Timbang tanda
Malam
semakin merebak. Telah berganti keriuhan lalat dengan dengungan nyamuk. Jalan
setapak di desa ini masih tetap sama. Jalur utama menuju desa kelahiranku,
memang hanya bisa dilalui beberapa orang saja. Jalan setapak, kata mereka. Sisi
kiri dan kanan jalan ini di tumbuhi bunga cempaka. Benar-benar masih seperti
dulu. Masih berdasar tanah bukit. Kalau hujan, jangan tanyai lagi apa yang akan
dikeluhakan masyarakat disini. Jalanan ini pastilah akan becek. Lumpurnya
nyaris membuat alas kaki yang tuan miliki akan tebal melebihi ketebalan semula.
Kakiku
terus melangkah. Menelusuri ruas jalan kampung tunggai. Ini merupakan hari
pertamaku disini. Bukan karena aku pendatang baru disini. Tapi diriku barulah
pulang dari perantauan. Aku terpaksa pulang. Surat ibuku yan datang dua hari
lalu memaksaku bergegas meningalkan kemerlap dunia di ranah jawa. Pesan itu tak
panjang dan tak jelas apa kebenarannya. Tapi cara penulisannya tekesan penting
dan mendadak, berhasil membuatku bertindak cepat.
Langkahku
lelah, tapi aku masih bersikukuh untuk berjalan. Menikmati tiap langkah di
jalan setapak ini. Dulu, sering aku bermain disini. Permainan apapun. Bersama
beberapa rekan sebayaku. Kami menamai angkatan kami ini dengan sebutan kamta
fc. Kami merupakan kelompok pemain bola dari kampungku. Setiap ada perlombaan
antar kampung, kami selalu ambil bagian
untuk jadi pemenang. Aku tersenyum sendiri mengenang masa kejayaanku dulu. Masih
banyak hal yang kuperbuat bersama rekan seumuranku itu. Bahkan hal teraneh
sekalipun. Mengingatnya benar-benar membuatku mengulum senyum nikmat. Betapa
aku bahagia pernah menikmati hari hari seperti itu.
Tak lama lagi aku akan sampai.
Mataku
tertuju pada rumah di ujung perempatan sana. Sebuah rumah kayu berpagar bamboo.
Catnya baru, tapi masih berwarna yang sama, seperti Saat aku tinggalkan dulu.
Halamannya semakin bersih saja. ‘adikku sudah gadis rupanya,’ aku bergumam.
“krreet….”
Terengar pintu rumah kayu beratap ijuk itu terbuka. Seorang wanita berbaju daster
keluar melihat kehalaman. “assalamu’alaikum amak….!!” Aku berlari kecil menuju
ibu yang kupanggil amak tadi. Beliau adalah ibuku. Wanita yang selaluku do’akan
keadaannya agar Baik-baik saja. Kuciumi tangan amak penuh rasa rindu, hormat
dan kasih. Tiga tahun merantau sungguh mengeruk ketegaranku untuk tidak
merindukan amak. ini adalah Kepulanganku yang pertama setelah tiga tahun
mengadu nasib di tanah jawa.
“buyung
anak amak, alhamdulillah, sudah pulang engkau rupanya nak..” amak mengucap
syukur sambil memelukku. Erat, hingga akau nyaris tak bisa bernafas. Tapi aku
sagat senang dengan sambutan hangat dari amak. Puas bersalaman dan menciumi
tangan amak. Ku perhatikan wanita muda yag berdiri disebelahku dari pertama
masuk tadi. “inur?” tanyaku. “iya uda, berikan
padaku tas uda, biar dibawa kedalam kamar da..” jawabnya, “aduh, ternyata
adikku sudah gadis pula sekarang.” aku tersenyum menyalami adikku satu-satunya
itu. Inur tidak tinggal bersama ibu
semenjak berumur tujuh tahun karena dibawa bako kami. Dan baru balik kerumah
kami dua tahun lalu. Jadi tuan jangan heran kalau reaksiku berlebihan saat
bertemu dengannya.
