaki
kita tergelincir dan kita terjirambab.
:$. GOD….. -___-*
Mencoba
cool dan naik sendiri berniat melarikan
diri dari kawasan ini. “hamba sudah kotor Tuhaaaaan…” hahaha… ini pengalaman
TER-TER yang pernah ada. baju putih kamu berubah warna, sandal kamu putus dan
kita harus membelokkan motor ke kossan kamu.
Bisa
dikatakan kita baru kenal. Jadilah aku membersihkan diri diluar saja. Em, di mesjid
dekat kossan kamu. Dengan perasaan bersalah, aku minta maaf. Kencan kita batal.
Besok,
besok, dan besoknya lagi aku tak pernah mau kita membahas jatuh ke GOT
tersebut. Ada sedikit rasa menyondak-nyondak dalam dada ini. entah ini yang
dinamakan karma atau bagaimana. Tapi karma atas apa?
***
Telepon
genggamku yang bisa diseret atas bawah berbunyi. Dari nada yang diutarakannya
sudah jelas pesan itu dari kamu. Hari ini kita memang ada janji, pukul 4. Katamu
ada yang akan kita bahas. Sekalipun belum diberitahu, aku sudah paham. Sumpah,
ini adalah bagian cerita yang sangat aku benci. Saat kamu harus mendesak aku
untuk menjawab sesuatu yang belum kuputuskan. Berkali kucoba memberi jawabanku
padamu dan agar pertemuan sore ini bukanlah pertemuan menagih jawab. Tapi masih
tahap perkenalan.
Aku
masih belum bisa menerima keadaan bahwa saat ini aku dihadapan laki-laki lagi.
Sedangkan beberapa hari lalu aku baru memutuskan untuk berhenti mengecap sakit
dari kaummu. Haruskah hari ini aku balaskan semuanya? Inikah jalan Tuhan? Apa
ini?
Arght..
Akhirnya
kamu bersikeras meminta agar kita memang ‘ketemuan’ hari itu. alur kisahnya
jelas. Aku akan keras kepala, membentak, berusaha menyadarkan kamu tentang
tindakanmu.
Begini,
kemarin aku baru saja terpuruk oleh seorang laki-laki. Orang itu menyakitiku
sampai aku tak tahu lagi harus berbaik sangka seperti apa pada pria-pria
seperti kalian. Rasanya itu terlalu kejam. Kamu jangan memaksaku begini, itu
tidak adil untuk kamu dan untukku. Aku takut kamu hanya akan jadi korban
emosiku pula. Setidaknya biarkan aku menenangkan hati.
Oh,
bukankah rekan sejawatku, miss N, naksir kamu? Kenapa tak dia saja? Atau nona A
yang kabarnya sudah kamu incar dari semula bersekolah di sana? Kenapa aku? Aku ini apalah.
Tapi
kamu keras. Kamu berkata akan pulang kampung besok, kamu akan bercerita pada
ibumu dan meminta pendapat padanya. ‘terserah,’ begitulah fikirku. Sejujurnya saat
itu dalam ruang dadaku ada perasaan yang mengamuk. Entah untuk apa.
Benar
saja, sehari kemudian aku mendapati pesan darimu. Isinya hanya ucapan selamat
tinggal. Yah, syukurlah kalau kamu memang tak keras kepala lagi.
***
Setelah
pelayangan ucapan selamat tinggal beberapa hari lalu, hidupku kosong. Bukan
karena telepon genggamku tak berdering lagi. Namun lebih pada, kehilangan. Aku
mencoba membiaskan itu. kamu memang masih menyapaku. Dengan nada yang sudah
asing tentunya. “oh, jika tahu begini mending dulu kita tak pernah memulai.”
Aku
pernah merasakan kecewa dengan pilihanku. Waktu aku memutuskan mencubakan pisau
cukur jenggot ke alis mataku. Aku harus meyakinkan diri sendiri tentang cara
kerja si pisau cukur. Yah, walaupun aku harus kehilangan SEBELAH alis mata.
Kamu tahu? Perasaan saat ini jauh lebih meyakitkan dari pada perasaanku saat
itu. walaupun modusnya sama. Aku ingin meyakinkan pribadiku, melihat cara
kerjamu dengan menikmati pemberontakan dalam dadaku. Tapi ini jauh lebih
membuat terpuruk.
Sesekali
aku berharap kamu tak diambil wanita lain. Busuk sekali harapanku itu.
Seminggu menata kembali tataran yang sempat
berubah. Tanpa ada laki-laki lagi. Sehari dua hari mungkin akan galau, tapi di
hari ketiga sudah tidak lagi. Bukankah hidupku selama ini masih jatuh bangun
juga. Hanya mencoba kuat, itu tak susah.
Tak
hanya kamu yang bisa mengadu pada ibumu. Akupun juga mengadu pada ibuku.
Tentunya pengaduan kita beda. Yang ku-adukan adalah malangnya nasibku, kenapa
laki-laki begitu jahat? Begitulah, yang kulihat hanyalah kesalahan belahan
lain. Akhir-akhir ini aku sadar, akupun juga bersalah diatasnya.
pernyataan yang membuat saya terbata. -.- |
Ternyata
aku tergoda untuk kembali pada tatanan kehidupan, tepatnya kehidupan sebelum kutata ulang.
Sering bercakap jualah pangkalnya. Komunikasi itu telah merambah rasa ragu.
Kamu mulai coba-coba memakai panggilan sayang untukku. ‘Hunny’ begitu awalnya. Akupun begitu padamu, memanggilmu manja,
atau sekedar ‘hun…’ saja. Haha, panggilan yang malu-malu. Ini nyaris menggelikan.
buruknya, aku nyaman saja. huhuh...
mungkin akan banyak kebodohan lain yang akan kulakukan untuk ini. heheh, nikmati saja.
mungkin akan banyak kebodohan lain yang akan kulakukan untuk ini. heheh, nikmati saja.