Bunyi kipas angin yang masih belum berubah dari tahun
lalu seolah bersaing dengan suara emosi dari seorang rekan sederetan DPH. Namaya Meri Susanti, ringkas saja panggilannya jadi ‘Wak I’. kali ini dia tak langsung
tersedu menyampaikan keluhan tentang rumah kami. Tentang anak-anak yang kami
besarkan dan tentang dapurnya. Dia masih menahan bulir-bulir jatuh dari mata
yang sudah lelah itu. ataupun mencoba tak berbicara lambat, kali saja takut
serak segera datang padanya. Semua masalah dan kesalahan dari jendela dia,
meluncur begitu saja. Menceropoh tanpa ada nada landai, nada tinggi, dan nada
rendah. Semua senada. Nada hati yang tak stabil.
Mungkin wak I lelah,aku membiarkannya sendiri. aku egois
pula. Jelas dia tak tahan. Aku selalu
berulah, terlebih aku. Wak I memberi pukulan-pukulan sedikit keras padaku. masing-masing
dapat namun kadar pukulannya berbeda. Dari keseluruhan masa menjabat disini,
barulah ini yang membuat aku terdiam dan bertanya sendiri “apa yang aku
lakukan?”. Benar saja, apa yang aku lakukan disini?. Apa saja yang sudah aku
lakukan disini. Untuk apa aku disini?. Kenapa hingga sat ini aku masih bertahan
disini?. Jika bertahan disini, apa yang sudah aku lakukan untuk ini?. diam…
selama ini aku
meng-egois-kan diri dengan sibuk berfikir tentang saya sendiri. Yang lain juga
punya masalah, bukan aku saja. Bekerja tapi seadanya, mungkin begitulah
predikat untuk kinerjaku disini. Wajar saja wak I atau yang lain mencelaku. Pemimpin
semacam apalah aku ini.
sedetik dua detik, mungkin lebih. Masa lalu
menari-nari dengan leluasa dibenakku. Lalu bertanya lagi. “dimana semangat
dulu?” “dimana hangat dulu?”. Hening..
untuk meminta maafpun tak kuasa lagi rasanya disini.
Aku sudah tak bisa merubah pandangan mereka. Memperbaiki hingga akhir musim ini
mungkin saja bisa. Tapi statusnya baru mungkin.
Belumlah pasti. Mungkin saja nanti aku akan berulah lagi.
Melihat kamu, dia, kalian seperti ini semacam rasa
sangat membenci diri sendiri muncul. Muak dengan badan sendiri.
Saya tak bisa berjanji teman. Tapi saya akan
menuntun saya sendiri untuk tak menyakiti kamu lagi. Untuk tidak membuat kamu
menangis lagi. Untuk tak membuat ketua merasa tak melakukan apa-apa lagi.
Dari hati yang terdalam. Aku mencintai kalian.