Selasa, 07 Oktober 2014

Teruntuk B... #2


 move up
Caranya, adalah dengan mempercantik diri dan menikmati hidup tanpa masalah. Deal, tidak pacaran lagi. Trauma sudah, jika memang akan ada kumbang lain yang hinggap. Akan kuuji dengan berbagai macam cobaan dulu. Aku takut kembali pada lembah kegelapan lalu. L

Hamdalah wasyukurillah, Ganto-ku selalu menjadi rumah yang menghangatkan. Yah, kesibukan disini menyelamatkan aku dari kepikiran jomblo.
Ulang tahun Ganto ke 24. Seluruh elemen diundang. Api, air, tanah, dan angin. Mereka akan menyaksikan persiapanku menuntaskan acara malam ini. aku dan bang cua kembali berkomunikasi. Dan malam ini dia berjanji akan datang. Tapi kenapa ini? sudah pukul 9 lewat, si keriting belum menampakkan batang hidungnya. Kamu dimana???
Sampai aku menyatakan kekesalanku pada seorang abang. “kalau sampai bang cua ndak tibo bang, ndak ka pi sapo-sapo do.”
Lalu seorag rekan LPM SK membisikkan –tepatnya mengatakan- bahwa cua dalam perjalanan. Heheh, aku berdehem ‘kuharap kamu orang yang tepat janji bang cuwa’.
Lalu bang merek rokok datang dengan kuda sembrani merek Supra 125-nya. Ehm, kalau tidak salah waktu itu aku girang. Sekalipun acara sudah usai, lelaki bersebo merah ini kupaksa masuk. Setidaknya ikuti prosesi makan bersama. Dia menurut walaupun sebelumnya terjadi adegan tarik menarik –yang ini lebay-.
Usai menyantap nasi dengan sambal teri khas Ganto. Kami berfoto ria. Dasar cua yang pelupa. Doi kehilangan kunci motor dan seruangan panik. Sang kunci akhirnya ditemukan oleh seorang tuan rumah.
ini potret perdana dengan rona malu-malu dari hamba.
Gebyar berakhir dan kami pulang.. kehariban lelap masing-masing.
Esok pagi,kami masih menjamu tamu istimewa. Haswita al adawiyah yang merupakan tamu LPM STAIN Batusangkar. Darinya kuketahui si abang merek rokok titip salam untuk aku yang belum mandi. Heheh, salam balik.
Sedikit tersipu menyambut titipan salammu, heheh, maklumlah. Setelah itu hubungan  komunikasi Via Esemes makin gencar. Hingga pada suatu sabtu yang suram kita berencana menghabiskan seperempat malam bersama. Kamu jemput hamba ke sarang hamba di UNP sanah. Yah, waktu itu aku ingat betul kamu menggenakan baju kaos putih. Putiiiiih sangat. dan manusia urakan seperti saya tampil dengan cardigan ukuran XL nya.
Mendaki tanggul lewati MKU, hamdalah lampu air tawar dan sekitarnya pudur  sudah. Macet menjelma badan jalan MKU. Nah, kita yang ingin bersegera menikmati nge-date mencoba menerobos jalan dan nyelip. Eh bukan, lewat jalan pintas yang belum tentu pantas. Jalan setapak di dekat rumah warga kita lalui. Dan kamu pasti ingat, itu bukan jalan murni. Itu GOT.  Kaki kita tergelincir dan kita terjirambab. :$. GOD….. -___-*

Mencoba cool dan naik  sendiri berniat melarikan diri dari kawasan ini. “hamba sudah kotor Tuhaaaaan…” hahaha… ini pengalaman TER-TER yang pernah ada. baju putih kamu berubah warna, sandal kamu putus dan kita harus membelokkan motor ke kossan kamu.
Bisa dikatakan kita baru kenal. Jadilah aku membersihkan diri diluar saja. Em, di mesjid dekat kossan kamu. Dengan perasaan bersalah, aku minta maaf. Kencan kita batal.
Besok, besok, dan besoknya lagi aku tak pernah mau kita membahas jatuh ke GOT tersebut. Ada sedikit rasa menyondak-nyondak dalam dada ini. entah ini yang dinamakan karma atau bagaimana. Tapi karma atas apa?
***
Telepon genggamku yang bisa diseret atas bawah berbunyi. Dari nada yang diutarakannya sudah jelas pesan itu dari kamu. Hari ini kita memang ada janji, pukul 4. Katamu ada yang akan kita bahas. Sekalipun belum diberitahu, aku sudah paham. Sumpah, ini adalah bagian cerita yang sangat aku benci. Saat kamu harus mendesak aku untuk menjawab sesuatu yang belum kuputuskan. Berkali kucoba memberi jawabanku padamu dan agar pertemuan sore ini bukanlah pertemuan menagih jawab. Tapi masih tahap perkenalan.

