Senin, 09 September 2013


STRUKTUR DAN EKSPRESI BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG KARYA MUHAMMAD SUBHAN
Oleh:
Novi Yenti
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
FBS Universitas Negeri Padang
ABSTRACT

 This article aimed to describe: (1) the structure of the novel Rinai Kabut Singgalang, by Muhammad Subhan, and (2) the  culture expression found in this novel. The data of this study were the texts of the novel that contain culture expression .Those data were collected descriptively through some stages, (1) read and mark the events and the characters’ behaviors which lead to the focus of the research, (2) mark parts of the novel that became the focus of research, and (3) record the data by noting down those which are related to the culture expression. The findings of the study were first, the plot of the novel moves forward, the main character is Fikri, the background of the novel is the setting of a place. The theme of this novel is an unrequited love, and the Analyzing perceptions and author’s feeling that combined in his literary (religion, social and feeling). Second, the culture expression found in this novel rinai kabut singgalang by Muhammad subhan are; a). the minang kabau cultured in this novel; b) Fact and author’s characters in the novel
Kata kunci: struktur; nilai; religius
Analyzing perceptions and author’s feeling that combined in his literary (religion, social and feeling).




A.    PENDAHULUAN

Novel rinai kabut singalang adalah novel pertama yang ditulis oleh Muhammad subhan.  Dengan teknik penulisan yang lincah dan gaya penyampaian yang lembut, penulis berhasil mengenalkan sosok sang tokoh dengan petualangan dan konflik yang penuh dengan pelajaran yang bermakna. Kehidupan yang berjalan dengan sedikit rumit dan penghadiran banyak konflik di awal pengisahan memberikan kesan betapa tokoh utama benar-benar seorang yang dihadirkan memiliki kisah yang unik dalam hidupnya. meski hidup dalam jalan yang terbilang sulit membuat semangat juang dari tokoh utama meletup-letup. Hal ini merupakan kepiawaian penulis dalam bercerita, segala kekurangan dan keterbatasan hidup bukan hanya sebagai sebuah ironi ataupun tragedi, melainkan dapat pula berbentuk ria dan suka cita, angan dan kebahagian serta segala masalah yang di hadirkan penulis untuk tokoh utama membuat kita belajar bahwa semua jalan hidup ini adalah dari Tuhan. Apakah hidup hanya diserahkan kepada kepasrahan dan ketidakberdayaan diri atau hidup harus dipenuhi dengan perjuangan dan pengharapan atas hasil yang terbaik dalam sejarah manusia.Melalui tokoh utama penulis menyampaikan betapa masalah itu benar-benar diberikan Tuhan sesuai batas kemampuan hambanya, dan setelah kesulitan itu aka nada kemudahan. Dari sekian panjang penceritaan, juga disertai ekspresi budaya yang menjadi latar novel ini.
Banyak dari keragaman budaya minangkabau yang juga diceritakan dan mempengaruhi tokoh utama dalam novel. Pembaca merupakan unsur penting dalam menilai sebuah karya, khususnya novel. Dalam hal ini penulis tertarik untuk meneliti ekspresi budaya minangkabau yang dihadirkan Muhammad subhan dalam karyanya rinai kabut singgalang. Tujuan penelitian ini adalah guna agar pembaca lebih menghayati kandungan ekspresi budaya minangkabau yang dihadirkan Muhammad subhan dalam dalam novelnya, sehingga dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Muhammad Subhan adalah penulis asal aceh yang memiliki darah minang. Lahir di Sumatra utara tanggal 3 desember tahun 198. Dia menamatkan pendidikan di smp negri 6 kruenggeukueh dan pendidikan SMA negeri 1 dewantara, kabupaten aceh utara. Profesi yang dilakoninya adalah sebagai jurnalis. Dia bekerja sebagai wartawan di sejumlah surat kabar di padang diantaranya; SKM gelora. Gelar reformasi, media watch, (2000-2003), harian haluan (2004-2010). Sejak april 2010 menjai pimpinan di media online www.korandigital.com yang berbasis kota serambi mekah padang panjang.
