STRUKTUR DAN EKSPRESI BUDAYA
MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG KARYA MUHAMMAD SUBHAN
Oleh:
Novi Yenti
Program Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia
FBS Universitas Negeri Padang
ABSTRACT
This article aimed to describe: (1) the
structure of the novel Rinai Kabut Singgalang, by Muhammad Subhan, and
(2) the culture expression found in this
novel. The data of this study were the texts of the novel that contain culture
expression .Those data were collected descriptively through some stages, (1)
read and mark the events and the characters’ behaviors which lead to the focus
of the research, (2) mark parts of the novel that became the focus of research,
and (3) record the data by noting down those which are related to the culture
expression. The findings of the study were first, the plot of the novel
moves forward, the main character is Fikri, the background of the novel is the
setting of a place. The theme of this novel is an unrequited love, and the
Analyzing perceptions and author’s feeling that combined in his literary
(religion, social and feeling). Second, the culture expression found in
this novel rinai kabut singgalang by Muhammad subhan are; a). the minang kabau
cultured in this novel; b) Fact and author’s characters in the novel
Kata
kunci: struktur;
nilai; religius
Analyzing perceptions and author’s feeling that
combined in his literary (religion, social and feeling).
A.
PENDAHULUAN
Novel rinai
kabut singalang adalah novel pertama yang ditulis oleh Muhammad subhan. Dengan teknik penulisan yang lincah dan gaya
penyampaian yang lembut, penulis berhasil mengenalkan sosok sang tokoh dengan
petualangan dan konflik yang penuh dengan pelajaran yang bermakna. Kehidupan
yang berjalan dengan sedikit rumit dan penghadiran banyak konflik di awal
pengisahan memberikan kesan betapa tokoh utama benar-benar seorang yang
dihadirkan memiliki kisah yang unik dalam hidupnya. meski hidup dalam jalan yang
terbilang sulit membuat semangat juang dari tokoh utama meletup-letup. Hal ini
merupakan kepiawaian penulis dalam bercerita, segala kekurangan dan
keterbatasan hidup bukan hanya sebagai sebuah ironi ataupun tragedi, melainkan
dapat pula berbentuk ria dan suka cita, angan dan kebahagian serta segala
masalah yang di hadirkan penulis untuk tokoh utama membuat kita belajar bahwa
semua jalan hidup ini adalah dari Tuhan. Apakah hidup hanya diserahkan kepada
kepasrahan dan ketidakberdayaan diri atau hidup harus dipenuhi dengan
perjuangan dan pengharapan atas hasil yang terbaik dalam sejarah
manusia.Melalui tokoh utama penulis menyampaikan betapa masalah itu benar-benar
diberikan Tuhan sesuai batas kemampuan hambanya, dan setelah kesulitan itu aka
nada kemudahan. Dari sekian panjang penceritaan, juga disertai ekspresi budaya
yang menjadi latar novel ini.
Banyak dari keragaman budaya
minangkabau yang juga diceritakan dan mempengaruhi tokoh utama dalam novel.
Pembaca merupakan unsur penting dalam menilai sebuah karya, khususnya novel.
Dalam hal ini penulis tertarik untuk meneliti ekspresi budaya minangkabau yang
dihadirkan Muhammad subhan dalam karyanya rinai kabut singgalang. Tujuan
penelitian ini adalah guna agar pembaca lebih menghayati kandungan ekspresi
budaya minangkabau yang dihadirkan Muhammad subhan dalam dalam novelnya,
sehingga dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Muhammad Subhan adalah penulis asal aceh
yang memiliki darah minang. Lahir di Sumatra utara tanggal 3 desember tahun
198. Dia menamatkan pendidikan di smp negri 6 kruenggeukueh dan pendidikan SMA
negeri 1 dewantara, kabupaten aceh utara. Profesi yang dilakoninya adalah
sebagai jurnalis. Dia bekerja sebagai wartawan di sejumlah surat kabar di
padang diantaranya; SKM gelora. Gelar reformasi, media watch, (2000-2003),
harian haluan (2004-2010). Sejak april 2010 menjai pimpinan di media online www.korandigital.com
yang berbasis kota serambi mekah padang panjang.
Perkara ekspresi budaya merupakan hal
yang menarik untuk dibahas. Dalam Luxemburg (96:1989) mengatakan bahwa sebuah
teks dikatakan ekspresif apabila fungsi utama teks itu adalah mengungkapkan
perasaan, pertimbangan dan sebagainya dalam diri seorang pengarang. Dalam
ekspresi budaya dapat kita temukan.
