TUGAS AKHIR TELAAH PROSA
JURNAL ILMIAH
Mengenai: Kajian Sosiologis
Masyarakat Minangkabau
dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan
Oleh:
Novi
Yenti
NIM/TM:
1100903/2011
Program
Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
Dosen
Pembina:
Dr. Yasnur Asri, M. Pd
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
PADANG
2012
STRUKTUR DAN EKSPRESI BUDAYA
MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG KARYA MUHAMMAD SUBHAN
Oleh:
Novi Yenti
Program Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia
FBS Universitas Negeri Padang
ABSTRAK
Salah satu masalah utama dalam bidang pendidikan dan
kebudayan adalah masalah identitas kebangsaan. Dengan derasnya arus globalisasi
dikhawatirkan budaya bangsa, khususnya budaya lokal akan mulai terkikis. Budaya
asing kini kian mewabah dan mulai mengikis eksistensi budaya lokal yang sarat
makna. Agar eksistensi budaya lokal tetap kukuh, maka diperlukan pemertahanan
budaya lokal. Fenomena anak usia sekolah yang senang dengan budaya asing
menjadikan kewaspadaan untuk mengangkat dan melestarikan budaya lokal agar
menjadi bagian integratif dalam pemelajaran sastra di sekolah. Budaya lokal
merupakan budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan mencerminkan keadan
sosial di wilayahnya. Beberapa hal yang termasuk budaya lokal diantaranya
adalah cerita rakyat, lagu daerah, ritual kedaerahan, adat istiadat daerah, dan
segala sesuatu yang bersifat kedaerahan. Dalam jurnal ini, penulis mencoba
mengemukakan pentingnya menjadikan kekayaan lokal dalam bidang adat istiadat
yang bersangkutan dengan nilai sosiologis dalam karya sastra agar dijadikan
bahan pemelajaran sastra. Hal ini dilakukan dalam upaya penanaman nilai-nilai
yang terkandung dalam budaya lokal, seperti nilai religius, nilai moral, dan
khususnya nilai kebangsaan. Pada akhirnya, penanaman nilai-nilai budaya lokal
dalam pemelajaran sastra diharapkan akan mengimbangi pengaruh budaya asing yang
semakin mewabah di masyarakat kita.
Kata
kunci : Budaya lokal, pembelajaran sastra
A.
PENDAHULUAN
Novel Rinai
Kabut Singalang adalah karya novel pertama yang ditulis oleh Muhammad Subhan. Dengan teknik penulisan yang lincah dan gaya
penyampaian yang lembut, penulis berhasil mengenalkan sosok sang tokoh dengan
petualangan dan konflik yang penuh dengan pelajaran yang bermakna. Kehidupan
yang berjalan dengan sedikit rumit dan penghadiran banyak konflik di awal
pengisahan memberikan kesan betapa tokoh utama benar-benar seorang yang
dihadirkan memiliki kisah yang unik dalam hidupnya. meski hidup dalam jalan
yang terbilang sulit membuat semangat juang dari tokoh utama meletup-letup. Hal
ini merupakan kepiawaian penulis dalam bercerita, segala kekurangan dan
keterbatasan hidup bukan hanya sebagai sebuah ironi ataupun tragedi, melainkan
dapat pula berbentuk ria dan suka cita, angan dan kebahagian serta segala
masalah yang di hadirkan penulis untuk tokoh utama membuat kita belajar bahwa
semua jalan hidup ini adalah dari Tuhan. Apakah hidup hanya diserahkan kepada
kepasrahan dan ketidakberdayaan diri atau hidup harus dipenuhi dengan
perjuangan dan pengharapan atas hasil yang terbaik dalam sejarah manusia.Melalui
tokoh utama penulis menyampaikan betapa masalah itu benar-benar diberikan Tuhan
sesuai batas kemampuan hambanya, dan setelah kesulitan itu aka nada kemudahan.
Dari sekian panjang penceritaan, juga disertai ekspresi budaya yang menjadi
latar novel ini.
Banyak dari keragaman budaya Minangkabau
yang juga diceritakan dan mempengaruhi tokoh utama dalam novel. Pembaca
merupakan unsur penting dalam menilai sebuah karya, khususnya novel. Dalam hal
ini penulis tertarik untuk meneliti ekspresi budaya minangkabau yang dihadirkan
Muhammad subhan dalam karyanya rinai kabut singgalang. Tujuan penelitian ini
adalah guna agar pembaca lebih menghayati kandungan ekspresi budaya minangkabau
yang dihadirkan Muhammad subhan dalam dalam novelnya, sehingga dapat direalisasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Muhammad Subhan adalah penulis asal aceh
yang memiliki darah minang. Lahir di Sumatra utara tanggal 3 desember tahun
198. Dia menamatkan pendidikan di smp negri 6 kruenggeukueh dan pendidikan SMA
negeri 1 dewantara, kabupaten aceh utara. Profesi yang dilakoninya adalah
sebagai jurnalis. Dia bekerja sebagai wartawan di sejumlah surat kabar di
padang diantaranya; SKM gelora. Gelar reformasi, media watch, (2000-2003),
harian haluan (2004-2010). Sejak april 2010 menjai pimpinan di media online www.korandigital.com
yang berbasis kota serambi mekah padang panjang.
Perkara ekspresi budaya merupakan hal
yang menarik untuk dibahas. Dalam Luxemburg (96:1989) mengatakan bahwa sebuah
teks dikatakan ekspresif apabila fungsi utama teks itu adalah mengungkapkan
perasaan, pertimbangan dan sebagainya dalam diri seorang pengarang. Dalam
ekspresi budaya dapat kita temukan.
Pertama, terlebih dahulu kita kaji mengenai kritik ekspresif dalam sastra. Kritik
ekspresif adalah kritik sastra yang memandang karya sastra sebagai ekspresi,
curahan perasaan, atau imajinasi pengarang. Kritik ekspresif menitikberatkan
pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya
sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi
dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus dalam hal ini
cenderung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan
pengelihatan mata batin pengarang/keadaan pikirannya. Pendekatan ini sering mencari
fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang
sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam novel karyanya.