Perkara ekspresi budaya merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Dalam Luxemburg (96:1989) mengatakan bahwa sebuah teks dikatakan ekspresif apabila fungsi utama teks itu adalah mengungkapkan perasaan, pertimbangan dan sebagainya dalam diri seorang pengarang. Dalam ekspresi budaya dapat kita temukan.
Pertama, terlebih dahulu kita kaji mengenai  kritik ekspresif dalam sastra. Kritik ekspresif adalah kritik sastra yang memandang karya sastra sebagai ekspresi, curahan perasaan, atau imajinasi pengarang. Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus dalam hal ini cenderung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan pengelihatan mata batin pengarang/keadaan pikirannya. Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam novel karyanya.
Novel merupakan karya sastra yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Novel yang dihasilkan sastrawan merupakan alat komunikasi sosial bagi masyarakat yang harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan. Seorang sastrawan dalam sebuah karyanya ingin menyampaikan “sesuatu” kepada pembaca, sesuatu itu dapat berupa pesan, ide, ataupun opini.
 unsure pembentuk karya sastra terbagi dua yaitu intrinsic dan eksterisik. Menurut Muhardi dan Masanuddin (1992:20), unsur intrinsik dibedakan menjadi dua macam, yakni unsur utama dan unsur penunjang atau unsur tambahan. Unsur utama seperti penokohan, alur dan setting, ketiga unsur ini membentuk tema dan amanat. Sedangkan unsur penunjang seperti sudut pandang dan gaya bahasa. Atas dasar tersebut, dari segi struktur, penelitian ini hanya hanya membahas, alur, penokohan, latar atau setting, tema dan amanat.
Muhardi dan Hasanuddin (1992:24-26) mengatakan bahwa penokohan termasuk dalam masalah penamaan, pemeranan, keadan fisik, keadaan psikis, dan karakter. Bagian-bagian dari penokohan ini saling berhubungan dalam upaya membangun permasalahan fiksi. Senada dengan pendapat Muhardi dan Hasanuddin di atas, Atmazaki (2007:102) menyebutkan bahwa karakter atau tokoh adalah orang yang dilengkapi dengan kualitas moral dan watak yang diungkapkan oleh apa yang dikatakannya, dialog serta tindakan yang dilakukannya. Ada dua jenis tokoh dalam sastra naratif, yaitu tokoh utama dan tokoh sampingan.
Menurut Muhardi dan Hasanuddin, karakteristik alur dapat dibedakan menjadi konvensional dan inkonvensial. Alur konvensional adalah jika peristiwa yang disajikan lebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya peristiwa yang hadir sesudahnya. Peristiwa yang muncul kemudian, selalu menjadi akibat dari peristiwa yang diceritakan sebelumnya. Alur inkonvensional adalah peristiwa yang diceritakan kemudian menjadi penyebab dari peristiwa yang diceritakan sebelumnya atau peristiwa yang diceritakan lebih dahulu menjadi akibat dari peristiwa yang diceritakan sesudahnya.
Luxemburg dalam Atmazaki (2007:99) menyimpulkan bahwa plot/alur adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Dengan demikian, plot merupakan struktur tindakan yang diarahkan untuk menuju keberhasilan efek artistik dan emosional tertentu. Fungsi utama plot adalah agar cerita terasa sebagai cerita yang berkesinambungan dan mempunyai kaitan yang erat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain (Atmazaki, 2007:102).
Latar merupakan penanda identitas permasalahan fiksi yang mulai secara samar diperlihatkan alur atau penokohan. Latar memperjelas suasana, tempat dan waktu peristiwa itu berlaku. Latar memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan masalah fiksi, apakah fiksi mengungkapkan permasalahan tahun 20-an, atau 80-an, pagi, siang atau malam, di kota atau di desa, di perkampungan atau di hutan, berhubungan dengan kultur Minangkabau atau Sunda, permasalahan remaja atau dewasa, dan lain-lain (Muhardi dan Hasanuddin 1992:30).