Pertama, terlebih dahulu kita kaji mengenai kritik ekspresif dalam sastra. Kritik
ekspresif adalah kritik sastra yang memandang karya sastra sebagai ekspresi,
curahan perasaan, atau imajinasi pengarang. Kritik ekspresif menitikberatkan
pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya
sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi
dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus dalam hal ini
cenderung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan
pengelihatan mata batin pengarang/keadaan pikirannya. Pendekatan ini sering mencari
fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang
sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam novel karyanya.
Novel merupakan karya sastra yang
mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan
halus. Novel yang dihasilkan sastrawan merupakan alat komunikasi sosial bagi
masyarakat yang harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan
dan dirasakan oleh sastrawan. Seorang sastrawan dalam sebuah karyanya ingin
menyampaikan “sesuatu” kepada pembaca, sesuatu itu dapat berupa pesan, ide,
ataupun opini.
unsure pembentuk karya sastra terbagi dua yaitu intrinsic dan eksterisik. Menurut Muhardi dan Masanuddin (1992:20), unsur intrinsik dibedakan menjadi dua macam, yakni unsur utama dan unsur penunjang atau unsur tambahan. Unsur utama seperti penokohan, alur dan setting, ketiga unsur ini membentuk tema dan amanat. Sedangkan unsur penunjang seperti sudut pandang dan gaya bahasa. Atas dasar tersebut, dari segi struktur, penelitian ini hanya hanya membahas, alur, penokohan, latar atau setting, tema dan amanat.
unsure pembentuk karya sastra terbagi dua yaitu intrinsic dan eksterisik. Menurut Muhardi dan Masanuddin (1992:20), unsur intrinsik dibedakan menjadi dua macam, yakni unsur utama dan unsur penunjang atau unsur tambahan. Unsur utama seperti penokohan, alur dan setting, ketiga unsur ini membentuk tema dan amanat. Sedangkan unsur penunjang seperti sudut pandang dan gaya bahasa. Atas dasar tersebut, dari segi struktur, penelitian ini hanya hanya membahas, alur, penokohan, latar atau setting, tema dan amanat.
Muhardi dan Hasanuddin (1992:24-26) mengatakan bahwa
penokohan termasuk dalam masalah penamaan, pemeranan, keadan fisik, keadaan
psikis, dan karakter. Bagian-bagian dari penokohan ini saling berhubungan dalam
upaya membangun permasalahan fiksi. Senada dengan pendapat Muhardi dan
Hasanuddin di atas, Atmazaki (2007:102) menyebutkan bahwa karakter atau tokoh
adalah orang yang dilengkapi dengan kualitas moral dan watak yang diungkapkan
oleh apa yang dikatakannya, dialog serta tindakan yang dilakukannya. Ada dua
jenis tokoh dalam sastra naratif, yaitu tokoh utama dan tokoh sampingan.
Menurut Muhardi dan Hasanuddin, karakteristik alur dapat
dibedakan menjadi konvensional dan inkonvensial. Alur konvensional adalah jika
peristiwa yang disajikan lebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya
peristiwa yang hadir sesudahnya. Peristiwa yang muncul kemudian, selalu menjadi
akibat dari peristiwa yang diceritakan sebelumnya. Alur inkonvensional adalah
peristiwa yang diceritakan kemudian menjadi penyebab dari peristiwa yang
diceritakan sebelumnya atau peristiwa yang diceritakan lebih dahulu menjadi
akibat dari peristiwa yang diceritakan sesudahnya.
Luxemburg dalam Atmazaki (2007:99) menyimpulkan bahwa
plot/alur adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan
peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan yang
diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Dengan demikian, plot merupakan
struktur tindakan yang diarahkan untuk menuju keberhasilan efek artistik dan
emosional tertentu. Fungsi utama plot adalah agar cerita terasa sebagai cerita
yang berkesinambungan dan mempunyai kaitan yang erat antara peristiwa yang satu
dengan peristiwa yang lain (Atmazaki, 2007:102).
Latar merupakan penanda identitas permasalahan fiksi yang
mulai secara samar diperlihatkan alur atau penokohan. Latar memperjelas
suasana, tempat dan waktu peristiwa itu berlaku. Latar memperjelas pembaca
untuk mengidentifikasikan masalah fiksi, apakah fiksi mengungkapkan
permasalahan tahun 20-an, atau 80-an, pagi, siang atau malam, di kota atau di
desa, di perkampungan atau di hutan, berhubungan dengan kultur Minangkabau atau
Sunda, permasalahan remaja atau dewasa, dan lain-lain (Muhardi dan Hasanuddin
1992:30).