Novel merupakan karya sastra yang
mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan
halus. Novel yang dihasilkan sastrawan merupakan alat komunikasi sosial bagi
masyarakat yang harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan
dan dirasakan oleh sastrawan. Seorang sastrawan dalam sebuah karyanya ingin
menyampaikan “sesuatu” kepada pembaca, sesuatu itu dapat berupa pesan, ide,
ataupun opini.
unsur pembentuk karya sastra terbagi dua yaitu
intrinsik dan eksterisik. Menurut Muhardi dan Hasanuddin (1992:20), unsur
intrinsik dibedakan menjadi dua macam, yakni unsur utama dan unsur penunjang
atau unsur tambahan. Unsur utama seperti penokohan, alur dan setting, ketiga
unsur ini membentuk tema dan amanat. Sedangkan unsur penunjang seperti sudut
pandang dan gaya bahasa. Atas dasar tersebut, dari segi struktur, penelitian
ini hanya hanya membahas, alur, penokohan, latar atau setting, tema dan amanat.
Muhardi dan Hasanuddin (1992:24-26) mengatakan bahwa
penokohan termasuk dalam masalah penamaan, pemeranan, keadan fisik, keadaan
psikis, dan karakter. Bagian-bagian dari penokohan ini saling berhubungan dalam
upaya membangun permasalahan fiksi. Senada dengan pendapat Muhardi dan
Hasanuddin di atas, Atmazaki (2007:102) menyebutkan bahwa karakter atau tokoh
adalah orang yang dilengkapi dengan kualitas moral dan watak yang diungkapkan
oleh apa yang dikatakannya, dialog serta tindakan yang dilakukannya. Ada dua
jenis tokoh dalam sastra naratif, yaitu tokoh utama dan tokoh sampingan.
Menurut Muhardi dan Hasanuddin, karakteristik alur dapat
dibedakan menjadi konvensional dan inkonvensial. Alur konvensional adalah jika
peristiwa yang disajikan lebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya
peristiwa yang hadir sesudahnya. Peristiwa yang muncul kemudian, selalu menjadi
akibat dari peristiwa yang diceritakan sebelumnya. Alur inkonvensional adalah
peristiwa yang diceritakan kemudian menjadi penyebab dari peristiwa yang
diceritakan sebelumnya atau peristiwa yang diceritakan lebih dahulu menjadi
akibat dari peristiwa yang diceritakan sesudahnya.
Luxemburg dalam Atmazaki (2007:99) menyimpulkan bahwa
plot/alur adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa
yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan yang diakibatkan atau
dialami oleh para pelaku. Dengan demikian, plot merupakan struktur tindakan
yang diarahkan untuk menuju keberhasilan efek artistik dan emosional tertentu.
Fungsi utama plot adalah agar cerita terasa sebagai cerita yang
berkesinambungan dan mempunyai kaitan yang erat antara peristiwa yang satu
dengan peristiwa yang lain (Atmazaki, 2007:102).
Latar merupakan penanda identitas permasalahan fiksi yang
mulai secara samar diperlihatkan alur atau penokohan. Latar memperjelas
suasana, tempat dan waktu peristiwa itu berlaku. Latar memperjelas pembaca
untuk mengidentifikasikan masalah fiksi, apakah fiksi mengungkapkan
permasalahan tahun 20-an, atau 80-an, pagi, siang atau malam, di kota atau di
desa, di perkampungan atau di hutan, berhubungan dengan kultur Minangkabau atau
Sunda, permasalahan remaja atau dewasa, dan lain-lain (Muhardi dan Hasanuddin
1992:30).
Unsur-unsur latar menurut Nurgiantoro (2010:227), yaitu latar
tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat mengarah pada lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu
berhubungan dengan masalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar atau setting adalah latar
peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa serta
memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Latar atau setting memperjelas
pembaca untuk mengidentifikasi permasalahan fiksi. Secara langsung latar atau setting
berkaitan dengan alur atau penokohan.
Tema adalah inti permasalahan yang
hendak dikemukakan oleh pengarang dalam karyanya. Tema merupakan hasil kongklusi
dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Amanat
merupakan opini, kecenderungan dan visi pengarang terhadap tema yang
dikemukakannya. Amanat dalam sebuah fiksi, bisa saja lebih dari satu, asalkan
semua itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau
sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan
kristalisasi dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, dan latar cerita (Muhardi
dan Hasanuddin, 1992:38).
B.
METODE
PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Semi (1993:23), penelitian
kualitatif dilakukan dengan tidak mengutamakan pada angka-angka, tetapi
mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang
dikaji secara empiris. Empiris berarti berdasarkan pengalaman, terutama yang
diperoleh dari penemuan, percobaan, dan pengamatan yang telah dilakukan.
Berdasarkan tujuan penelitian dan permasalahan, metode penelitian yang
digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik analisis isi. Penelitian
kualitatif dengan metode deskriptif, artinya data yang dianalisis dan hasil
analisisnya berbentuk deskripsi fenomena, bukan berupa angka atau koefisien
tentang hubungan antar variabel. Penelitian ini dilakukan dengan cara
pengamatan langsung, membaca, memahami, mengidentifikasi, mencatat, dan
mengumpulkan nilai religius yang ditemukan, yaitu nilai aqidah, syari’ah dan
akhlak.
Data penelitian
ini adalah bagian teks novel yang mengandung nilai ekspresi sosiologis masyarakat
Minangkabau yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad
Subhan. Nilai sosiologis tersebut mencakup pada struktur lingkungan, maslaha
yang berhubungan dengan sosial, idealisme masyarakat dan realitasnya, dan hal
lainnya dalam diri pengarang yang dituangkan dalam novel. Hal tersebut penulis
fokuskan pada tokoh maimunah dan munaf
yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang.