“sudahlah
yo, istirahatlah dulu. perjalanan buyung jauh tadi kan?..” kata amak mengakhiri percakapan kami malam itu. Badanku memang
letih. Letih terlalu letih malah. Kuputuskan untuk tidur di kamarku.
****
Seperti
biasanya, pagi ini amak sudah ribut membangunkan aku dan inur untuk shalat.
Inilah yang paling membuat aku sering merindukan rumah. Keributan dari satu
sumber suara di rumah ini, yaitu suara amak membangunkan kami untuk shalat
berjamaah di mushala. Aku dan Inur tak menolak. Ini memang ritual bersifat
sunat mu’akad bagi aku dan amak tiap pagi.
Jarak
mushala ke rumahku tak telalu jauh. kami pergi ke mushala dengan berjalan kaki.
Dalam perjalanan banyak sanak dan warga lain yang juga sedaang menuju Mushala.
Tunggu dulu, bukankah itu Nila?. Ah iya, aku
tak salah. Pagi ini aku bertemu dengan Nila, seseorang dari masa lalu yang
ingin sekali kujadikan masa depanku. Tampaknya dia tak menyadari bahwa aku
memperhatikannya. Kulihat dia bercakap-cakap dengan ibunya. Terlihat sangat
hangat. Membuat aku sangat ingin memiliki sosok bidadari yang ada di depanku
ini. Oh, aku tak bisa mengendalikan pujianku untuk sosok hawa di hadapanku.
Tiap kata manis akan kulantunkan untukknya, sayang aku tak memiliki keberanian
itu.
“sudah
bawudhuk yo?” amak membuyaran khayalan pagiku. Tapi tak apa, aku memang harus
sadar, karena aku tak pernah menyadari bagaiman perasaan Nila padaku. “iyo mak,” jawabku singkat. Amak
menatapku aneh. Lalu beliau tesenyum, entah kenapa amak tersenyum aku tak tahu.
Pagi
berlalu setelah kehangatan teh pagi menyogsong kerongkonganku. Kudengar sedikit
keributan antara inur dan amak dari kamar sebelah. dengan rasa ingin tahu ku
masuki kamar itu. Berniat hendak bertanya atau mungkin bisa ikut serta dalam
perbincangan mereka berdua yang terdengar riuh tadi. Tapi apa yang kudapat. Baru
aku memasuki kamar berkelambu biru ini aku di ceramahi amak. “alah… lekaslah kamu berpakaian rapi yo..
sebentar lagi akan ada tamu yang akan tiba” Hah?, siapa yang akan datang? kenapa aku harus rapi sebelumnya?. Aneh, tapi
kulakukan saja.
Aku
sangat penasaran. Orang seperti apakah yang akan mendatangi gubuk tuaku ini?.
Kenapa aku harus berkemas untuk menantinya?. Tak habis tanyaku disitu saja. Setelah
aku keluar kamar dengan kostum kemeja petak-petak dan bawahan celana dasar.
Emak memujiku dengan kata-kata yang mengibaratan aku akan disanjung nantinya. “
sungguh kau gagah seperti mendiang bapakmu yo.. amak pikir pihak sebelah tidak
akan mau menyia-nyiakanmu…” puji amak. Aku semakin bingung. Pihak sebelah?
maksudnya?.
Di
Serambi depan rumah aku duduk menatap jauh kedepan. Tak ada yag kufokuskan objeknya.
Pikiranku melayang-layang. Tentang Nila, gadis yang dari dulu mengisi tiap
lembar diary dan memoryku. Tentang siapakah gerangan yang akan datang nanti.
Apakah akan ada sengketa? Atau ini yang di maksud dengan surat amak beberapa
hari lalu?. Aku tak tau.
Tiba-tiba
terdengar kikikan tawa dari simpang jalan. Seperti orang yang berjalan menuju
arah rumahku. Apakah itu tamu yang ibu maksud?. Tiba tba saja aku takut dan
nerveous.bagaimana cara aku menghadapi orang itu nanti?.