Unsur-unsur latar menurut Nurgiantoro (2010:227), yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar atau setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Latar atau setting memperjelas pembaca untuk mengidentifikasi permasalahan fiksi. Secara langsung latar atau setting berkaitan dengan alur atau penokohan.
Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan oleh pengarang dalam karyanya. Tema merupakan hasil kongklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Amanat merupakan opini, kecenderungan dan visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya. Amanat dalam sebuah fiksi, bisa saja lebih dari satu, asalkan semua itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan kristalisasi dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, dan latar cerita (Muhardi dan Hasanuddin, 1992:38).


B.      METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Semi (1993:23), penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak mengutamakan pada angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris. Empiris berarti berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, dan pengamatan yang telah dilakukan. Berdasarkan tujuan penelitian dan permasalahan, metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik analisis isi. Penelitian kualitatif dengan metode deskriptif, artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena, bukan berupa angka atau koefisien tentang hubungan antar variabel. Penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung, membaca, memahami, mengidentifikasi, mencatat, dan mengumpulkan nilai religius yang ditemukan, yaitu nilai aqidah, syari’ah dan akhlak.
Data penelitian ini adalah bagian teks novel yang mengandung nilai ekspresi budaya minang kabau yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan. Nilai ekspresi budaya tersebut mencakup pada pengungkapan perasaan, pertimbangan, dan hal lainnya dalam diri pengarang yang dituangkan dalam novel. Hal tersebut dapat dilihat melalui perilaku tokoh utama  yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang.
Sumber data penelitian ini adalah novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan yang diterbitkan oleh penerbit Rahima Intermedia Publishing, pada bulan Januari 2011 dengan 396 halaman yang merupakan cetakan pertama. Setelah kedua data yang diteliti terkumpul, teknik pengabsahan data yang digunakan adalah teknik uraian rinci. Menurut Moleong (2005:338), teknik uraian rinci ini menuntut peneliti agar melaporkan hasil penelitiannya sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan konteks serta tempat penelitian diselenggarakan.


C.    PEMBAHASAN
a.      Sinopsis novel Rinai Kabut Singgalang
Dikisahkan, Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatra Barat) telah dicoret dari ranji silsilahnya lantaran nekad menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai “orang-datang”, “orang di pinggang”, “orang yang tak berurat-berakar”. Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf—pemuda yang dicintainya—di kota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orangtua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa (gila), lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat.
Luka serupa kelak juga dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum ke Padang, Fikri mencari mamaknya (paman) di Kajai, Pasaman. Di kampung asal ibunya itu, Fikri sempat merawat Safri pamannya yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh—dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri tewas dibunuh akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai hijrah ke Padang. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima—utamanya Ningsih (kakak Rahima)—bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan: Fikri “orang-datang”, “orang di pinggang”.
Remuk-redamnya perasaan Fikri bersamaan dengan luluh lantaknya Aceh, tanah asal Fikri, selepas mega bencana Gempa dan Tsunami (2004). Annisa, adik kandungnya digulung gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya. Ibu-bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Fikri hidup sebatangkara. Dan, begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Betapa tidak? Rahima telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya perempuan itu diboyong Ningsih ke Jakarta. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam kesendirian, dalam keterpiuhan perasaan lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam di kerak kepedihan.
Atas luka yang ditanggungkannya, Fikri sempat berkeinginan menenggelamkan dirinya ke laut. Tapi seorang sahabatnya Yusuf selalu hadir disaat ia berada pada titik kulminasi kejenuhan hidup. Yusuflah yang selalu memberikan semangat hingga Fikri mampu bangkit dari keterpurukan hidupnya. Di akhir kisahnya, Fikri digambarkan sebagai laki-laki yang terlahir kembali. Ia menjadi pengarang tersohor, bahkan salah satu novelnya difilmkan. Ia dipuja banyak orang. Kabar tentang keberhasilan Fikri itu membuat Ningsih (orang yang telah memisahkannya dengan Rahima), tak segan-segan menjilat ludah sendiri. Pada saat yang sama, Rahima sedang tertimpa masalah; suaminya menjadi tersangka korupsi, dan bunuh diri di penjara.