Sumber data penelitian ini adalah novel Rinai
Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan yang diterbitkan oleh penerbit
Rahima Intermedia Publishing, pada bulan Januari 2011 dengan 396 halaman yang
merupakan cetakan pertama. Setelah kedua data yang diteliti terkumpul, teknik
pengabsahan data yang digunakan adalah teknik uraian rinci. Menurut Moleong
(2005:338), teknik uraian rinci ini menuntut peneliti agar melaporkan hasil
penelitiannya sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin
yang menggambarkan konteks serta tempat penelitian diselenggarakan.
C.
PEMBAHASAN
a.
Mengenai
Novel
a).
Sinopsis novel Rinai Kabut Singgalang
Dikisahkan,
Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatra Barat) telah dicoret dari
ranji silsilahnya lantaran nekad menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki
asal Aceh. Munaf dianggap sebagai “orang-datang”, “orang di pinggang”, “orang
yang tak berurat-berakar”. Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng
kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan
dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf—pemuda yang dicintainya—di kota itu.
Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke
Pasaman. Sementara itu, orangtua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan,
dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai
mengalami gangguan jiwa (gila), lantaran menanggung aib karena ulah adiknya
melawan adat.
Luka serupa
kelak juga dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita
hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum ke Padang, Fikri
mencari mamaknya (paman) di Kajai, Pasaman. Di kampung asal ibunya itu, Fikri
sempat merawat Safri pamannya yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah
ke Aceh—dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri
tewas dibunuh akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai hijrah ke
Padang. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi
kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga
Rahima—utamanya Ningsih (kakak Rahima)—bulat-bulat menolak pinangan Fikri,
lagi-lagi dengan alasan: Fikri “orang-datang”, “orang di pinggang”.
Remuk-redamnya
perasaan Fikri bersamaan dengan luluhlantaknya Aceh, tanah asal Fikri, selepas
megabencana Gempa dan Tsunami (2004). Annisa, adik kandungnya digulung
gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya.
Ibu-bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Fikri hidup sebatangkara. Dan,
begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Betapa tidak?
Rahima telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya perempuan itu diboyong
Ningsih ke Jakarta. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam kesendirian,
dalam keterpiuhan perasaan lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri
mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain
ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam di kerak
kepedihan.
Atas luka
yang ditanggungkannya, Fikri sempat berkeinginan menenggelamkan dirinya ke
laut. Tapi seorang sahabatnya Yusuf selalu hadir disaat ia berada pada titik
kulminasi kejenuhan hidup. Yusuflah yang selalu memberikan semangat hingga
Fikri mampu bangkit dari keterpurukan hidupnya. Di akhir kisahnya, Fikri
digambarkan sebagai laki-laki yang terlahir kembali. Ia menjadi pengarang
tersohor, bahkan salah satu novelnya difilmkan. Ia dipuja banyak orang. Kabar
tentang keberhasilan Fikri itu membuat Ningsih (orang yang telah memisahkannya
dengan Rahima), tak segan-segan menjilat ludah sendiri. Pada saat yang sama,
Rahima sedang tertimpa masalah; suaminya menjadi tersangka korupsi, dan bunuh
diri di penjara.
Sejatinya,
rasa cinta Fikri pada Rahima tiada akan pernah punah, meski pengkhianatan itu
sukar ia lupakan. Atas dasar itu pula Fikri memenuhi undangan Ningsih untuk
datang ke Jakarta ketika Rahima yang telah menjanda mengalami sakit keras.
Ningsih, hendak mempertemukan kembali “kasih tak sampai” yang telah membuat
perasaan Fikri-Rahima tercabik-cabik. Namun, kisah novel ini disudahi
dengan cara sangat tragis, kepulangan Ningsih, Rahima, dan Fikri ke Padang
ternyata bukan kepulangan yang membahagiakan. Pesawat yang mereka tumpangi
tergelincir. Rahima selamat, tapi Fikri mengalami geger-otak, dan karena itu ia
merasa tak memenuhi syarat lagi untuk menjadi suami Rahima. Ia meminta sahabat
karibnya, Yusuf, untuk menikahi Rahima. Saat ijab-kabul pernikahan itu
berlangsung, Fikri menghembuskan napas penghabisan. Atas permintaan Fikri,
jasadnya dikubur di kaki gunung Singgalang yang selalu dijatuhi rinai dan
kabut. Meski telah sah menjadi suami istri, Yusuf tak pernah menyentuh Rahima,
perempuan itu tetap suci. Tiga bulan kemudian, Rahima menghembuskan napas
terakhirnya setelah menderita suatu penyakit. Ia bermohon kepada Yusuf agar
menguburkannya di samping pusara Fikri.
b). Struktur Novel Rinai
Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan
Struktur novel RKS karya
Muhammad Subhan ini terdiri dari alur, penokohan, latar, tema dan amanat. Alur
novel RKS ini terdapat alur maju atau dengan kata lain alurnya
progresif, dimana peristiwa-peristiwa dikisahkan secara kronologis.
Penghadiran
peristiwa secara urut dan saling menyambung antara satu sama lainnya. peristiwa
pertama diikuti oleh peristiwa selanjutnya, atau secara runtun, cerita dimulai
dari tahap awal, tengah, dan akhir. pengarang mula-mula menceritakan peristiwa
demi peristiwa. Urutan alur tersebut adalah pengarang mulai melukiskan keadaan,
kemudian peristiwa bergerak, lalu peristiwa mulai memuncak, selanjutnya
peristiwa mencapai puncak (klimaks) dan akhirnya pengarang menciptakan
alternatif penyelesaian.
