Takdir,
terserah kau!!!
Rinai
membasahi kota kelahiranku kala itu. suara “tess…” terdengar jelas dari aspal
jalan yang sudah mengerang pada panas siang hari. Padang memang terlalu panas
bulan juli ini. terlebih saat kau mencoba berjalan dari satu tempat ke tempat
lain tanpa ada peneduh dikepala. Aku yakin akan terasa sedikit menyakitkan
ubun-ubun. Seperti yang kurasakan hari ini.
Siapa
bilang aku akan mengeluhkan cuaca hari ini. bukan, aku bukan mengeluhkan
cuacanya. Kepalaku memang sedang berdenyut. Memikirkan semua yang mungkin kufikirkan.
Terlalu banyak yang kufikirkan, kurasa begitu. Aku sadar tak baik demikian.
Tapi bukankah berfikir begini lebih baik daripada harus bertatapan kosong di siang
yang mulai memuakkan ini. yah, walaupun kepalaku sedikit tidak terima dan urat
sarafku serasa mulai ditarik-tarik.
Apa
yang kufikirkan?. Entahlah, ada-ada saja yang kubayangkan. Masa lalu dengan
kenangannya, masa sekarang dengan semua masalahnya, dan masa depan dengan semua
mimpiku. Mungkin aku pengimaji yang ulet. Aku bahkan bisa menerbangkan khayalan
masalalukku ke masa depan. Hingga tersangkut-sangkutlah yang kufikirkan. Kadang
menjadi suatu yang tak mungkin kurasa. haha, namanya juga khayalan.
Baiklah.
Huruf-huruf ini sudah mulai membuatku geram. Akan kuceritakan sedikit tentang
masa laluku.
Saat
aku mejalani masa itu terasa begitu manis. Jika kuibaratkan mungkin akan serupa
gula balok.kemanapun kau menjilatinya, akan selalu terasa manis. Manis. Manis
dan manis. Terbuai jua aku dibuatnya. Hingga aku tak mau membuka mata saat
semua hal memberitahuku bahwa aku telah keracunan pada manisnya kisahku.
Aku
berhenti menjilat. Hatiku #jiahHATI, mulai dirubungi semut. Hilang sejengkal
setiap detiknya. Hingga benar-benar tak ada hati. Jangan berharap aku akan
selamat setelah hatiku diraup para pasukan kerdil itu. tidak. Aku tak bisa
diselamatkan. Bahkan aku tak lagi meminum kopi dengan gula. “bahkan pahit
begini lebih jelas,” keluhku pada cangkir usai meneguk air kopi tanpa apapun
itu.
Ah,
takdir.. sekarang terserah kau lah. Kunikmati saja.
***
Angin
tak lagi malu-malu menampar wajah tak tirusku. Tamparan yang semakin
melenyapkanku pada khalayan bodoh tengah hari bolong.
Setelah
mulai berbaikan dengan badanku nan sempat ogah
berdiri, kutelusuri lagi kisah selanjutnya.
Kau
tahu, seekor kucing manis pemalu mendekatiku. Mengeluskan bulu-bulunya padaku.
Bulu-bulu yang tak lebat. Tapi kurasakan hangat saat dia mulai mengitari
kakiku.
padanan
tiga warna di dahi, badan dan ekornya, menyentilku untuk sedikit bergurau
dengannya. “kucing manja,” desahku sambil mengelus bulu-bulu teratur
dibadannya. si kucing menggeliat manja saat tanganku mulai mengelus kepala
hingga ujung ekor. “ah, dasar…”
Lihatlah,
matanya. Mata polos yang membuatku tak tahan. Aku ingin melarikan kucing ini saja.
Sepertinya aku sudah jatuh cinta pada kehangatannya. Siapakah pemiliknya?.
Adakah?. Jika iya, tentu aku akan meminta izin dahulu. Dan kukatakan “tuankah
pemilik simanis ini?. dia telah membuatku kembali sadar. Masih ada sedikit hati
yang bisa kuselamatkan. Dan izinkan kucing ini menemaniku memperbaiki keadaan.”
Dengar,
jika memang ada pemiliknya. Dan aku dilarang memiliki kucing ini, “KULARIKAN
SAJA…!!”. Haha, jahatkah?. Tak apa. Nanti kalau kucingnya sudah gemuk, ku
kembalikan lagi.
Tapi…
untuk bisa tinggal bersama seekor kucing berparas cantik tentu tak semudah membuat telur dadar. Aku harus menjaga bulu indahnya, biar hangatnya tak berkurang. Aku harus menjaga kesehatannya, agar dia tak cepat mati dan meninggalkanku begitu saja. Agar dia tak malu memilki tuan seperti aku ini.
untuk bisa tinggal bersama seekor kucing berparas cantik tentu tak semudah membuat telur dadar. Aku harus menjaga bulu indahnya, biar hangatnya tak berkurang. Aku harus menjaga kesehatannya, agar dia tak cepat mati dan meninggalkanku begitu saja. Agar dia tak malu memilki tuan seperti aku ini.
“Tentu,
tentu saja. Semua sudah kuatur. Bahkan sebelum aku bertemu denganmu manis..”
kataku. Kuharap kau bersabar. Akupun takkan meyia-nyiakan kamu. Kumisnya mulai
naik turun seakan mengiyakan kataku. Hidungmu terlalu pesek, tapi aku suka
warnanya. Sayang tak bisa kusapit dengan jari. Bagaimana kalau kuciumi saja.
Haha, kucingpun malu.
S
I A L….!!
Aku
benar-benar jatuh cinta padanya. Sibelang bermata kaca. Apa akalku
menyembunyikan perasaan ini?.
Ah,
kufikir tak terlalu masalah. Bahkan ibu sangkuriang bercinta dengan suaminya yang
menyamar jadi anjing. Lalu apa salahnya jika aku berkekasihkan kucing manis
ini?. tak ada yang salah bukan.
“aku
yakin, sekitar empat tahun lagi, saat bulan purnama datang, kekasihku itu sudah
berubah menjadi pangeran berkuda putih.” Ucapku mencari-cari alasan penguat.
Hai,
kau manis. Maukah kau menjadi pangeran untukku?. Kurasa Tuhanpun tak akan
mempermasalahkan hubungan kita. Asalkan kau berjanji padaku, jadilah pangeran
bermahkota mutiara kelak. Aku berjanji, menemanimu berevolusi. J
***
Terlalu
buas khayalanku siang ini. kurasa keadaan mendukung untuk tetap semena-mena
pada imajinasi pemburuku. Ya, aku suka berburu. Berburu anggapan. Berburu
sisi-sisi lain kehidupan lalu kuceritakan pada dunia tentang apa yang kudapat
dari perburuan itu. seperti yang kau baca sekarang kira-kira. Inilah hasil
buruanku.
Saat
ini aku mulai lelah berfikir. Kepalaku serasa makin ditarik. Belum kumasuki
zona masa depan. Lain waktu kita akan bercerita lagi. Mungkin lanjutan cerita
tentang si kucing yang belakangan kuberi nama ‘B’. aku tak tahu sejauh mana dia
bisa member ide tulisan di laman ini. kita nikmati saja lah, sembari berharap
khalayan itu tak umpama bulu simanis yang mudah gugur saat kusentuh.
Haha, B… :D