Sejatinya, rasa cinta Fikri pada Rahima tiada bakal punah, meski pengkhianatan itu sukar ia lupakan. Atas dasar itu pula Fikri memenuhi undangan Ningsih untuk datang ke Jakarta ketika Rahima yang telah menjanda mengalami sakit keras. Ningsih, hendak mempertemukan kembali “kasih tak sampai” yang telah membuat perasaan  Fikri-Rahima tercabik-cabik. Namun, kisah novel ini disudahi dengan cara sangat tragis, kepulangan Ningsih, Rahima, dan Fikri ke Padang ternyata bukan kepulangan yang membahagiakan. Pesawat yang mereka tumpangi tergelincir. Rahima selamat, tapi Fikri mengalami geger-otak, dan karena itu ia merasa tak memenuhi syarat lagi untuk menjadi suami Rahima. Ia meminta sahabat karibnya, Yusuf, untuk menikahi Rahima. Saat ijab-kabul pernikahan itu berlangsung, Fikri menghembuskan napas penghabisan. Atas permintaan Fikri, jasadnya dikubur di kaki gunung Singgalang yang selalu dijatuhi rinai dan kabut. Meski telah sah menjadi suami istri, Yusuf tak pernah menyentuh Rahima, perempuan itu tetap suci. Tiga bulan kemudian, Rahima menghembuskan napas terakhirnya setelah menderita suatu penyakit. Ia bermohon kepada Yusuf agar menguburkannya di samping pusara fikri.
b. Struktur Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan
Struktur novel RKS karya Muhammad Subhan ini terdiri dari alur, penokohan, latar, tema dan amanat. Alur novel RKS ini terdapat alur maju atau dengan kata lain alurnya progresif, dimana peristiwa-peristiwa dikisahkan secara kronologis.
Penghadiran peristiwa secara urut dan saling menyambung antara satu sama lainnya. peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa selanjutnya, atau secara runtun, cerita dimulai dari tahap awal, tengah, dan akhir. pengarang mula-mula menceritakan peristiwa demi peristiwa. Urutan alur tersebut adalah pengarang mulai melukiskan keadaan, kemudian peristiwa bergerak, lalu peristiwa mulai memuncak, selanjutnya peristiwa mencapai puncak (klimaks) dan akhirnya pengarang menciptakan alternatif penyelesaian.
Selanjutnya tokoh dalam novel RKS ini yaitu Fikri sebagai tokoh utama dan tokoh-tokoh lainnya sebagai tokoh tambahan. Latar pada novel RKS adalah secara umum latarnya di Padang, di rumah gadang Kajai Pasaman, di Bukittinggi, dan di Koto Baru Padangpanjang yang merupakan latar tempat. Latar waktu yang terdapat dalam novel ada siang, malam, seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, kemudian latar sosialnya mencerminkan latar sosial tokoh beragama Islam, latar sosial masyarakat yang baik seperti menjalin hubungan baik antar sesama umat yang beragama, bertakziah kerumah orang yang ditimpa musibah, tolong-menolong antar sesama. Latar tempat merupakan latar yang paling dominan digunakan dalam novel ini. Tema dari novel RKS ini adalah tentang kasih tak sampai.