Selanjutnya
tokoh dalam novel RKS ini yaitu Fikri sebagai tokoh utama dan
tokoh-tokoh lainnya sebagai tokoh tambahan. Latar pada novel RKS adalah
secara umum latarnya di Padang, di rumah gadang Kajai Pasaman, di Bukittinggi,
dan di Koto Baru Padangpanjang yang merupakan latar tempat. Latar waktu yang
terdapat dalam novel ada siang, malam, seminggu, dua minggu, sebulan, dua
bulan, kemudian latar sosialnya mencerminkan latar sosial tokoh beragama Islam,
latar sosial masyarakat yang baik seperti menjalin hubungan baik antar sesama
umat yang beragama, bertakziah kerumah orang yang ditimpa musibah,
tolong-menolong antar sesama. Latar tempat merupakan latar yang paling dominan
digunakan dalam novel ini. Tema dari novel RKS ini adalah tentang kasih
tak sampai.
Cinta
Fikri yang tak sampai dengan Rahima, karena Fikri dianggap orang datang tidak
beradat dan miskin harta. Kakak Rahima yang bernama Ningsih memisahkan mereka
berdua, Rahima dipaksa untuk menikah dengan teman Ningsih lantaran hutang budi.
Ningsih rela menjual harga diri adiknya demi mementingkan kehendaknya.
Amanatnya adalah kita harus berserah diri kepada Allah dan sabar dalam
menghadapi cobaan.
b.
Realitas
sosial masyarakat Minangkabau dalam Novel “Rinai
Kabut Singgalang” karya Muhammad Subhan.
Kajian sosiologi selalu
mengaitkan antara karya fiksi dengan penyelidikan system sosial masyarakat
pendukungnya. Tujuannya tak lain adalah menguji sejauh mana kerelevanan cerita
yang dibuat penulis dengan kehidupan masyarakat dengan konteks sosialnya
masyarakat Minangkabau. Sehingga dari penyelidikan tersebut dapat diketahui
bobot novel yang dituliskan Muhammad subhan dengan kajiannya tentang masyarakat
minangkabau.
Untuk menjalankan
pengujian tersebut, perlu dilakukan berapa langkah model analisis realitas
sosial yang tercermin dalam sebuah karya fiksi. Langkah-langkah tersebut
adalah: (1) menentukan latar cerita untuk mengetahui gambaran masyarakat yang
menajdi topic cerita, (2) penentuan tokoh beserta perannya, (3) penentuan peran
anatar tokoh yang terlibat untuk menentukan permasalahan cerita; (4) perumusan
masalah berdasarkan hubungan antar peran;(5) mengmengkaji hubungan permasalahan
yang dirumuskan, baik secara normative, secara fiktif, maupun secara objektif;
dan (6) interprestasi data untuk menentukan tingkat kerelevanan antara realitas
fiksi dengan realitas sosiobudaya masyarakat. Penerapan hasil analisis dari
langkah-langkah kerja diatas adalah sebagai berikut.
1.
Penentuan
latar
Melalui berapa analisa, novel RKS
mengungkapkan kehidupan tokoh utama mulai dari kehidupannya di Aceh. Dari
penceritaan penulis diperkirakan babak pertama berlatarkan kehidupan masyarakat
aceh pada saat perang saudara dan kecamuk GAM (Gabungan Aceh Merdeka) dengan
TNI (Tentara Nasional Indonesia). Hal demikian dapat dilihat kutipan novel
berikut;
“
…… media massa nasional dan internasional menyorot Aceh, negeri yang terus
banjir darah, karena perang saudara pecah, walau yang jadi korban selalu rakyat
tak bersalah.
di
tahun-tahun itulah, di masa perang brkecamuk dan tak kunjung usai, remaja itu
menghabiskan hari-harinya. Di sebuah kampong kecil di pesisir pantai Aceh
Utara.”
Kemudian penulis
mengalurkan tokoh utama kepada perantauan, yaitu ke Sumatra barat. Penjelasan
latar dapat diambil dari kutipan novel
RKS berikut ini;
“ ….. perjalanan terasa sangat jauh. Ia tak tahu saat itu telah ada
dimana. Yang ia tahu nbahwa ia tertidur pulas ketika bus memasuki kota
Berastagi. Ditebak-tebaknya saja kalau-kalau kendaraan yang ditumpanginya itu
sudah berada di perbatasan Sumatra Barat.”
Diperkirakan juga
penulis mengungkap kehidupan pada tahun 2000-an. Dalam salah satu kutipan erpen
dijelaskan tentang tsunami yang melanda Nanggroe aceh Darussalam dan
sekitarnya, seperti kutipan dibawah ini.
“….. tak ada lagi kiriman surat berikutnya yang dating dari aceh. Sebab,
tanggal 26 desember 2004, hari minggu pagi, seluruh daratan aceh diguncang
gempa bumi dahsayat disusul tsunami hebat. Air laut tumpah ruah kedarat.
Menyapu semua rumah, tanaman, ternak, dan membinasakan ratusan ribu manusia.
Fikri baru dapat menyaksikan tayangan berita tersebut beberapa hari setelah
peristiwa itu tejadi.”
Permasalahan
masyarakata pada taun 2000-an ini, juga dibatasi pengarang terhadap masyarakat
minangkabau perantauan. Indikasi itu didapati degan pengambilan latar kota
aceh, pasaman, padang, dan Jakarta sebagai tempat berlangsung peistiwa. Namun,
pengarang hanya menjadikan berapa latar diluar minangkabau tersebut sebagai
symbol penyebab perubahan sosial. Oleh sebab itu permasalahan dalam novel ini
bisa saja berhubungan dengan pergeseran nilai budaya dan nilai sosial yang
diamati atau dialami pengarang.
Dengan menentukan latar
waktu dan latar tempat novel ini, dapat disimpulkan bahwa Muhammad subhan
membicarakan seputar perubahan system sosial minangkabau. Perilaku tokoh dalam
novel dan kaitannya dengan realitas sosial yang ada di masyarakat Minangkabau.
Simpulan awal ini harus dilanjutkan dengan pengamatan data-data realitas
objektif untuk dapat menjadi bukti selanjutnya.
2.