Unsur-unsur latar menurut Nurgiantoro (2010:227), yaitu latar
tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat mengarah pada lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu
berhubungan dengan masalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan
sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar atau setting adalah latar
peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa serta
memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Latar atau setting memperjelas
pembaca untuk mengidentifikasi permasalahan fiksi. Secara langsung latar atau setting
berkaitan dengan alur atau penokohan.
Tema adalah inti permasalahan yang
hendak dikemukakan oleh pengarang dalam karyanya. Tema merupakan hasil kongklusi
dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Amanat
merupakan opini, kecenderungan dan visi pengarang terhadap tema yang
dikemukakannya. Amanat dalam sebuah fiksi, bisa saja lebih dari satu, asalkan
semua itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau
sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan
kristalisasi dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, dan latar cerita (Muhardi
dan Hasanuddin, 1992:38).
B.
METODE
PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Semi (1993:23), penelitian
kualitatif dilakukan dengan tidak mengutamakan pada angka-angka, tetapi
mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang
dikaji secara empiris. Empiris berarti berdasarkan pengalaman, terutama yang
diperoleh dari penemuan, percobaan, dan pengamatan yang telah dilakukan.
Berdasarkan tujuan penelitian dan permasalahan, metode penelitian yang
digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik analisis isi. Penelitian
kualitatif dengan metode deskriptif, artinya data yang dianalisis dan hasil
analisisnya berbentuk deskripsi fenomena, bukan berupa angka atau koefisien
tentang hubungan antar variabel. Penelitian ini dilakukan dengan cara
pengamatan langsung, membaca, memahami, mengidentifikasi, mencatat, dan
mengumpulkan nilai religius yang ditemukan, yaitu nilai aqidah, syari’ah dan
akhlak.
Data penelitian
ini adalah bagian teks novel yang mengandung nilai ekspresi budaya minang kabau
yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan. Nilai
ekspresi budaya tersebut mencakup pada pengungkapan perasaan, pertimbangan, dan
hal lainnya dalam diri pengarang yang dituangkan dalam novel. Hal tersebut
dapat dilihat melalui perilaku tokoh utama
yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang.
Sumber data penelitian ini adalah novel Rinai
Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan yang diterbitkan oleh penerbit
Rahima Intermedia Publishing, pada bulan Januari 2011 dengan 396 halaman yang
merupakan cetakan pertama. Setelah kedua data yang diteliti terkumpul, teknik
pengabsahan data yang digunakan adalah teknik uraian rinci. Menurut Moleong
(2005:338), teknik uraian rinci ini menuntut peneliti agar melaporkan hasil
penelitiannya sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin
yang menggambarkan konteks serta tempat penelitian diselenggarakan.
C.
PEMBAHASAN
a.
Sinopsis
novel Rinai Kabut Singgalang
Dikisahkan,
Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatra Barat) telah dicoret dari
ranji silsilahnya lantaran nekad menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki
asal Aceh. Munaf dianggap sebagai “orang-datang”, “orang di pinggang”, “orang
yang tak berurat-berakar”. Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng
kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan
dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf—pemuda yang dicintainya—di kota itu.
Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke
Pasaman. Sementara itu, orangtua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan,
dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai
mengalami gangguan jiwa (gila), lantaran menanggung aib karena ulah adiknya
melawan adat.
Luka serupa
kelak juga dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita
hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum ke Padang, Fikri
mencari mamaknya (paman) di Kajai, Pasaman. Di kampung asal ibunya itu, Fikri
sempat merawat Safri pamannya yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah
ke Aceh—dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri
tewas dibunuh akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai hijrah ke
Padang. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi
kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga
Rahima—utamanya Ningsih (kakak Rahima)—bulat-bulat menolak pinangan Fikri,
lagi-lagi dengan alasan: Fikri “orang-datang”, “orang di pinggang”.
Remuk-redamnya
perasaan Fikri bersamaan dengan luluh lantaknya Aceh, tanah asal Fikri, selepas
mega bencana Gempa dan Tsunami (2004). Annisa, adik kandungnya digulung
gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya.
Ibu-bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Fikri hidup sebatangkara. Dan,
begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Betapa tidak?
