Rasanya
mereka terlalu jahat padaku akhir-akhir ini. celana dalamku kini tak lagi dari
kain. Sudah berbusa. Tebal dan panas. Ah, apa ini. ‘peampers’ katanya. Aku tak suka. Selangkangku dikapitnya. Sakit
gerah dan panas. Aku tak mengeluarkan air seni banyak-banyak. Toh makan dan
minumku pun tak banyak. Kenapa aku disiksa , mereka menyegel duburku dengan
pembalut besar berkaret itu.
***
Pukul
lima subuh. Garin pun terdengar berbisik disini. Kali-kali mereka tak mau
mengganggu para pesakit yang tengah beristirahat dalam kejang. Namun ibaratnya
aku ini sudah terlalu paham panggilan Tuhan. Bahkan jika yang menjadi muazin
surau sebongkah telur semut pun, akan terdengar olehku. Seperti yang kukatakan
tadi. Aku sudah terlalu paham panggilan Tuhan.
“tak..tak..tak..”
dari jauh terdengar tumit sepatu berjalan lambat. Bunyi ketukan yang sama
dengan dua hari lalu. Sudah bisa kuprediksi kalau yangakan muncul adalah perawat
gemuk ber-bra besar itu. aku suka bila dia yang melakukan pemeriksaan pagi.
olahraga otot mata. Begitulah kufikir. Tapi kalian jangan salah. Tangannya yang
besar cukup kuat mengapit lengan si renta macam aku. Jarinya yang jempol semua
menekan daging pembalut tulangku. Kurasa tak perlu pakai …… (pengukurtensi)…
dia akan tahu berapa kadar darah yang kumiliki saatitu dan betapa aku masih
kuat dengan pompaan detak jantung yang luar biasa saat disentuhnya.
Usai
denganku dia berpindah pada pasien disampingku. Lelaki renta. Tubuhnya hanya
dibalut sehelai boksen tipis. Warnanya sudah sedikit kusam. Alasannya boksen
itu ringan dan tidak membuatnya gerah. Terserah dialah.
Lelaki
lanjut usia disampingku itu selalu saja mencari lawan dengan aku yang renta
ini. aku marah sangat padanya. Tiap hari dia selalu saja dibawakan air, buah,
makanan dan baju oleh anaknya. Dan istrinya, istrinya selalu saja mengipasinya,
menyuapi si tua itu dengan makanan dan minuman bawaan anak mereka.
Kalau
mereka sudah berkumpul bersama. Kendati ruangan yang ditempati si tua itu
hanyalah bangsal sederhana di rumah sakit umum pemerintah, seakan menjadi ruang
VIP saja buatnya. Si tua itu tersenyum walau sedikit dipaksa. Sedang saya. Anak
saja enggan datang kesini. Kalaupun datang mereka hanya memberi saya uang, uang
dan uang. Saya tak butuh itu. uang saya sudah banyak. Banyak sekali di bank
sana. Kenapa mereka mengartikan kasih sayang hanya dengan uang?.
Istriku,
ah.. Muanah.. muanah ooii… lihat lah suami kau Muanah. Kenapa kau begitu durhaka
padaku. Kau pergi tanpa mengajakku dulu. Kau tak tahu betapa aku kesulitan
menghabiskan sisa amanah ini seorang diri. Kau tak ada. kepada siapa cerita ini
kuhempaskan Muanah. Ah, Muanah.. Muanah.. tega sekali kau padaku ini.Dulu
seketika kita akan menjajaki kehidupan berdua, kau berjanji tak akan
meninggalkanku sendiri. Tapi kau lihat kini inah?, aku terbujur dengan selang
bening menancap ditanganku. Sendiri. Aih, percuma kutanya kau sekarang Inah,
jawabanmu sudah kutebak. Pastilah kau akan menyalahkan takdir.
***
Duha
sudah berlalu, kini jam sudah mengisyaratkan lapar padaku. Maklum, sakit
diabetes membuatku harus sedikit lebih rajin berpuasa dibanding para ulama.
Sekalipun hanya untuk berapa jam, kan namanya puasa juga. “jadwal makan, pukul
11:30”. Begitu tertera di papan kecil atas dipanku. Untuk sampai pada jam itu,
aku masih harus menunggu sekitar 3 jam lagi.
Disini,
menunggu makan jauh lebih mengasyikan disbanding dirumahku. Rumah seluas wisma
itu serasa sangat mengikat perutku. Bagaimana tidak, didalam kulkas ada bayak
bahan makanan tersedia. Didapur apa lagi. Peralatan masak, bumbu, dan banyak
hal lainnya untuk meramu masakan tersedia. Kendalanya satu saja. Aku malas
memasak. Untuk aku yang tinggal sebatang tubuh ini saja, haruskah aku jua yang menggiling
cabai?. Aku jugakah yang akan dijajal minyak ikan nan meletup-letup?. Terlalu
letih aku rasanya jika harus memasak juga.
Lebih
baik kubeli makanan itu, kalaupun aku tak mampu membeli ikan, kerupuk jangek juga bisa menemani nasi bukan?.
Tak perlulah mahal dan mewah. Yang jelas bisa mengganjal perutku.
Sekali
waktu aku berfikir. Kenapa tak diberinya aku ini makanan oleh anakku?. Takutkah
mereka aku akan mengusak makanan keluarganya. Kenapa mereka hanya membelikan
kulkas besar itu sayur mayur dan protein-protein yang akan mudah busuk. Jelas
mereka tahu tanganku tak kuat mengangkat kuali gorengan. “mereka fikir aku akan
tetap mandiri sekalipun sudah tua begini,” ujarku kadang-kadang.