Cinta Fikri yang tak sampai dengan Rahima, karena Fikri dianggap orang datang tidak beradat dan miskin harta. Kakak Rahima yang bernama Ningsih memisahkan mereka berdua, Rahima dipaksa untuk menikah dengan teman Ningsih lantaran hutang budi. Ningsih rela menjual harga diri adiknya demi mementingkan kehendaknya. Amanatnya adalah kita harus berserah diri kepada Allah dan sabar dalam menghadapi cobaan.
 c. Ekspresi Budaya Minang Kabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan
a). Budaya minang Kabau yang terkandung dalam novel
Ada banyak hal yang perlu dikaji saat berbicara mengenai budaya minang kabau.  menjadi Budaya berasal dari kata budi dan daya. Artinya kemampuan fikiran manusia dalam menjalankan kehidupannya. Di Minang Kabau banyak hal yang menjadi dasar pemikiranya. Baik dari segi adat, agama, dan pendidikan yang semuanya berbasis “alam takambang jadi guru”.
            Namun, Kali ini penulis hanya akan menganalisa kebudayaan minangkaau yang dicantumkan pengarang Muhammad Subhan novelnya Rinai Kabut Singgalang. Penganalisaan ini hanya sebatas persepsi-persepsi dan perasaan pengarang yang dikombinasikan dalam karya sastra ciptaannya. Baik itu dari segi agama, social, dan perasaan.
penceritaan novel yang berlatar di daerah minang kabau berawal dengan d  atangnya tokoh utama, Fikri, ke tempat kelahiran ibunya di Pasaman. kehidupan masyarakat Pasaman khususnya daerah Kajai diceritakan dengan sangat deskriptif oleh pengarang. mulai dari keadaan lingkungannya,pengarang menceritakan secara ringan dan rinci keadaan lingkungan daerah Kajai, Pasaman. bentuk gunung Talamau, sungai Batang Tongar, dan posisi rumah yang saling berjauhan namun tetap menjaga keaslian dan keasrian bentuknya.
            kehidupan sosial, dalam novel bagian awal pengarang menceritakan bagaimana interaksi antar satu dengan yang lain di kawasan Pasaman. dijelaskan  dalam halaman 51 ketika Fikri baru sampai di kampung Kajai, tempat kelahiran ibunya dan sambutan yang baik dari masyarakat sekitar. kehidupan beragama, tampak jelas dalam novel ini. bagaimana seorang Fikri berlaku dengan lingkungannya dan menjadi idola lewat seringnya dia menjadi muazin subuh di surau. kehidupan adat-istiadat juga digambarkan pengarang melalui cara musyawarah yang digambarkan masih kental di daerah Kajai, Pasaman. Dalam novelnya, pengarang mengatakan bahwa untuk meminta agar dia bisa menjaga dan merawat mamaknya yang mengalami gangguan jiwa di rumah, perlu dirundingkan terebih dahulu dengan semua peuka adat, agama, dan orang kampung. Pengarang menceritakan keadaan suatu latar dengan sangat detail.
Kemudian dilanjutkan dengan kisah perjalanan tokoh utama menuju kota Padang. Sama dengan bahasan pertama, kali ini pun pengarang menggunakan metode deskriptif dalam penceritaannya.
Berlanjut pada kisah tokoh utama yang sudah menetap di kota padang. Kota tujuan utama, pengarang dalam menggarap penceritaan novel lebih lanjut. Disini dideskripsikan lagi kebudayaan kota Padang dengan rinci. Mulai dari keamaian aktifitas masyarakatnya, kebiasaan masyarakat dan pandangan pengarang mengenai kota padang yang disertakan dalam karyanya.
b). Fakta dan watak khusus penulis dalam karyanya
            Muhammad Subhan lahir di Medan, namun dia memiliki darah Aceh-Minang. Ibunya merupakan orang Minang Kabau yang menikah dengan pendatang dari Aceh. Sedikitnya, penulis menjadikan kisah orang tuanya juga sebagai bahan tulisannya. Dapat ditemukan dalam tiga bab bagian awal novel. Dimana disana dijelaskan bahwa tokoh utama, Fikri, yang mengajukan niatnya hendak merantau dan melanjutkan pendidikannya ke Padang. Dari sanalah ibu Fikri, Maimunah, menceritakan kisah hidupnya.