Rahima telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya perempuan itu diboyong
Ningsih ke Jakarta. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam kesendirian,
dalam keterpiuhan perasaan lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri
mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain
ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam di kerak
kepedihan.
Atas luka
yang ditanggungkannya, Fikri sempat berkeinginan menenggelamkan dirinya ke
laut. Tapi seorang sahabatnya Yusuf selalu hadir disaat ia berada pada titik
kulminasi kejenuhan hidup. Yusuflah yang selalu memberikan semangat hingga
Fikri mampu bangkit dari keterpurukan hidupnya. Di akhir kisahnya, Fikri
digambarkan sebagai laki-laki yang terlahir kembali. Ia menjadi pengarang
tersohor, bahkan salah satu novelnya difilmkan. Ia dipuja banyak orang. Kabar
tentang keberhasilan Fikri itu membuat Ningsih (orang yang telah memisahkannya
dengan Rahima), tak segan-segan menjilat ludah sendiri. Pada saat yang sama,
Rahima sedang tertimpa masalah; suaminya menjadi tersangka korupsi, dan bunuh
diri di penjara.
Sejatinya,
rasa cinta Fikri pada Rahima tiada bakal punah, meski pengkhianatan itu sukar
ia lupakan. Atas dasar itu pula Fikri memenuhi undangan Ningsih untuk datang ke
Jakarta ketika Rahima yang telah menjanda mengalami sakit keras. Ningsih,
hendak mempertemukan kembali “kasih tak sampai” yang telah membuat
perasaan Fikri-Rahima tercabik-cabik. Namun, kisah novel ini disudahi dengan
cara sangat tragis, kepulangan Ningsih, Rahima, dan Fikri ke Padang ternyata
bukan kepulangan yang membahagiakan. Pesawat yang mereka tumpangi tergelincir.
Rahima selamat, tapi Fikri mengalami geger-otak, dan karena itu ia merasa tak
memenuhi syarat lagi untuk menjadi suami Rahima. Ia meminta sahabat karibnya,
Yusuf, untuk menikahi Rahima. Saat ijab-kabul pernikahan itu berlangsung, Fikri
menghembuskan napas penghabisan. Atas permintaan Fikri, jasadnya dikubur di
kaki gunung Singgalang yang selalu dijatuhi rinai dan kabut. Meski telah sah
menjadi suami istri, Yusuf tak pernah menyentuh Rahima, perempuan itu tetap
suci. Tiga bulan kemudian, Rahima menghembuskan napas terakhirnya setelah
menderita suatu penyakit. Ia bermohon kepada Yusuf agar menguburkannya di
samping pusara fikri.
b. Struktur Novel Rinai Kabut
Singgalang Karya Muhammad Subhan
Struktur novel RKS karya
Muhammad Subhan ini terdiri dari alur, penokohan, latar, tema dan amanat. Alur
novel RKS ini terdapat alur maju atau dengan kata lain alurnya
progresif, dimana peristiwa-peristiwa dikisahkan secara kronologis.
Penghadiran
peristiwa secara urut dan saling menyambung antara satu sama lainnya. peristiwa
pertama diikuti oleh peristiwa selanjutnya, atau secara runtun, cerita dimulai
dari tahap awal, tengah, dan akhir. pengarang mula-mula menceritakan peristiwa
demi peristiwa. Urutan alur tersebut adalah pengarang mulai melukiskan keadaan,
kemudian peristiwa bergerak, lalu peristiwa mulai memuncak, selanjutnya
peristiwa mencapai puncak (klimaks) dan akhirnya pengarang menciptakan
alternatif penyelesaian.
Selanjutnya
tokoh dalam novel RKS ini yaitu Fikri sebagai tokoh utama dan
tokoh-tokoh lainnya sebagai tokoh tambahan. Latar pada novel RKS adalah
secara umum latarnya di Padang, di rumah gadang Kajai Pasaman, di Bukittinggi,
dan di Koto Baru Padangpanjang yang merupakan latar tempat. Latar waktu yang
terdapat dalam novel ada siang, malam, seminggu, dua minggu, sebulan, dua
bulan, kemudian latar sosialnya mencerminkan latar sosial tokoh beragama Islam,
latar sosial masyarakat yang baik seperti menjalin hubungan baik antar sesama
umat yang beragama, bertakziah kerumah orang yang ditimpa musibah,
tolong-menolong antar sesama. Latar tempat merupakan latar yang paling dominan
digunakan dalam novel ini. Tema dari novel RKS ini adalah tentang kasih
tak sampai.
