Jumat, 13 Desember 2013

Menjadi Tua dan Tersisih



Rasanya mereka terlalu jahat padaku akhir-akhir ini. celana dalamku kini tak lagi dari kain. Sudah berbusa. Tebal dan panas. Ah, apa ini. ‘peampers’ katanya. Aku tak suka. Selangkangku dikapitnya. Sakit gerah dan panas. Aku tak mengeluarkan air seni banyak-banyak. Toh makan dan minumku pun tak banyak. Kenapa aku disiksa , mereka menyegel duburku dengan pembalut besar berkaret itu.
***
Pukul lima subuh. Garin pun terdengar berbisik disini. Kali-kali mereka tak mau mengganggu para pesakit yang tengah beristirahat dalam kejang. Namun ibaratnya aku ini sudah terlalu paham panggilan Tuhan. Bahkan jika yang menjadi muazin surau sebongkah telur semut pun, akan terdengar olehku. Seperti yang kukatakan tadi. Aku sudah terlalu paham panggilan Tuhan.
“tak..tak..tak..” dari jauh terdengar tumit sepatu berjalan lambat. Bunyi ketukan yang sama dengan dua hari lalu. Sudah bisa kuprediksi kalau yangakan muncul adalah perawat gemuk ber-bra besar itu. aku suka bila dia yang melakukan pemeriksaan pagi. olahraga otot mata. Begitulah kufikir. Tapi kalian jangan salah. Tangannya yang besar cukup kuat mengapit lengan si renta macam aku. Jarinya yang jempol semua menekan daging pembalut tulangku. Kurasa tak perlu pakai …… (pengukurtensi)… dia akan tahu berapa kadar darah yang kumiliki saatitu dan betapa aku masih kuat dengan pompaan detak jantung yang luar biasa saat disentuhnya.
Usai denganku dia berpindah pada pasien disampingku. Lelaki renta. Tubuhnya hanya dibalut sehelai boksen tipis. Warnanya sudah sedikit kusam. Alasannya boksen itu ringan dan tidak membuatnya gerah. Terserah dialah.
Lelaki lanjut usia disampingku itu selalu saja mencari lawan dengan aku yang renta ini. aku marah sangat padanya. Tiap hari dia selalu saja dibawakan air, buah, makanan dan baju oleh anaknya. Dan istrinya, istrinya selalu saja mengipasinya, menyuapi si tua itu dengan makanan dan minuman bawaan anak mereka.
Kalau mereka sudah berkumpul bersama. Kendati ruangan yang ditempati si tua itu hanyalah bangsal sederhana di rumah sakit umum pemerintah, seakan menjadi ruang VIP saja buatnya. Si tua itu tersenyum walau sedikit dipaksa. Sedang saya. Anak saja enggan datang kesini. Kalaupun datang mereka hanya memberi saya uang, uang dan uang. Saya tak butuh itu. uang saya sudah banyak. Banyak sekali di bank sana. Kenapa mereka mengartikan kasih sayang hanya dengan uang?.
Istriku, ah.. Muanah.. muanah ooii… lihat lah suami kau Muanah. Kenapa kau begitu durhaka padaku. Kau pergi tanpa mengajakku dulu. Kau tak tahu betapa aku kesulitan menghabiskan sisa amanah ini seorang diri. Kau tak ada. kepada siapa cerita ini kuhempaskan Muanah. Ah, Muanah.. Muanah.. tega sekali kau padaku ini.Dulu seketika kita akan menjajaki kehidupan berdua, kau berjanji tak akan meninggalkanku sendiri. Tapi kau lihat kini inah?, aku terbujur dengan selang bening menancap ditanganku. Sendiri. Aih, percuma kutanya kau sekarang Inah, jawabanmu sudah kutebak. Pastilah kau akan menyalahkan takdir.
***
Duha sudah berlalu, kini jam sudah mengisyaratkan lapar padaku. Maklum, sakit diabetes membuatku harus sedikit lebih rajin berpuasa dibanding para ulama. Sekalipun hanya untuk berapa jam, kan namanya puasa juga. “jadwal makan, pukul 11:30”. Begitu tertera di papan kecil atas dipanku. Untuk sampai pada jam itu, aku masih harus menunggu sekitar 3 jam lagi.
Disini, menunggu makan jauh lebih mengasyikan disbanding dirumahku. Rumah seluas wisma itu serasa sangat mengikat perutku. Bagaimana tidak, didalam kulkas ada bayak bahan makanan tersedia. Didapur apa lagi. Peralatan masak, bumbu, dan banyak hal lainnya untuk meramu masakan tersedia. Kendalanya satu saja. Aku malas memasak. Untuk aku yang tinggal sebatang tubuh ini saja, haruskah aku jua yang menggiling cabai?. Aku jugakah yang akan dijajal minyak ikan nan meletup-letup?. Terlalu letih aku rasanya jika harus memasak juga.
Lebih baik kubeli makanan itu, kalaupun aku tak mampu membeli ikan, kerupuk jangek juga bisa menemani nasi bukan?. Tak perlulah mahal dan mewah. Yang jelas bisa mengganjal perutku.
Sekali waktu aku berfikir. Kenapa tak diberinya aku ini makanan oleh anakku?. Takutkah mereka aku akan mengusak makanan keluarganya. Kenapa mereka hanya membelikan kulkas besar itu sayur mayur dan protein-protein yang akan mudah busuk. Jelas mereka tahu tanganku tak kuat mengangkat kuali gorengan. “mereka fikir aku akan tetap mandiri sekalipun sudah tua begini,” ujarku kadang-kadang.
