Aku berfikir,
apa yang membuatku hidup. Semula kuanggap jawabannya adalah karena ada Tuhan
dan kedua orang tuaku yang dengan rendah hati menjadi perpanjangan tangan
Tuhan. Tapi akhir-akhir ini, kurasa tidak demikian. Yang membuat aku hidup dan
tetap hidup adalah Tuhan dan aku. Bukan orang tuaku, kurasa mereka hanya alasan
untuk hidup dan (membantu) tetap hidup.
Akulah yang
berusaha tetap hidup. Makan dan minum bernafas dan bergerak melakukan segala
bentuk kegiatan yang memperlihatkan bahwa aku hidup. Itu karena aku ingin. Jika
aku tak ingin, bisa saja aku tak mengangakan mulut dan menolak makanan masuk
kedalam lambungku. Atau minum, katanya manusia bisa mati jika tak mendapatkan
air selama 4 hari. Jika aku tak ingin hidup, bisa saja aku hentikan kebiasaan minum
air. Bernafas apa lagi, keinginan untuk hidup membuat aku tak berniat menutup
saluran pernafasan barang dua tiga menit pun. Menghirup udara dan mengisi
rongga dada dengan gas alam bernama oksigen rasanya menyenangkan. Benar,
hidupku saat ini karena aku yang menginginkannya.
Tuhan selalu
ada dalam setiap hal di kehidupan, kecambah kacang hijau mulai mencari cahaya,
ada tangan Tuhan didalamnya. Pergerakan organisme paling kecil juga dengan
campur Tangan Tuhan. Dan contoh terbesar, semesta tak saling tubruk, juga
karena Tuhan selalu mengawasi.
Aku yakin
dan percaya sekali pada campur tangan Tuhan.
Sekarang aku
berada pada tahap yang paling menarik di usia 24 tahun. Haha, 24 tahun, selama
itukah aku sudah bertahan hidup? Tepuk tangan sendiri untuk gigihnya aku
bertahan.
Menjadi
wanita dan perempuan di usia hampir seperempat abad ini tentu beberapa warna
kehidupan sudah kunikmati. Rasa-rasa hidup juga sudah kucicip. Aku masih dengan
background lingkungan yang sama dengan tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya. Aku adalah perempuan tertua dari 8
bersaudara. Ama kembali melahirkan anak laki-laki selang dua tahun dari
kelahiranku. Dua tahun kemudian lahir kembali adikku perempuan. Setahun
berikutnya adikku bertambah kembali, masih perempuan. Dua tahun selanjutnya,
bayi perempuan merengek lagi di rumah kami. hal yang sama berulang hingga tahun
2011.
Kami tinggal
menumpang di rumah Nenek, dikampungku lebih trend dengan sebutan Amak. Gubuk
kami masih belum bisa ditempati. Beberapa bagiannya masih belum selseai. Masih berwujud bangunan setengah jadi yang mulai horror dari
hitungan senja.
Rumah amak
berbahan dasar kayu. Rumah bertingkat dua ini lantai bawahnya ditempati ternak
kami dan lantai dua ditempati manusia sebagai penghuni asli. Rumah lama, begitu
kebanyakan orang menyebutnya. Lantai rumah masih papan yang sudah tidak utuh
lagi. Kondisi lantai sudah lapuk. Beberapa kali adikku menjebol lantai dengan
kakinya. Akibatnya, dia harus luka-luka karena berdiri di tatanan lantai yang
sudah benar-benar lapuk.
Di rumah kami
tidak ada gelas kaca. Bukan kami tidak sanggup membeli satu lusin gelas kaca
seharga 10 ribu rupiah. Tapi lebih karena tiap kali gelas kaca yang kami punya
selalu berusia tak lebih seminggu. Pasalnya, rak-rak piring yang biasanya kami
jadikan tempat pengering perabotan dapur setelah dibersihkan, berada di posisi
yang sudah tidak aman lagi. Bayangkan saja, saat kau berjalan dari pintu utama
gubukku, pintu paling belakang akan ikut berdecit. Saat kau menginjak lantai
tengah, gelas di rak-rak piring akan berdenting, bertubrukan satu sama lain,
membuat kondisinya tidak aman lagi dipakai.
Badai tahun
2016 lalu membuat atap rumah kami dengan riangnya melepaskan diri. Mengikuti
irama angin dan bahagia sampai di tanah. Kami bersyukur, malam itu kami bisa
tidur dengan pemandangan cantik. langit malam terlihat vulgar. Telanjang tanpa
sekat. Sayangnya, kami harus berbaik hati berbagi darah dengan nyamuk dan
berbagi dingin dengan malam.
Atap rumah
segera diperbaiki Apa. Tapi yah, sepandai Apa pula perbaikannya. Lelaki tamatan
SMA dan gagal tamat Jurusan keolahragaan
salah satu universitas negeri dikotaku ini tidak terlalu pandai ber-sipil-sipil. Atap tidak berada pada posisi semula. Akibatnya, air masuk
dengan deras ke rumah saat cuaca hujan lebat maupun hujan ringan.
Ama adalah
anak ke empat dari lima bersaudara. Perempuan paling bungsu dari tiga kakak
padusinya. Ama sudah jadi yatim sejak kelas 6 SD.Menggantikan Abak, Amak mencari beras dengan bertanam di sawah
orang, menjual rempah di pasar raya Padang. menurut kakak Ama, Amak tergolong
pelit. Tapi menurutku, Amak sosok yang adil. Beliau kesulitan memenuhi
kebutuhan lima orang anak sehingga dua orang anak harus dititip kepada keluarga
yang lebih berada, agar mereka bisa sekolah layak. Dan yang dikampung, yang
masih bersamanya, itulah yang akan disekolahkannya semampunya. Orang tua
perempuanku adalah anak yang masih bersama Amak sampai Amak menyebut nama Tuhan
untuk terakhir kalinya di dunia.