Cinta
Fikri yang tak sampai dengan Rahima, karena Fikri dianggap orang datang tidak
beradat dan miskin harta. Kakak Rahima yang bernama Ningsih memisahkan mereka
berdua, Rahima dipaksa untuk menikah dengan teman Ningsih lantaran hutang budi.
Ningsih rela menjual harga diri adiknya demi mementingkan kehendaknya.
Amanatnya adalah kita harus berserah diri kepada Allah dan sabar dalam
menghadapi cobaan.
c. Ekspresi Budaya Minang Kabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad
Subhan
a). Budaya minang Kabau
yang terkandung dalam novel
Ada
banyak hal yang perlu dikaji saat berbicara mengenai budaya minang kabau. menjadi Budaya berasal dari kata budi dan
daya. Artinya kemampuan fikiran manusia dalam menjalankan kehidupannya. Di
Minang Kabau banyak hal yang menjadi dasar pemikiranya. Baik dari segi adat,
agama, dan pendidikan yang semuanya berbasis “alam takambang jadi guru”.
Namun, Kali ini penulis hanya akan
menganalisa kebudayaan minangkaau yang dicantumkan pengarang Muhammad Subhan
novelnya Rinai Kabut Singgalang.
Penganalisaan ini hanya sebatas persepsi-persepsi dan perasaan pengarang yang
dikombinasikan dalam karya sastra ciptaannya. Baik itu dari segi agama, social,
dan perasaan.
penceritaan
novel yang berlatar di daerah minang kabau berawal dengan d atangnya tokoh utama, Fikri, ke tempat
kelahiran ibunya di Pasaman. kehidupan masyarakat Pasaman khususnya daerah
Kajai diceritakan dengan sangat deskriptif oleh pengarang. mulai dari keadaan
lingkungannya,pengarang menceritakan secara ringan dan rinci keadaan lingkungan
daerah Kajai, Pasaman. bentuk gunung Talamau, sungai Batang Tongar, dan posisi
rumah yang saling berjauhan namun tetap menjaga keaslian dan keasrian
bentuknya.
kehidupan
sosial, dalam novel bagian awal pengarang menceritakan bagaimana interaksi
antar satu dengan yang lain di kawasan Pasaman. dijelaskan dalam halaman 51 ketika Fikri baru sampai di
kampung Kajai, tempat kelahiran ibunya dan sambutan yang baik dari masyarakat
sekitar. kehidupan beragama, tampak jelas dalam novel ini. bagaimana seorang
Fikri berlaku dengan lingkungannya dan menjadi idola lewat seringnya dia
menjadi muazin subuh di surau. kehidupan adat-istiadat juga digambarkan
pengarang melalui cara musyawarah yang digambarkan masih kental di daerah
Kajai, Pasaman. Dalam novelnya, pengarang mengatakan bahwa untuk meminta agar
dia bisa menjaga dan merawat mamaknya yang mengalami gangguan jiwa di rumah,
perlu dirundingkan terebih dahulu dengan semua peuka adat, agama, dan orang
kampung. Pengarang menceritakan keadaan suatu latar dengan sangat detail.
Kemudian
dilanjutkan dengan kisah perjalanan tokoh utama menuju kota Padang. Sama dengan
bahasan pertama, kali ini pun pengarang menggunakan metode deskriptif dalam
penceritaannya.
Berlanjut
pada kisah tokoh utama yang sudah menetap di kota padang. Kota tujuan utama,
pengarang dalam menggarap penceritaan novel lebih lanjut. Disini dideskripsikan
lagi kebudayaan kota Padang dengan rinci. Mulai dari keamaian aktifitas
masyarakatnya, kebiasaan masyarakat dan pandangan pengarang mengenai kota
padang yang disertakan dalam karyanya.
b).
Fakta dan watak khusus penulis dalam karyanya
Muhammad Subhan lahir di Medan,
namun dia memiliki darah Aceh-Minang. Ibunya merupakan orang Minang Kabau yang
menikah dengan pendatang dari Aceh. Sedikitnya, penulis menjadikan kisah orang
tuanya juga sebagai bahan tulisannya. Dapat ditemukan dalam tiga bab bagian
awal novel. Dimana disana dijelaskan bahwa tokoh utama, Fikri, yang mengajukan
niatnya hendak merantau dan melanjutkan pendidikannya ke Padang. Dari sanalah
ibu Fikri, Maimunah, menceritakan kisah hidupnya.
