Senin, 09 September 2013


Timbang tanda

Malam semakin merebak. Telah berganti keriuhan lalat dengan dengungan nyamuk. Jalan setapak di desa ini masih tetap sama. Jalur utama menuju desa kelahiranku, memang hanya bisa dilalui beberapa orang saja. Jalan setapak, kata mereka. Sisi kiri dan kanan jalan ini di tumbuhi bunga cempaka. Benar-benar masih seperti dulu. Masih berdasar tanah bukit. Kalau hujan, jangan tanyai lagi apa yang akan dikeluhakan masyarakat disini. Jalanan ini pastilah akan becek. Lumpurnya nyaris membuat alas kaki yang tuan miliki akan tebal melebihi ketebalan semula.
Kakiku terus melangkah. Menelusuri ruas jalan kampung tunggai. Ini merupakan hari pertamaku disini. Bukan karena aku pendatang baru disini. Tapi diriku barulah pulang dari perantauan. Aku terpaksa pulang. Surat ibuku yan datang dua hari lalu memaksaku bergegas meningalkan kemerlap dunia di ranah jawa. Pesan itu tak panjang dan tak jelas apa kebenarannya. Tapi cara penulisannya tekesan penting dan mendadak, berhasil membuatku bertindak cepat.
Langkahku lelah, tapi aku masih bersikukuh untuk berjalan. Menikmati tiap langkah di jalan setapak ini. Dulu, sering aku bermain disini. Permainan apapun. Bersama beberapa rekan sebayaku. Kami menamai angkatan kami ini dengan sebutan kamta fc. Kami merupakan kelompok pemain bola dari kampungku. Setiap ada perlombaan antar kampung, kami selalu  ambil bagian untuk jadi pemenang. Aku tersenyum sendiri mengenang masa kejayaanku dulu. Masih banyak hal yang kuperbuat bersama rekan seumuranku itu. Bahkan hal teraneh sekalipun. Mengingatnya benar-benar membuatku mengulum senyum nikmat. Betapa aku bahagia pernah menikmati hari hari seperti itu.
            Tak lama lagi aku akan sampai.
Mataku tertuju pada rumah di ujung perempatan sana. Sebuah rumah kayu berpagar bamboo. Catnya baru, tapi masih berwarna yang sama, seperti Saat aku tinggalkan dulu. Halamannya semakin bersih saja. ‘adikku sudah gadis rupanya,’ aku bergumam.
“krreet….” Terengar pintu rumah kayu beratap ijuk itu terbuka. Seorang wanita berbaju daster keluar melihat kehalaman. “assalamu’alaikum amak….!!” Aku berlari kecil menuju ibu yang kupanggil amak tadi. Beliau adalah ibuku. Wanita yang selaluku do’akan keadaannya agar Baik-baik saja. Kuciumi tangan amak penuh rasa rindu, hormat dan kasih. Tiga tahun merantau sungguh mengeruk ketegaranku untuk tidak merindukan amak. ini adalah Kepulanganku yang pertama setelah tiga tahun mengadu nasib di tanah jawa.
“buyung anak amak, alhamdulillah, sudah pulang engkau rupanya nak..” amak mengucap syukur sambil memelukku. Erat, hingga akau nyaris tak bisa bernafas. Tapi aku sagat senang dengan sambutan hangat dari amak. Puas bersalaman dan menciumi tangan amak. Ku perhatikan wanita muda yag berdiri disebelahku dari pertama masuk tadi. “inur?” tanyaku. “iya uda, berikan padaku tas uda, biar dibawa kedalam kamar da..” jawabnya, “aduh, ternyata adikku sudah gadis pula sekarang.” aku tersenyum menyalami adikku satu-satunya itu.  Inur tidak tinggal bersama ibu semenjak berumur tujuh tahun karena dibawa bako kami. Dan baru balik kerumah kami dua tahun lalu. Jadi tuan jangan heran kalau reaksiku berlebihan saat bertemu dengannya.