Pernah
suatu ketika, Pasar Usang, kawasan rumahku, menjadi wisata banjir usai diguyur
hujan sesiang-malaman. Tentulah aku tak bisa keluar persembunyian guna membeli
makanan. Sekalipun kedai yang akan kutuju berada selangkah lebih dari depan
rumahku. Terlalu dingin membuat urat kakiku kaku. Hingga cita-citaku
mendapatkan sehelai rakik maco pupus
sudah. Aku hanya bisa memagut guling sekuat mungkin. Agar tak terasa lagi
perutku bergetar hebat ulah lapar.
Kali
saja anakku memang terlalu sibuk, hingga mereka lupa aku selalu lapar jika
waktu Zuhur dan Magrib tiba.
***
“kriing….”
Bunyi meja berjalan milik petugas dapur rumah sakit. Pertanda waktu makan
menghampiri bangsalku. Wadah segi empat berbahan alumunium kuterima. Cuih, nasi
hambar lagi. “terimakasih telah mau menggantikan istriku,” ucapku dalam pada
wanita yang menyuguhkan makanan padaku. Setidaknya bahasaku membuat makanan ini
lebih manis. Hu,
Kupaksakan
makanan lunak itu memasuki lorong tenggorokanku. Memualkan. Tapi akan lebih
berbahaya jika aku tak makan.
Kau
harus tahu, aku lebih memilih rumah sakit dibading panti jompo. Disini aku
masih memandangi para perempuan dengan lelakinya. “sekedar mengenang masa muda,”
celotehku dalam hati. Ya, biasanya aku hanya berceloteh dalam hati saja. Kadang
kuanggap mereka aktris layar lebar. Haha, bagaimana tidak, berapa kali kuperhatikan
orang-orang yang silih berganti menunggui sesosok tubuh. Saat didepan tubuh
yang diikat selang infuse itu mereka menghiba-hiba, meratapi nasib si tubuh. Tapi
cubalah dengar saat mereka sudah berada dibalik daun telinga si tubuh yang
terbaring. Pokok utama pembicaraan mereka hanya satu hal. “bagaimana pembagian
harta si tua itu,”. malang sekali kau pak tua, pak tua.
Namun
semalang-malang pak tua yang digunjingkan, lebih malang aku yang tak pernah
disapa. Bahkan lalat hijaupun enggan berdenging dikupingku. Kuanggap mereka
yang diam saja adalah orang yang tak tahu bagaimana kayanya diriku. “kasihan
sekali,” iba ku. Tapi lambat laun aku merasa iri juga. Kenapa tak ada yang mau
menemaniku bercerita. Apakah aku terlalu cerewet?. Kurasa tidak. Lidahku sudah
patah. Darah tinggi yang mengawani penyakit diabetesku membuat sebagian badanku
mati.
Namun
kenapa mereka tak mau mengajakku bercerita?. Aku ingin sedikit kosa kata saja
selain ajakan makan dan minum obat melalui saluran pendengaranku.
Tampaknya
bagiku berharap itu tak layak. Baiklah, aku akan diam saja.
***
“kenapa pak tua itu?.” ujar salah seorang
wanita dari balik ruang berbataskan tirai kain. “entahlah, mungkin sudah jerih
nafasnya.” Sahut wanita disebelahnya. Lalu mereka sama berdo’a. entah apa yang
didoakannya. Yang jelas mulutnya meruncing keluar dan kedalam.
Kurasakan
kuku kakiku sudah tak berdarah lagi. Dingin. Haus. Dan aku mengharapkan suara
anakku. “laaailahaillaaullah…” seorang berbaju koko memekakkan telingaku dengan
kulimah yang sudah kubaca sejak minggu kemarin. “bantu saya, panggil anaknya.” Ujar
si laki-laki berbaju koko. “setahu saya dia tak punya anak pak,” ujar suster
disampingnya. ‘kau salah suster, anakku ada empat belas orang. Cucuku tiga
puluh dua. Hanya saja mereka terlalu jijik masuk kedalam ruangan ini.’ jeritku
dalam hati.
Kemudian
si laki-laki menumbuk telingaku lagi dengan kalimat yang sama. Dan sesekali
mengusap kepalaku yang sudah mulai dingin.
“aku
anaknya pak,” samar-samar kulihat perempuan bertudung, ah itu suster yang
sering kugoda. “pak…” katanya mendekat padaku. Tak lagi jantungku berdegub. Mataku
saja yang nyalang terbelalak keatas. “saya sudah memaafkan bapak, sekarang bapak ucapkan ‘Assyhaduallailahaillallah…”
suara perempuan itu menenangkanku. Lalu lidahku berputar-putar dan nafasku
mulai tak senggal. Dalam menghirup nafas ku bisikan dalam hati tentang istriku,
kuharap kau tak marah karna telah kuselingkuhi diakhir hayatku. Semua karna kau
terlalu cepat meinggalkan aku dan dunia karena paru-parumu yang busuk. Kau tak tahu betapa hidupku sangat sulit saat
tak kau temani.
Kau
tahu, anak kita tak menjadi manusia karena aku tak bisa menghidupinya dengan
sebelah hati. Muanah, temuilah aku disurga nanti. Kita diskusikan masalah ini. agar
kaumku tak gegabah lagi dalam mencintai kaumu. Muanah, aku mencintaimu.
***
“innalillahi
Wainna ilaihi Raji’un….”…..
Padang,
14 desember 2013