Pernah suatu ketika, Pasar Usang, kawasan rumahku, menjadi wisata banjir usai diguyur hujan sesiang-malaman. Tentulah aku tak bisa keluar persembunyian guna membeli makanan. Sekalipun kedai yang akan kutuju berada selangkah lebih dari depan rumahku. Terlalu dingin membuat urat kakiku kaku. Hingga cita-citaku mendapatkan sehelai rakik maco pupus sudah. Aku hanya bisa memagut guling sekuat mungkin. Agar tak terasa lagi perutku bergetar hebat ulah lapar.
Kali saja anakku memang terlalu sibuk, hingga mereka lupa aku selalu lapar jika waktu Zuhur dan Magrib tiba.
***
“kriing….” Bunyi meja berjalan milik petugas dapur rumah sakit. Pertanda waktu makan menghampiri bangsalku. Wadah segi empat berbahan alumunium kuterima. Cuih, nasi hambar lagi. “terimakasih telah mau menggantikan istriku,” ucapku dalam pada wanita yang menyuguhkan makanan padaku. Setidaknya bahasaku membuat makanan ini lebih manis. Hu,
Kupaksakan makanan lunak itu memasuki lorong tenggorokanku. Memualkan. Tapi akan lebih berbahaya jika aku tak makan.
Kau harus tahu, aku lebih memilih rumah sakit dibading panti jompo. Disini aku masih memandangi para perempuan dengan lelakinya. “sekedar mengenang masa muda,” celotehku dalam hati. Ya, biasanya aku hanya berceloteh dalam hati saja. Kadang kuanggap mereka aktris layar lebar. Haha, bagaimana tidak, berapa kali kuperhatikan orang-orang yang silih berganti menunggui sesosok tubuh. Saat didepan tubuh yang diikat selang infuse itu mereka menghiba-hiba, meratapi nasib si tubuh. Tapi cubalah dengar saat mereka sudah berada dibalik daun telinga si tubuh yang terbaring. Pokok utama pembicaraan mereka hanya satu hal. “bagaimana pembagian harta si tua itu,”. malang sekali kau pak tua, pak tua.
Namun semalang-malang pak tua yang digunjingkan, lebih malang aku yang tak pernah disapa. Bahkan lalat hijaupun enggan berdenging dikupingku. Kuanggap mereka yang diam saja adalah orang yang tak tahu bagaimana kayanya diriku. “kasihan sekali,” iba ku. Tapi lambat laun aku merasa iri juga. Kenapa tak ada yang mau menemaniku bercerita. Apakah aku terlalu cerewet?. Kurasa tidak. Lidahku sudah patah. Darah tinggi yang mengawani penyakit diabetesku membuat sebagian badanku mati.
Namun kenapa mereka tak mau mengajakku bercerita?. Aku ingin sedikit kosa kata saja selain ajakan makan dan minum obat melalui saluran pendengaranku.
Tampaknya bagiku berharap itu tak layak. Baiklah, aku akan diam saja.
***
 “kenapa pak tua itu?.” ujar salah seorang wanita dari balik ruang berbataskan tirai kain. “entahlah, mungkin sudah jerih nafasnya.” Sahut wanita disebelahnya. Lalu mereka sama berdo’a. entah apa yang didoakannya. Yang jelas mulutnya meruncing keluar dan kedalam.
Kurasakan kuku kakiku sudah tak berdarah lagi. Dingin. Haus. Dan aku mengharapkan suara anakku. “laaailahaillaaullah…” seorang berbaju koko memekakkan telingaku dengan kulimah yang sudah kubaca sejak minggu kemarin. “bantu saya, panggil anaknya.” Ujar si laki-laki berbaju koko. “setahu saya dia tak punya anak pak,” ujar suster disampingnya. ‘kau salah suster, anakku ada empat belas orang. Cucuku tiga puluh dua. Hanya saja mereka terlalu jijik masuk kedalam ruangan ini.’ jeritku dalam hati.
Kemudian si laki-laki menumbuk telingaku lagi dengan kalimat yang sama. Dan sesekali mengusap kepalaku yang sudah mulai dingin.
“aku anaknya pak,” samar-samar kulihat perempuan bertudung, ah itu suster yang sering kugoda. “pak…” katanya mendekat padaku. Tak lagi jantungku berdegub. Mataku saja yang nyalang terbelalak keatas. “saya sudah memaafkan bapak, sekarang  bapak ucapkan ‘Assyhaduallailahaillallah…” suara perempuan itu menenangkanku. Lalu lidahku berputar-putar dan nafasku mulai tak senggal. Dalam menghirup nafas ku bisikan dalam hati tentang istriku, kuharap kau tak marah karna telah kuselingkuhi diakhir hayatku. Semua karna kau terlalu cepat meinggalkan aku dan dunia karena paru-parumu yang busuk.  Kau tak tahu betapa hidupku sangat sulit saat tak kau temani.
Kau tahu, anak kita tak menjadi manusia karena aku tak bisa menghidupinya dengan sebelah hati. Muanah, temuilah aku disurga nanti. Kita diskusikan masalah ini. agar kaumku tak gegabah lagi dalam mencintai kaumu. Muanah, aku mencintaimu.
***
“innalillahi Wainna ilaihi Raji’un….”…..
                                                                                                           
                                    Padang, 14 desember 2013

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...