Penentuan
peran dan hubungan antar peran
Sosok pribadi dalam
masyarakat minang minangkabau tidak hanya memerankan satu peran saja. Disamping
satu peran pokok masih banyak lagi peran yang dilakoni seseorang. Bisa
dikatakan peran itu berbeda sesuai dengan lingkungan atau kelompok yang
dimasukinya. Misalnya, saat berada
dirumah seorang bapak sebagai kepala keluarga dalam keluarganya, sebagai ayah
bagi anak-anaknya dan sebagai suami bagi istrinya. Karya fiksi sebagai
pencerminan tatanan kehidupan masyarakat, akan mengetengahkan berbagai peran
yang diperankan tokoh cerita. Tidak ada dalam karya fiksi satu tokoh memerankan
satu peran saja.
Dalam novel Rks seorang
tokoh minimal menjalankan dua peran. Inventarisasi peran tokoh dalan novel RKS
adalah sebagai berikut:
Tokoh
|
Peran
|
Fikri
|
Anak, kakak
laki-laki, ipar, kemenakan, teman, sahabat, guru mengaji, kekasih, anak
angkat, pengarang, pasien.
|
Maimunah
|
Ibu, istri, adik,
sepupu, mertua, nenek.
|
Munar
|
Ayah, nelayan.
|
Anissa
|
Adik, istri, ibu.
|
Hasan
|
Suami, menantu, ipar.
|
Rahmah
|
Adik, istri.
|
Bu aisyah
|
Penumpang, ibu,
anggota pengajian.
|
Mak tuo
|
Pedagang, sepupu.
|
Buyung
|
Anak.
|
Mak bujang
|
Mamak, suami, ayah,
adik, anggota masyarakat.
|
Yusuf
|
Pemuda kampung,
sahabat, kekasih, suami.
|
Pemuda kampung
|
Pemuda.
|
Sopir
|
Sopir.
|
Rahima
|
Anak, kekasih, adik,
istri.
|
Bu Rohana
|
Ibu angkat, istri.
|
Pak usman
|
Ayah angkat, suami,
nelayan.
|
Ustad rahman
|
Ustad, relawan.
|
Ningsih
|
Kakak, anak, istri, ibu.
|
Pak hartono
|
Penerbit.
|
Pramugari
|
Pramugari.
|
dokter
|
Dokter.
|
Dengan demikian, sebuah
peran dapat saja diperankan oleh berapa tokoh sekaligus. Dalam hal
penyelidikan masalah perlu ditinjau
kembali sudut peran yang dibubungkan dengan peran yang lain. Dari hal ini akan
dapat diidentifikasi masalah dengan cepat. Seperti yang tertera pada tabel
berikut:
Hubungan
Antar Peran
|
Tokoh
yang Terlibat
|
Anak- orang tua
(ayah-ibu)
|
Fikri-maimunah-munaf-annissa-rahmah
Buyung-mamak bujang
Bu aisyah-rahima-ningsih
Fikri-bu rohana- pak
usman
|
Suami-istri
|
Maimunah-munaf
Annissa-hasan
Bu rohana-pak usman
Rahima-suaminya
Yusuf-rahima
|
Teman - teman
|
Fikri-yusuf
Yusuf-pemuda kampung
|
Kekasih (pr)- kekasih
(lk)
|
Yusuf-halimah
Fikri- rahima
|
Mamak-kemenakan
|
Mak bujang-mamak
safri- fikri
|
Penulis-penerbit
|
Fikri-pak hartono
|
Dokter-pasien
|
Rahima-dokter-fikri
|
Pengelompokan hubungan
antar peran tersebut, sekaligus dapat di dipandang sebagai topik-topik yang
dibicarakan pengarang dalam karyanya. Topik-topik ini membantu peneliti dalam
menganalisa lebih dalam permasalahan yang diangkat pengarang dalam karyanya.
Terdapat enam kandidat permasalahan yang dirumuskan. Jika hubungan antar peran
itu tidak didukung oleh konflik, maka hubungan peran itu tidak dilanjutkan
sebagai penanda adanya permasalahan.
Sebagai contoh adalah
topik ke lima (5), penulis dengan penerbit yang tidak terdapat konflik diantara
dua peran tersebut. Dalam penceritaan tidak ditemukannya permasalahan yang
diangkat dari hubungan Fikri dengan pak Hartono. Diilustrasikan Fikri hanya
merasa gembira karena novelnya diterbitkan pihak penerbit Jakarta. Maka dalam
hal ini permasalahan hubungan kerjasama ini tidak bisa dilanjutkan sebagai
permasalahan yang harus dikonfirmasikan dengan konteks sosial.
Mengikuti
pola uji tersebut maka bersisa berapa topik diantaranya; (1) Anak- orang tua
(ayah-ibu); (2) Suami-istri; (3) Teman – teman;(4) Kekasih (pr)- kekasih (lk);
(5) Mamak-kemenakan. Sedangkan untuk topic (6) penulis dan penerbit dengan topik
(7) dokter dan pasien, tidak dapat dilanjutkan, karena tidak memiliki
permasalahan yang berdampak pada sosial. Topik-topik tersebut dianggap sebagai
latar atau hanya mendukung peran.
Topik
anak-orang tua (topik 1) didukung oleh beberapa tokoh, seperti Maimunah sebagai
ibu dan Munaf sebagai ayah dari Fikri, Annisa, dan Rahmah. Tokoh bu Aisyah sebagai
orang tua dari Rahima dan Ningsih. Serta tokoh bu Rohana dan pak Usman sebagai orang
tua angkat Fikri saat menetap di kota Padang.
Topik
suami istri di dukung oleh berapa peran diantaranya, Maimunah sebagai istri dan
Munaf sebagai suami. Annisa dan Hasan, bu Rohana dengan pak Usman, Rahima dan
suaminya, serta Yusuf dengan Rahima. Sedangkan tokoh Fikri tidak dapat dianggap
mandukung topik ini karena tidak memilki ikatan suami dan istri dengan tokoh
lain sehingga tidak menimbulkan konflik.
Topik
teman-teman hanya di dukung oleh peran Fikri dengan Yusuf dan Yusuf dengan pemuda kampung Kajai. Hubungan Fikri dan Yusuf
tidak menimbulkan konflik.