“sudahlah yo, istirahatlah dulu. perjalanan buyung jauh tadi kan?..” kata amak mengakhiri percakapan kami malam itu. Badanku memang letih. Letih terlalu letih malah. Kuputuskan untuk tidur di kamarku.
****
Seperti biasanya, pagi ini amak sudah ribut membangunkan aku dan inur untuk shalat. Inilah yang paling membuat aku sering merindukan rumah. Keributan dari satu sumber suara di rumah ini, yaitu suara amak membangunkan kami untuk shalat berjamaah di mushala. Aku dan Inur tak menolak. Ini memang ritual bersifat sunat mu’akad bagi aku dan amak tiap pagi.
Jarak mushala ke rumahku tak telalu jauh. kami pergi ke mushala dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan banyak sanak dan warga lain yang juga sedaang  menuju Mushala.
 Tunggu dulu, bukankah itu Nila?. Ah iya, aku tak salah. Pagi ini aku bertemu dengan Nila, seseorang dari masa lalu yang ingin sekali kujadikan masa depanku. Tampaknya dia tak menyadari bahwa aku memperhatikannya. Kulihat dia bercakap-cakap dengan ibunya. Terlihat sangat hangat. Membuat aku sangat ingin memiliki sosok bidadari yang ada di depanku ini. Oh, aku tak bisa mengendalikan pujianku untuk sosok hawa di hadapanku. Tiap kata manis akan kulantunkan untukknya, sayang aku tak memiliki keberanian itu.
“sudah bawudhuk yo?” amak membuyaran khayalan pagiku. Tapi tak apa, aku memang harus sadar, karena aku tak pernah menyadari bagaiman perasaan Nila padaku. “iyo mak,” jawabku singkat. Amak menatapku aneh. Lalu beliau tesenyum, entah kenapa amak tersenyum aku tak tahu.
Pagi berlalu setelah kehangatan teh pagi menyogsong kerongkonganku. Kudengar sedikit keributan antara inur dan amak dari kamar sebelah. dengan rasa ingin tahu ku masuki kamar itu. Berniat hendak bertanya atau mungkin bisa ikut serta dalam perbincangan mereka berdua yang terdengar riuh tadi. Tapi apa yang kudapat. Baru aku memasuki kamar berkelambu biru ini aku di ceramahi amak. “alah… lekaslah kamu berpakaian rapi yo.. sebentar lagi akan ada tamu yang akan tiba” Hah?, siapa yang akan datang?  kenapa aku harus rapi sebelumnya?. Aneh, tapi kulakukan saja.
Aku sangat penasaran. Orang seperti apakah yang akan mendatangi gubuk tuaku ini?. Kenapa aku harus berkemas untuk menantinya?. Tak habis tanyaku disitu saja. Setelah aku keluar kamar dengan kostum kemeja petak-petak dan bawahan celana dasar. Emak memujiku dengan kata-kata yang mengibaratan aku akan disanjung nantinya. “ sungguh kau gagah seperti mendiang bapakmu yo.. amak pikir pihak sebelah tidak akan mau menyia-nyiakanmu…” puji amak. Aku semakin bingung. Pihak sebelah? maksudnya?.

Di Serambi depan rumah aku duduk menatap jauh kedepan. Tak ada yag kufokuskan objeknya. Pikiranku melayang-layang. Tentang Nila, gadis yang dari dulu mengisi tiap lembar diary dan memoryku. Tentang siapakah gerangan yang akan datang nanti. Apakah akan ada sengketa? Atau ini yang di maksud dengan surat amak beberapa hari lalu?. Aku tak tau.
Tiba-tiba terdengar kikikan tawa dari simpang jalan. Seperti orang yang berjalan menuju arah rumahku. Apakah itu tamu yang ibu maksud?. Tiba tba saja aku takut dan nerveous.bagaimana cara aku menghadapi orang itu nanti?.