Bisa
disimpulkan, dari Ama lahir sampai umurku nyaris seperempat abad, Ama masih
tinggal di lokasi yang sama dengan kondisi yang semakin kuyu.
Apa adalah
Sibungsu,Uwak (nenek dari pihak Apa). Sesekali kalian jangan mengkhayal hidup
Apa lebih mewah dari Ama karena beliau sempat merasakan jadi mahasiswa. Apa
Yatim lebih lama dari Ama, beliau yatim sejak berusia 3 bulan dalam kandungan.
Tidak, tidak, itu hanya kata Uwak. Sebenarnya, Apa sudah tidak bersua dengan
ayahnya semenjak beliau lahir ke dunia. Ayahnya berkelana memperbanyak generasi
bangsa.
Prestasi
kakek semacam itulah yang membuat aku berpikir harus memiliki pasangan bukan
orang disekitar Padang. mana tahu yang kunikahi adalah anak cucunya kakek.
Nikah sedarah kan haram.
Apa jarang
akur dengan saudaranya, Paman. Paman keras kepala dan
apa Tidak bisa diatur. Mereka selalu berpikir yang mereka lakukan adalah
benar dan untuk kebaikan umat. Tapi nyatanya, mereka selalu memiliki misi yang
sama. Hanya saja mereka tidak pernah bisa mengkomunikasikannya dengan
baik-baik.
Saat kau
bertemu mereka berdua, bisa kau tebak sendiri, hati mereka memiliki cinta yang
sama besar, tapi malu menelan semuanya.
Aku
menamatkan pendidikan di salah satu universitas terkemuka di kotaku. Dari
Jurusan yang tidak semua orang paham akan dibawa kemana ijazahnya. “lulusan
sastra Indonesia”, rerata orang akan berkernyit dahinya mendengar penjelasan
background ilmuku.
Sekarang aku
adalah tukang ketik di salah satu instansi milik rakyat. Aku ditempatkan di
posisi yang insya Allah aku masih awam bersamanya. Bagian IT, apalah Sasindo
menjamah IT. Tapi ini permintaan Apa, aku harus bertahan disini demi adik-adik.
Apa pesan, agar aku bersiap menjadi tulang punggung pula, Dio, adikku juga
disampaikan begitu. Karena ya, seperti kataku di awal, kita berusaha hidup,
tapi Tuhan selalu bercampur tangan.
Aku bohong
jika dengan umur yang sudah masuk zona layak nikah ini aku tidak memiliki teman
dekat dalam artian serius. Rekan laki-laki yang kerennya dipanggil pacar, aku
juga miliki dia. Aku sudah memilikinya sejak umurku dua kali sepuluh.
Sebelumnya
aku juga pernah menjalin kasih dengan beberapa laki-laki. Petualangan cintaku
dimulai semenjak SMP kelas akhir. Pemuda yang berhasil merebut selendangku, oh
bukan, hatiku adalah rekan lokal sebelah yang tertarik dengan suara merduku.
Ya, setidaknya itulah alasan yang bisa dia kemukakan saat aku bertanya “kenapa
Aku??”.
Lelaki terakhir
bersamaku adalah rekan satu organisasi yang juga kuceritakan pada beberapa
postingan di laman ini.
Aku tidak
pernah menyesal memilih jalan bersamanya. Banyak hal kupelajari darinya dan
banyak hal yang bisa kuamalkan selama mendampingi dia. Aku merekam setiap hal
yang sempat kami lalui. Bagiku, jalan kami adalah sebuah usaha memantaskan diri
untuk menjadi padusinya.
Beberapa hal
membuat hubungan kami harus goyang di Januari.
Dari hati
kusampaikan bahwa aku hanya lelah dan butuh sendiri untuk beberapa waktu, tapi
yang kudapatkan adalah serbuan dan desakan
pertanyaan dan pernyataan yang membuat hatiku genting. Rasa nyaman yang
coba kupertahankan redup.
Aku kasihan
dengan tingkahnya akhir-akhir ini yang menyakiti dia sendiri dan menyakiti aku
secara tidak langsung.
Aku tahu,
tahun ini adalah tahun penting untuk kami. kami berjanji akan meresmikan hubungan
kami akhir tahun ini. Tapi dia gagal menghadapi cobaan yang lebih dahulu
menyambanginya. Langkahku terhenti sampai dititik itu.
Saat aku
benar-benar takut menghadapi duniaku. Saat aku benar-benar membutuhkan sebuah
pernyataan hari yang sama bahkan sebelum aku mulai bertanya. Semuanya selesai.
Kupikir
kedepan hanya ada jalan berbatu yang masih acak-acakan. Aku harus
berpandai-pandai menatanya. Dan kebelakang, ada sekelompok orang yang menatap
dengan mata bulat padaku agar aku tidak berhenti melangkah.
Kuputuskan tidak meletakkan mereka dibelakangku lagi, sebagai
supporter yang tak terlihat dan hanya bisa kunikmati suaranya. Sekarang mereka
di depanku. Memanggilku untuk tidak lelah.
Ah aku
lapar, menggalau dan tak makan buka tipeku. Aku hanya tak makan jika ransum
kami kurang untuk 10 orang.
Baiklah, tunjukan lagi seperti apa yang harus aku
lalui. Aku memiliki Tuhan dan Tuhanku tak pernah meninggalkan aku!
Balaibaru
29 Januari 2017