Perlahan
tampak beberapa orag lelaki berpakaian adapt menuju rumahku. Tak begiu ku
kenali wajahnya tapi aku yakin mereka masih orang kmapung sini. Amak menyambut
mreka. Memperslahkan masuk dan duduk. Aku berdiri dengan sedikit kaku dan
gerogi kusalami mereka semua. “rombongan ibu-ibu sebentar lagi datang” ujar
salah seorang dari mereka memulai pembicaraan.
Perlahan
pembicaran kami beralan santai. Aku tak merasa ada sengke ta. Tapi aku selalu
saja di puji dari tadi. Masih saja aku ta mengerti sps maksud semua ini.
Kunikmati aliran pembicaraan kami. Sampai pada pembahasan yang mencengankanku.
“jadi bujang ini yang akan di jodohkan denga aak gadis kami?” pertanyaan ini
mencekam tenggorokanku. Ternyata background ini adalah penjodohan? Lamarankah?.
Aku terdiam tak menjawab. Di pelupuk mataku menari-nari harapan yang pernah
kutuliskan dengan masa laluku yang ingin kujadikan masadepanku itu. Ya, Nila.
Bagaimana dengan perasaanku itu?. Aku takut menjawab atau berkomentar lain. Aku
takut menyakiti amak. “iya bujang, kami lihat engkau sudah sangat matang,
apalagi kau mau diangkat menjadi datuk pengganti ninik mamak tertinggimu dan
kami ingin engkau yang aka menjadi anak gadih dari keluarga kami..” tambah
seorang lain dari mereka yang memiliki kumis lebat. Aku masih saja diam.
Meresapi kata mereka satu persatu dan sedikit menyesali kejadian tiba-tiba yang
membuatku mati gaya. Ternyata hal ini sudah di rencanakan amak dari mula. Aku
merasa sangat tidak di berikan hak kebebasan memilih dan berbicara dalam
kondisi seperti ini.
“bukan
begitu datuk, ambo tidak tahu kalau
pertemuan kita hari ini bertujuan seperti yang dikatakan tadi, ambo sendiri tidak tahu akan dijodohkan
dengan siapa?” jawabku gugup. “o.. iyo, mana rombongan perempuan tadi, lekaslah
panggil biar tak tahu pula bujang ini dengan calonnya” sorak datuak yang duduk
paling ujung. Seorang pun menuruni rumah guna memanggil rombongan yang di maksudkannya
tadi.
Rombongan
yang tadi dipanggil pun menaiki rumah gadang kami. Dan…
Subhanallah….
Aku terkejut sangat terkejut saat kulihat salah satu dari mereka adalah sesosok
gadis yang tadi kulamunkan. Nila juga menyertai rombongan ini. Mungkinkah…
“ini
dia bujang, nila anak gadis yang akan kami jodohkan denganmu..” Amak berkata
padaku sambil menunjuk nila. Aku sungguh tak dapat menahan hati. Girangku tak
terkirakan lagi. Ternyata tuhan mengijabah do’aku dengan cara yang tak pernah
kufikirkan sebelumnya. Aku mohon diri untuk kedalam sebentar.
Sedikit
berlari. Akupun sujud, tapi tiba-tiba gelap.dan hening.
Aku
merasa ada yang hilang. Kemudian merasa ragu pada sederet kisah yang terasa
nyata tadi. Ku coba mengangkat kelopak mataku dan kuperhatikan sekelilingku.
Masih ada secarik surat yang tadi kubaca.
Sial,
jadi tadi aku hanya bermimpi?. Hah, aku sibuk memaki diriku sendiri yang kecewa
dan terpengaruh mimpi arusan. Berkali
aku menghela nafas kesal. Dan menyumpahi mimpi yang berhasil berthta di benakku
dan mengarahkanku untuk berdo’a, “semoga mimpi yang tadi bisa jadi nyata Tuhan…
amin.”