            Seperti yang telah dicntumkan dari sekilas tentang penulis, Muhammad Subhan saat itu juga seorang mahasiswa semester akhir di Fakultas Dakwah Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam, Imam Bonjol Padang Panjang. Dalam novelnya juga dikisahkan bahwa Fikri, juga hendak melanjutkan pendidikannya dai salah satu universitas islam kota Padang. Meskipun kota yang ditujukan berbeda, namun sedikit banyak ada persamaan ide.
            Dalam halaman terakhir novel Rinai Kabut Singgalang, dicantumkan beberapa kegiatan yang tengah dilakoni oleh penulis. Salah satunya adalah menjadi koordinator Sanggar Sastra Siswa Rumah Puisi. Dari sana penulis menyimpulkan bahwa seorang Muhammad Subhan memiliki jiwa sastra yang kuat. Apalagi jika ditinjau dari segi bahasanya dia merupakan pencinta roman lama seperti roman siti nurbaya, dan roman-roman karangan buya hamka. Dalam novel juga ditemukan sedikit penjelasa mengenai hal itu. Terdapat dalah hlaman 117, saat sahabatnya Yusuf memberikan dua hadiah novel. Fikri terkesan sangat senang dan mengagumi pemberian tersebut.
            Pada halaman 246, pengarang mengisahkan bagaimana seorang Fikri menjadi penulis dan mengirimkan hasil tulisannya ke redaktur-reaktur Koran. Lalu pada halaman 253, diceritakan bagaimana Fikri menjadi penulis novel dan diundang penerbit novelnya ke Jakarta. Dalam catatan singkat dibelakang novel mengenai pengarang, juga di jelaskan bahwa Muhammad Subhan merupakan seorang wartawan di sejumlah media. Dari hal itu penulis berkesimpulan bahwa ide penceritaan tadi, juga melalui kisah seputar kewartawanan pengarang. Mengenai pengisahan bahwa tokoh utama dalam novel, Fikri, diundang oleh penerbit novelnya ke Jakarta. Penulis menyimpulkan hal ini juga berkaitan dengan kehidupan nyata pengarang yang juga baru menyelesaikan novel perdananya. Dalam catatan singkat di halaman akhir novel, pengarang menulis bahwa dia sering diundang dalam berbagai acara semacam seminar dan pelatihan jurnalistik di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi.
D. Simpulan dan Saran
Banyak hal yang dapat dipelajari dan diteladani dari keseluruhan isi novel RKS karya Muhammad Subhan. Dalam penelitian ini penulis hanya menganalisis ekspresi budaya minangkabau yang terdapat dalam novel RKS karya Muhammad Subhan. Bagi peneliti lain hendaknya dapat menelaah novel ini dengan analisis dari segi lainnya, seperti nilai sosial, budaya, pendidikan dan psikologi tokoh dalam novel ini akan menjadi hal yang sangat menarik untuk dikupas dan diteliti lebih rinci lagi. Kemudian membandingkan hasilnya dengan penelitian ini, agar pemahaman terhadap novel ini lebih mantap.
Bagi mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah khususnya dan pembaca umumnya, penelitian ini dapat memberikan gambaran dalam memahami karya sastra dalam menganalisis novel khususnya novel RKS karya Muhammad Subhan. Dengan adanya hasil penelitian ini dapat dijadikan contoh dalam menganalisis novel. Adapun bagi masyarakat umum, analisis ini juga perlu diterapkan, supaya lebih memahami kandungan nilai dan amanat yang terdapat dalam novel dengan lebih medalam sehingga dapat direalisasikan dalam kehidupan sehri-hari.
Catatan: artikel ini disusun berdasarkan penelitian untuk penulisan tugas dengan dosen pembimbing Yasnuar Asri.



Daftar rujukan
Atmazaki. 2007. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: UNP Press.
Luxemburg, jan van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Muhardi, dan Hasanuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Padang Press.
Semi, M. Atar. 1984. Anatomi Sastra. Padang: UNP.
Semi, M. Atar. 1993. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Bandung.
Subhan, Muhammad. 2011. Rinai Kabut Singgalang. Jakarta: PT Gramedia.


AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...