Aku masih belum bisa menerima keadaan bahwa saat ini aku dihadapan laki-laki lagi. Sedangkan beberapa hari lalu aku baru memutuskan untuk berhenti mengecap sakit dari kaummu. Haruskah hari ini aku balaskan semuanya? Inikah jalan Tuhan? Apa ini?

Arght..

Akhirnya kamu bersikeras meminta agar kita memang ‘ketemuan’ hari itu. alur kisahnya jelas. Aku akan keras kepala, membentak, berusaha menyadarkan kamu tentang tindakanmu.
Begini, kemarin aku baru saja terpuruk oleh seorang laki-laki. Orang itu menyakitiku sampai aku tak tahu lagi harus berbaik sangka seperti apa pada pria-pria seperti kalian. Rasanya itu terlalu kejam. Kamu jangan memaksaku begini, itu tidak adil untuk kamu dan untukku. Aku takut kamu hanya akan jadi korban emosiku pula. Setidaknya biarkan aku menenangkan hati.

Oh, bukankah rekan sejawatku, miss N, naksir kamu? Kenapa tak dia saja? Atau nona A yang kabarnya sudah kamu incar dari semula bersekolah di sana? Kenapa aku?  Aku ini apalah.
Tapi kamu keras. Kamu berkata akan pulang kampung besok, kamu akan bercerita pada ibumu dan meminta pendapat padanya. ‘terserah,’ begitulah fikirku. Sejujurnya saat itu dalam ruang dadaku ada perasaan yang mengamuk. Entah untuk apa.
Benar saja, sehari kemudian aku mendapati pesan darimu. Isinya hanya ucapan selamat tinggal. Yah, syukurlah kalau kamu memang tak keras kepala lagi.
***

Setelah pelayangan ucapan selamat tinggal beberapa hari lalu, hidupku kosong. Bukan karena telepon genggamku tak berdering lagi. Namun lebih pada, kehilangan. Aku mencoba membiaskan itu. kamu memang masih menyapaku. Dengan nada yang sudah asing tentunya. “oh, jika tahu begini mending dulu kita tak pernah memulai.”

Aku pernah merasakan kecewa dengan pilihanku. Waktu aku memutuskan mencubakan pisau cukur jenggot ke alis mataku. Aku harus meyakinkan diri sendiri tentang cara kerja si pisau cukur. Yah, walaupun aku harus kehilangan SEBELAH alis mata. Kamu tahu? Perasaan saat ini jauh lebih meyakitkan dari pada perasaanku saat itu. walaupun modusnya sama. Aku ingin meyakinkan pribadiku, melihat cara kerjamu dengan menikmati pemberontakan dalam dadaku. Tapi ini jauh lebih membuat terpuruk.

Sesekali aku berharap kamu tak diambil wanita lain. Busuk sekali harapanku itu.
 Seminggu menata kembali tataran yang sempat berubah. Tanpa ada laki-laki lagi. Sehari dua hari mungkin akan galau, tapi di hari ketiga sudah tidak lagi. Bukankah hidupku selama ini masih jatuh bangun juga. Hanya mencoba kuat, itu tak susah.

Tak hanya kamu yang bisa mengadu pada ibumu. Akupun juga mengadu pada ibuku. Tentunya pengaduan kita beda. Yang ku-adukan adalah malangnya nasibku, kenapa laki-laki begitu jahat? Begitulah, yang kulihat hanyalah kesalahan belahan lain. Akhir-akhir ini aku sadar, akupun juga bersalah diatasnya.

pernyataan yang membuat saya terbata. -.-
Ternyata aku tergoda untuk kembali pada tatanan kehidupan,  tepatnya kehidupan sebelum kutata ulang. Sering bercakap jualah pangkalnya. Komunikasi itu telah merambah rasa ragu. Kamu mulai coba-coba memakai panggilan sayang untukku. ‘Hunny’ begitu awalnya. Akupun begitu padamu, memanggilmu manja, atau sekedar ‘hun…’ saja. Haha, panggilan yang malu-malu.  Ini nyaris menggelikan.

buruknya, aku nyaman saja. huhuh...
mungkin akan banyak kebodohan lain yang akan kulakukan untuk ini. heheh, nikmati saja.

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...