Topik
kekasih perempuan dengan kekasih laki-laki didukung oleh peran Yusuf dan
Halimah, Fikri dengan Rahima. Kekasih perempuan dan kekasih laki-laki yang
lebih menonjolkan konflik terlihat dari hubungan Fikri dan Rahima. Adapun
hubungan Yusuf dan Halimah tidak menimbulkan konflik yang terlalu mendukung
konflik ini.
Topik
hubungan mamak dengan kemenakan di dukung oleh, Mamak Bujang dan Mamak Safri yang
memiliki peran sebagai ninik mamak, sedangkan Fikri sebagai kemenakan. Mamak Bujang
sebagai mamak jauh Fikri sedangkan Mamak Safri merupakan mamak kandung.
hubungan dengan Mamak Bujang dikatakan tidak mendukung topik ini karena tidak
menimbulkan konflik.
Topik
hubungan penulis dengan penerbit hanya diperankan oleh Fikri dan pak Hartono.
Hubungan ini tidak menimbulkan konflik.
Topik
selanjutnya adalah hubungan pasien dengn dokter, diperankan oleh Rahima dan Fikri
sebagai pasien dengan dokter yang merawatnya. Hubungan ini tidak menimbulkan
konflik.
Dari
tujuh topik diatas, penulis mengarahkan untuk membahas konflik yang dihasilkan
dari hubungan suami istri yang di perankan oleh Maimunah dan Munaf. Dengan
demikian, masalah yang ditimbulkan dari hubungan ini terlihat pada beberapa
bahasan dalam novel yang menceritakan bahwasanya Maimunah menjadi orang
terbuang dari kampung dikarenakan menikah dengan Munaf yang merupakan pendatang
baru yang berdagang ke minangkabau. Adapun topik-topik lain yang juga memiliki
permasalahan dari hasil hubungan satu tokoh dengan tokoh lain akan menjadi
bahasan di lain waktu.
3.
Masalah Pernikahan Eksogami
A.
Secara normatif
a.
Pernikahan di Minangkabau
Dalam tiap masyarakat dengan susunan
kekerabatan bagaimanapun, perkawinan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal.
Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan,
antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga. Latar
belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan
hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya.
Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan
kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan dan
pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya
penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan
antara keluarga kelak kemudian.
Perkawinan juga
menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin,
jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan.
Berpilin duanya antara adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi
sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan
kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan
perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara
serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah
satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan
membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan
keturunan. Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah
diundangkan sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang
dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara. Hukuman itu tidak kentara
dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang.
Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat
perkawinan yang lazim di Minangkabau. Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari
dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut :
1. Kedua calon mempelai
harus beragama Islam.
2. Kedua calon mempelai
tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu
berasal dari nagari atau luhak yang lain.
3. Kedua calon mempelai dapat saling
menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
4. Calon suami (marapulai) harus sudah
mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua
syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi
syarat menurut adat Minang. Selain dari itu masih ada tatakrama dan upacara
adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi seperti tatakrama jopuik
manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, baralek gadang, jalang
manjalang dan sebagainya. Tatakrama dan upacara adat perkawinan inipun tak
mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa “Perkawinan itu
sesuatu yang agung”, yang kini diyakini hanya “sekali” seumur hidup
b.
Pernikahan Eksogami
Menurut
ajaran Islam sebagai agama satu-satunya yang dianut orang Minang dikatakan
bahwa ada 3 hal yang mutlak hanya diketahui dan ditentukan Tuhan untuk
masing-masing kita. Pertama adalah umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun
tahu kapan dia akan mati. Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya
dituntut berikhtiar dan berusaha namun berapa rezeki yang akan diberikan kepada
kita secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Ketiga adalah jodoh. Apapun upaya yang dilakukan oleh anak
manusia, bagaimanapun cintanya dia kepada seseorang, kalau Tuhan tidak
mengizinkan, perkawinan tidak akan terlaksana. Sebaliknya kalau memang
jodohnya, kenal dua minggupun, perkawinan dapat terjadi. Karena itu sebagai
orang Islam kita hanya senantiasa berdoa semoga dipanjangkan umurnya, diberi
rezeki yang banyak dan dientengkan jodohnya, disamping tetap berusaha mencari
pasangan hidupnya. Sekalipun demikian masyarakatpun mempunyai peranan yang
besar dalam penetapan jodoh. Dalam masyarakat Jawa misalnya, pemilihan jodoh
hampir tidak ada pembatasan. Namun perkawinan antara saudara sekandung tetap
tidak diperbolehkan.
Pada tiap masyarakat,
orang memang harus kawin diluar batas suatu lingkungan tertentu. Perkawinan
diluar batas tertentu ini disebut dengan istilah “eksogami”. Istilah eksogami
ini mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif). Pengertian diluar batas
lingkungan bisa diartikan luas namun bisa pula sangat sempit. Menurut Prof. Dr.
Koentjaraningrat kalau orang dilarang kawin dengan saudara-saudara kandungnya,
maka kita sebut “eksogami keluarga batih”. Kalau orang dilarang kawin dengan
semua orang yang mempunyai marga “marga” yang sama, disebut “eksogami marga”.
Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari “nagari” yang sama,
kita sebut dengan “eksogami nagari”.
Adat Minang menentukan
bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun. Oleh
karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku
serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis ibu”, maka disebut
“eksogami matrilokal atau eksogami matrilinial”. Dalam hal ini para
ninik-mamak, alim ulama, cendekiawan, para pakar adat dan pecinta adat Minang
dituntut untuk memberikan kata sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian
kata serumpun ini yang akan diperlakukan dalam perkawinan di Minang kabau.
Apakah “serumpun” itu sama dengan “samande”, “saparuik”, “sajurai”, “sasuku”,
ataukah “sasuduik”.