Perlahan tampak beberapa orag lelaki berpakaian adapt menuju rumahku. Tak begiu ku kenali wajahnya tapi aku yakin mereka masih orang kmapung sini. Amak menyambut mreka. Memperslahkan masuk dan duduk. Aku berdiri dengan sedikit kaku dan gerogi kusalami mereka semua. “rombongan ibu-ibu sebentar lagi datang” ujar salah seorang dari mereka memulai pembicaraan.
Perlahan pembicaran kami beralan santai. Aku tak merasa ada sengke ta. Tapi aku selalu saja di puji dari tadi. Masih saja aku ta mengerti sps maksud semua ini. Kunikmati aliran pembicaraan kami. Sampai pada pembahasan yang mencengankanku. “jadi bujang ini yang akan di jodohkan denga aak gadis kami?” pertanyaan ini mencekam tenggorokanku. Ternyata background ini adalah penjodohan? Lamarankah?. Aku terdiam tak menjawab. Di pelupuk mataku menari-nari harapan yang pernah kutuliskan dengan masa laluku yang ingin kujadikan masadepanku itu. Ya, Nila. Bagaimana dengan perasaanku itu?. Aku takut menjawab atau berkomentar lain. Aku takut menyakiti amak. “iya bujang, kami lihat engkau sudah sangat matang, apalagi kau mau diangkat menjadi datuk pengganti ninik mamak tertinggimu dan kami ingin engkau yang aka menjadi anak gadih dari keluarga kami..” tambah seorang lain dari mereka yang memiliki kumis lebat. Aku masih saja diam. Meresapi kata mereka satu persatu dan sedikit menyesali kejadian tiba-tiba yang membuatku mati gaya. Ternyata hal ini sudah di rencanakan amak dari mula. Aku merasa sangat tidak di berikan hak kebebasan memilih dan berbicara dalam kondisi seperti ini.
“bukan begitu datuk, ambo tidak tahu kalau pertemuan kita hari ini bertujuan seperti yang dikatakan tadi, ambo sendiri tidak tahu akan dijodohkan dengan siapa?” jawabku gugup. “o.. iyo, mana rombongan perempuan tadi, lekaslah panggil biar tak tahu pula bujang ini dengan calonnya” sorak datuak yang duduk paling ujung. Seorang pun menuruni rumah guna memanggil rombongan yang di maksudkannya tadi.
Rombongan yang tadi dipanggil pun menaiki rumah gadang kami. Dan…
Subhanallah…. Aku terkejut sangat terkejut saat kulihat salah satu dari mereka adalah sesosok gadis yang tadi kulamunkan. Nila juga menyertai rombongan ini. Mungkinkah…
“ini dia bujang, nila anak gadis yang akan kami jodohkan denganmu..” Amak berkata padaku sambil menunjuk nila. Aku sungguh tak dapat menahan hati. Girangku tak terkirakan lagi. Ternyata tuhan mengijabah do’aku dengan cara yang tak pernah kufikirkan sebelumnya. Aku mohon diri untuk kedalam sebentar.
Sedikit berlari. Akupun sujud, tapi tiba-tiba gelap.dan hening.
Aku merasa ada yang hilang. Kemudian merasa ragu pada sederet kisah yang terasa nyata tadi. Ku coba mengangkat kelopak mataku dan kuperhatikan sekelilingku. Masih ada secarik surat yang tadi kubaca.
Sial, jadi tadi aku hanya bermimpi?. Hah, aku sibuk memaki diriku sendiri yang kecewa dan terpengaruh mimpi  arusan. Berkali aku menghela nafas kesal. Dan menyumpahi mimpi yang berhasil berthta di benakku dan mengarahkanku untuk berdo’a, “semoga mimpi yang tadi bisa jadi nyata Tuhan… amin.”

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...