Seperti yang telah dicntumkan dari
sekilas tentang penulis, Muhammad Subhan saat itu juga seorang mahasiswa
semester akhir di Fakultas Dakwah Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Sekolah
Tinggi Agama Islam, Imam Bonjol Padang Panjang. Dalam novelnya juga dikisahkan
bahwa Fikri, juga hendak melanjutkan pendidikannya dai salah satu universitas
islam kota Padang. Meskipun kota yang ditujukan berbeda, namun sedikit banyak
ada persamaan ide.
Dalam halaman terakhir novel Rinai Kabut Singgalang, dicantumkan
beberapa kegiatan yang tengah dilakoni oleh penulis. Salah satunya adalah menjadi
koordinator Sanggar Sastra Siswa Rumah Puisi. Dari sana penulis menyimpulkan
bahwa seorang Muhammad Subhan memiliki jiwa sastra yang kuat. Apalagi jika
ditinjau dari segi bahasanya dia merupakan pencinta roman lama seperti roman
siti nurbaya, dan roman-roman karangan buya hamka. Dalam novel juga ditemukan
sedikit penjelasa mengenai hal itu. Terdapat dalah hlaman 117, saat sahabatnya
Yusuf memberikan dua hadiah novel. Fikri terkesan sangat senang dan mengagumi
pemberian tersebut.
Pada halaman 246, pengarang
mengisahkan bagaimana seorang Fikri menjadi penulis dan mengirimkan hasil
tulisannya ke redaktur-reaktur Koran. Lalu pada halaman 253, diceritakan
bagaimana Fikri menjadi penulis novel dan diundang penerbit novelnya ke
Jakarta. Dalam catatan singkat dibelakang novel mengenai pengarang, juga di
jelaskan bahwa Muhammad Subhan merupakan seorang wartawan di sejumlah media.
Dari hal itu penulis berkesimpulan bahwa ide penceritaan tadi, juga melalui
kisah seputar kewartawanan pengarang. Mengenai pengisahan bahwa tokoh utama
dalam novel, Fikri, diundang oleh penerbit novelnya ke Jakarta. Penulis
menyimpulkan hal ini juga berkaitan dengan kehidupan nyata pengarang yang juga
baru menyelesaikan novel perdananya. Dalam catatan singkat di halaman akhir
novel, pengarang menulis bahwa dia sering diundang dalam berbagai acara semacam
seminar dan pelatihan jurnalistik di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi.
D. Simpulan dan Saran
Banyak hal yang dapat dipelajari
dan diteladani dari keseluruhan isi novel RKS karya Muhammad Subhan. Dalam
penelitian ini penulis hanya menganalisis ekspresi budaya minangkabau yang
terdapat dalam novel RKS karya Muhammad Subhan. Bagi peneliti lain hendaknya
dapat menelaah novel ini dengan analisis dari segi lainnya, seperti nilai sosial,
budaya, pendidikan dan psikologi tokoh dalam novel ini akan menjadi hal yang
sangat menarik untuk dikupas dan diteliti lebih rinci lagi. Kemudian
membandingkan hasilnya dengan penelitian ini, agar pemahaman terhadap novel ini
lebih mantap.
Bagi
mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah khususnya dan pembaca
umumnya, penelitian ini dapat memberikan gambaran dalam memahami karya sastra
dalam menganalisis novel khususnya novel RKS karya Muhammad Subhan. Dengan
adanya hasil penelitian ini dapat dijadikan contoh dalam menganalisis novel.
Adapun bagi masyarakat umum, analisis ini juga perlu diterapkan, supaya lebih
memahami kandungan nilai dan amanat yang terdapat dalam novel dengan lebih
medalam sehingga dapat direalisasikan dalam kehidupan sehri-hari.
Catatan:
artikel ini disusun berdasarkan penelitian untuk penulisan tugas dengan dosen
pembimbing Yasnuar Asri.
Daftar rujukan
Atmazaki. 2007. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan.
Padang: UNP Press.
Luxemburg, jan van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Muhardi, dan Hasanuddin. 1992. Prosedur Analisis
Fiksi. Padang: IKIP Padang Press.
Semi, M. Atar. 1984. Anatomi Sastra. Padang: UNP.
Semi, M. Atar. 1993. Metodologi Penelitian Sastra.
Bandung: Angkasa Bandung.
Subhan, Muhammad. 2011. Rinai Kabut Singgalang. Jakarta: PT Gramedia.