Pengamatan kami
membuktikan bahwa pengertian “serumpun” ini tidak sama di Minangkabau. Bahkan
dalam satu nagari saja, pengertian ini tidak sama, sehingga sangat
membingungkan masyarakat awam, apalagi generasi muda Minangkabau. Di nagari
kubang di Luhak 50-Kota misalnya, pengetian serumpun disamakan dengan “sasuduik”.
Yang dimaksudkan dengan “sasuduik” adalah satu kelompok dari beberapa “suku”.
Misalnya “Suduik nan 5″, terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu suku Jambak,
suku Pitopang, suku Kutianyir, suku Salo dan suku Banuhampu. Kelima buah suku
ini dianggap serumpun, sehingga antara kelima buah suku itu tidak boleh
dilakukan perkawinan. Kalau sampai terjadi bisa “dibuang sepanjang adat” karena
dianggap perkawinan “endogami” atau perkawinan didalam rumpun sendiri, yang
berlawanan dengan prinsip “eksogami” yang dianut di Minangkabau.
Tapi pengertian
“sarumpun” sama dengan “sasuduik” ini tidak konsisten pula, sebab ternyata
perkawinan sesama anggota dari “suduik nan 6″ dan sama-sama berasal dari suku
“Caniago” dan dalam nagari yang sama, malah diperbolehkan. Pengertian “serumpun”
yang tidak konsisten semacam ini, jelas akan sangat membingungkan anak
kemenakan di Minangkabau dalam memahami adat perkawinan di Minangkabau.
Pengertian serumpun yang tidak sama ini juga merupakan penghalang dalam mencari
jodoh. Semakin luas atau semakin banyak suku yang terhimpun dalam “serumpun”
semakin “sempit” arena perburuan mencari jodoh. Hal ini berakibat makin lama,
makin sulit bagi muda-mudi mencari pasangan dalam lingkungan masyarakatnya
sendiri. Misalnya bagi muda-mudi dari sudut nan 5 diatas, sangat musykil
mencari jodoh di nagari Kubang itu. Ini adalah suatu realita yang dapat
dibuktikan. Akibatnya banyak yang kawin ke luar “nagari”, bahkan sudah ada yang
sampai ke luar negeri. Kami tidak mengatakan bahwa hal ini menunjukkan gejala yang
baik, atau tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip “eksogami
matrilinial” akan mandek sendiri, bila pengertian serumpun tidak segera
direvisi dan diperkecil dari pengertian umum yang ada sekarang. Hal ini perlu
segera dilakukan bila kita ingin melestarikan prinsip-prinsip pokok adat
perkawinan Minangkabau khususnya.
B. Secara
Fiktif
Permasalahan perkawinan
eksogami juga ditemukan dalam permasalahan yang diangkat Muhammad Subhan dalam
novelnya RKS. Pernikahan Maimunah (ibu Fikri) dengan ayah Fikri, Munaf. MUNAF merupakan
pendatang yang berasal dari daerah Aceh untuk berdagang di nagari Minangkabau.
Maimunah dan Munaf kemudian saling jatuh hati lalu menjalin cinta secara diam-diam.
Penulis jelaskan pada halaman 61-65 yang mengisahkan hubungan ayah dan ibu
fikri pada waktu pernikahannya dilarang oleh ninik mamak pihak Maimunah.
Seperti
pembahasan sebelumnya, pihak ninik mamak Maimunah tidak setuju dengan pinangan
yang diajukan pihak Munaf. Alasannya karena Munaf merupakan orang datang yang
tidak diketahui asal-usul adatnya. Namun, pihak ninik mamak Maimunah berkilah
dengan mengatakan telah datang pinangan dari kampung seberang untuk Maimunah.
Maimunah tidak terima
dengan keputusan dari pihak ninik mamaknya memilih untuk ikut serta dengan Munaf
ke daerah asalnya lalu menikah di sana. Kisah ini diketahui Fikri dari tuturan Mak
Tuo dan Mak Bujang, saudara sepupu ibunya yang mendiami rumah gadang pusaka
milik ibunya.
Sikap yang dialakukan
oleh Maimunah dianggap aib keluarga, sehingga orang tua Maimunah menanggungkan
malu di kampung. Begitu pula dengan kakak laki-lakinya, safri, menderita
gangguan jiwa akibat tak kuasa menanggung beban malu keluarganya.
Maimunah pada akhirnya
menetap di daerah Aceh bersama Munaf dan anak-anaknya. Hingga Fikri memutuskan
untuk merantau ke Padang. Maimunah menyuruh Fikri mendatangi kampung halamannya
di daerah Kajai, Pasaman Barat. Guna menemui mamak Safri dan menceritakan
perihal dirinya.
Dari penceritaan diatas
dapat kita ambil kesimpulan bahwa Maimunah akhirnya merasa terbuang dari
kampung akibat perkawinan eksogami yang dilakukannya. Sedangkan di kampung
halamannya terjadi konflik bathin keluarga Maimunah yang menanggungkan malu.
C. Secara
Objektif
Untuk mendapatkan
data-data yang objektif perlu dilakukan obserfasi kelapangan terhadap perilaku
sosial masyarakat minangkabau tersebut. Untuk kepentingan ini telah dilakukan
penyebaran angket mengenai perkawinan eksogami di Minangkabau sesuai dengan
masalah yang dirimuskan pada realitas fiktif. Sumber data merupakan berapa
sampel dari masyarakat berbagai daerah Minangkabau seperti; Pesisir Selatan,
Solok, Riau, Payakumbuh, Bukittinggi, Lintau, dan Padang. kriteria sampel,
merupakan orang yang memahami perihal perkawinan di daerahnya masing-masing.
Agar dapat menjadi acuan penelitian sosiologis masyarakat Minangkabau mengenai
perkawinan eksogami.
Situasi umum pada
ketaatan masyarakat dala menjalankan aturan perkawinan di Minangkabau adalah
sebagai berikut: yang menyatakan masih taat pada aturan berunding dengan ninik
mamak sebelum melakukan pencalonan suami atau istri sebanyak 75%; tanpa ninik
mamak sebanyak 25% dewasa ini apakah masih dipertahankan larangan perkawinan
endogamy: ya 85%; tidak 15% hukuman moral bagi pelanggar aturan adat perkawinan:
diucilkan dari kampung 55%; keluar tatanan adat kampung 45%; tidak ada respon
apa-apa 0%.
