Sabtu, 23 Agustus 2014

tanpa maaf, dengan terimakasih. untuk kamu, dia dan mereka.


Bunyi kipas angin yang masih belum berubah dari tahun lalu seolah bersaing dengan suara emosi dari seorang rekan sederetan DPH. Namaya Meri Susanti, ringkas saja panggilannya jadi ‘Wak I’. kali ini dia tak langsung tersedu menyampaikan keluhan tentang rumah kami. Tentang anak-anak yang kami besarkan dan tentang dapurnya. Dia masih menahan bulir-bulir jatuh dari mata yang sudah lelah itu. ataupun mencoba tak berbicara lambat, kali saja takut serak segera datang padanya. Semua masalah dan kesalahan dari jendela dia, meluncur begitu saja. Menceropoh tanpa ada nada landai, nada tinggi, dan nada rendah. Semua senada. Nada hati yang tak stabil.
Mungkin wak I lelah,aku membiarkannya sendiri. aku egois pula. Jelas dia tak tahan. Aku  selalu berulah, terlebih aku. Wak I memberi pukulan-pukulan sedikit keras padaku. masing-masing dapat namun kadar pukulannya berbeda. Dari keseluruhan masa menjabat disini, barulah ini yang membuat aku terdiam dan bertanya sendiri “apa yang aku lakukan?”. Benar saja, apa yang aku lakukan disini?. Apa saja yang sudah aku lakukan disini. Untuk apa aku disini?. Kenapa hingga sat ini aku masih bertahan disini?. Jika bertahan disini, apa yang sudah aku lakukan untuk ini?. diam…

 selama ini aku meng-egois-kan diri dengan sibuk berfikir tentang saya sendiri. Yang lain juga punya masalah, bukan aku saja. Bekerja tapi seadanya, mungkin begitulah predikat untuk kinerjaku disini. Wajar saja wak I atau yang lain mencelaku. Pemimpin semacam apalah aku ini.
sedetik dua detik, mungkin lebih. Masa lalu menari-nari dengan leluasa dibenakku. Lalu bertanya lagi. “dimana semangat dulu?” “dimana hangat dulu?”. Hening..
untuk meminta maafpun tak kuasa lagi rasanya disini. Aku sudah tak bisa merubah pandangan mereka. Memperbaiki hingga akhir musim ini mungkin saja bisa. Tapi statusnya baru mungkin. Belumlah pasti. Mungkin saja nanti aku akan berulah lagi.
Melihat kamu, dia, kalian seperti ini semacam rasa sangat membenci diri sendiri muncul. Muak dengan badan sendiri.
Saya tak bisa berjanji teman. Tapi saya akan menuntun saya sendiri untuk tak menyakiti kamu lagi. Untuk tidak membuat kamu menangis lagi. Untuk tak membuat ketua merasa tak melakukan apa-apa lagi.
Dari hati yang terdalam. Aku mencintai kalian.

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...