Dari data yang di
kupulkan, dapat kita tarik kesimpulan
bahwa perkawinan eksogami tanpa persetujuan ninik mamak memang salah
satu hal yang dilarang dalam adat. Jika perkawinan terus dilaksanakan maka akan
terjadi diskriminasi di dalam lingkungan masyarakat setempat.
Perihal semakin
berkurangnya pendangan masyarakat terhadap aturan perkawinan di Minangkabau,
penulis menyimpulkan dikarenakan tiga bentuk, yakni: (1) tidak terasanya
peranan ninik mamak dalam keluarga (41.7 %);(2) kurangnya pengarahan mengenai
aturan perkawinan Minangkabau terhadap generasi mudanya (39.3%); (3) hukuman
moral yang diberikan saat ini sudah
terkesan ringan (38.0%).
Jika perkawinan di Minangkabau
tidak lagi mengacu pada kebudayaan yang sudah tertanam, maka responden
memberikan dampak positif dan dampak negatifnya sebagai berikut: nilai
matrilineal akan memudar dengan perlahan 57,9%; hilangnya rasa hormat terhadap
kedudukan ninik mamak 42,1%. Sedangkan dampak positifnya jika peraturan
perkawinan Minangkabau tetap dilestarikan adalah: semakin eratnya hubungan
persaudaraan dalam pihak sasuduik atau sasuku 47,8%; idealitas dan identitas Minangkabau
akan lebih terlihat 52,2%.
D. Interprestasi
data
Sebuah karya fiksi
dapat dipandang sebagai jemabatan dunia normatif. Dimana karya fiksi di
ibaratkan penggambaran kehidupan masyarakat pada suatu waktu. Karya fiksi harus
menampilkan idealisme masyarakatnya, sekaligus menggambarkan realitas sosial
masyarakat.
Novel RKS ditinjau dari
penjelasan tadi, memenuhi kriteria tersebut. Dalam novel RKS, di jelaskan
secara objektif idealisme serta realitasnya dalam kehidupan masyarakat sebenarnya. Penggambaran idealisme masyarakat Minangkabau
dalam novel RKS, dapat ditemukan di tiap pembahasannya. Namun, kali ini penulis
hanya akan membahas perihal perkawinan eksogami yang dilakukan ibu Fikri, Maimunah
dengan Munaf, ayah Fikri. Masalah timbul
saat pihak ninik mamak Maimunah tidak merestui hubungan Maimunah dengan Munaf.
Pembahasan mengenai masalah Maimunah dan Munaf emang tidak terlalu mendominasi.
Namun, menjadi acuan bagi alur cerita selanjutnya.
Walaupun demikian,
masalah perkawinan eksogami dan peranan ninik mamak di dalamnya berkaitan
dengan realitas objektif. Hal ini di perjelas dengan pendapat responden yang
menilai hanya sekitar 78,9% masyarakat Minangkabau yang masih mempertahankan
udaya dan peraturan perkawinan di Minangkabau.
Novel RKS dapat
dikatakan mewakili keadaan masyarakat pada masa sekarang ini. Peraturan
mengenai perkawinan adat sudah tidak terlalu di hiraukan lagi. Sudah banyak
terjadi pelanggaran dalan aturan perkawinan. Seperti halnya perkawinan endogami,
yang melarang menikahi saudara satu suku.
Hukuman moral juga
tidak terlalu berat, berbeda dengan keadaan yang dirasakan Maimunah saat
memilih untuk pergi dan menikah dengan lelaki pilihannya. Walaupun tidak
direstui pihka ninik mamak. Maimunah jadi orang terbuang dari kampungnya.
D.
PENUTUP
a. Simpulan dan Saran
Banyak hal yang dapat dipelajari
dan diteladani dari keseluruhan isi novel RKS karya Muhammad Subhan. Dalam
penelitian ini penulis hanya mengkaji nilai sosiologis yang terkandung noovel
RKS karya Muhammad Subhan. Bagi peneliti lain hendaknya dapat menelaah novel
ini dengan analisis dari segi lainnya, seperti nilai ekspresif, budaya,
pendidikan dan psikologi tokoh dalam novel ini akan menjadi hal yang sangat
menarik untuk dikupas dan diteliti lebih rinci lagi. Kemudian membandingkan
hasilnya dengan penelitian ini, agar pemahaman terhadap novel ini lebih mantap.
Bagi
mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah khususnya dan pembaca
umumnya, penelitian ini dapat memberikan gambaran dalam memahami karya sastra
dalam menganalisis novel khususnya novel RKS karya Muhammad Subhan. Dengan
adanya hasil penelitian ini dapat dijadikan contoh dalam menganalisis novel.
Adapun bagi masyarakat umum, analisis ini juga perlu diterapkan, supaya lebih
memahami kandungan nilai dan amanat yang terdapat dalam novel dengan lebih
medalam sehingga dapat direalisasikan dalam kehidupan sehri-hari.
Catatan:
artikel ini disusun berdasarkan penelitian untuk penulisan tugas dengan dosen
pembimbing Yasnuar Asri.
KEPUSTAKAAN
Atmazaki. 2007. Ilmu Sastra: Teori
dan Terapan. Padang: UNP Press.
Luxemburg, jan van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT
Gramedia.
Minang, Palanta. 2008. Adat Minangkabau, Pola
& Tujuan Hidup Orang Minang. Wordpress.com (diakses 8 desember 2012)
Muhardi, dan Hasanuddin. 1992.
Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Padang Press.
Semi,
M. Atar. 1984. Anatomi Sastra. Padang: UNP.
Semi, M. Atar. 1993. Metodologi
Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Bandung.
Subhan, Muhammad. 2011. Rinai Kabut Singgalang. Jakarta: PT
Gramedia.