Sabtu, 01 Juli 2017

Fase

Aku berfikir, apa yang membuatku hidup. Semula kuanggap jawabannya adalah karena ada Tuhan dan kedua orang tuaku yang dengan rendah hati menjadi perpanjangan tangan Tuhan. Tapi akhir-akhir ini, kurasa tidak demikian. Yang membuat aku hidup dan tetap hidup adalah Tuhan dan aku. Bukan orang tuaku, kurasa mereka hanya alasan untuk hidup dan (membantu) tetap hidup.
Akulah yang berusaha tetap hidup. Makan dan minum bernafas dan bergerak melakukan segala bentuk kegiatan yang memperlihatkan bahwa aku hidup. Itu karena aku ingin. Jika aku tak ingin, bisa saja aku tak mengangakan mulut dan menolak makanan masuk kedalam lambungku. Atau minum, katanya manusia bisa mati jika tak mendapatkan air selama 4 hari. Jika aku tak ingin hidup, bisa saja aku hentikan kebiasaan minum air. Bernafas apa lagi, keinginan untuk hidup membuat aku tak berniat menutup saluran pernafasan barang dua tiga menit pun. Menghirup udara dan mengisi rongga dada dengan gas alam bernama oksigen rasanya menyenangkan. Benar, hidupku saat ini karena aku yang menginginkannya.
Tuhan selalu ada dalam setiap hal di kehidupan, kecambah kacang hijau mulai mencari cahaya, ada tangan Tuhan didalamnya. Pergerakan organisme paling kecil juga dengan campur Tangan Tuhan. Dan contoh terbesar, semesta tak saling tubruk, juga karena Tuhan selalu mengawasi.
Aku yakin dan percaya sekali pada campur tangan Tuhan.
Sekarang aku berada pada tahap yang paling menarik di usia 24 tahun. Haha, 24 tahun, selama itukah aku sudah bertahan hidup? Tepuk tangan sendiri untuk gigihnya aku bertahan.
Menjadi wanita dan perempuan di usia hampir seperempat abad ini tentu beberapa warna kehidupan sudah kunikmati. Rasa-rasa hidup juga sudah kucicip. Aku masih dengan background lingkungan yang sama dengan tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya.  Aku adalah perempuan tertua dari 8 bersaudara. Ama kembali melahirkan anak laki-laki selang dua tahun dari kelahiranku. Dua tahun kemudian lahir kembali adikku perempuan. Setahun berikutnya adikku bertambah kembali, masih perempuan. Dua tahun selanjutnya, bayi perempuan merengek lagi di rumah kami. hal yang sama berulang hingga tahun 2011.
Kami tinggal menumpang di rumah Nenek, dikampungku lebih trend dengan sebutan Amak. Gubuk kami masih belum bisa ditempati. Beberapa bagiannya masih belum selseai. Masih berwujud  bangunan setengah jadi yang mulai horror dari hitungan senja.
Rumah amak berbahan dasar kayu. Rumah bertingkat dua ini lantai bawahnya ditempati ternak kami dan lantai dua ditempati manusia sebagai penghuni asli. Rumah lama, begitu kebanyakan orang menyebutnya. Lantai rumah masih papan yang sudah tidak utuh lagi. Kondisi lantai sudah lapuk. Beberapa kali adikku menjebol lantai dengan kakinya. Akibatnya, dia harus luka-luka karena berdiri di tatanan lantai yang sudah benar-benar lapuk.
Di rumah kami tidak ada gelas kaca. Bukan kami tidak sanggup membeli satu lusin gelas kaca seharga 10 ribu rupiah. Tapi lebih karena tiap kali gelas kaca yang kami punya selalu berusia tak lebih seminggu. Pasalnya, rak-rak piring yang biasanya kami jadikan tempat pengering perabotan dapur setelah dibersihkan, berada di posisi yang sudah tidak aman lagi. Bayangkan saja, saat kau berjalan dari pintu utama gubukku, pintu paling belakang akan ikut berdecit. Saat kau menginjak lantai tengah, gelas di rak-rak piring akan berdenting, bertubrukan satu sama lain, membuat kondisinya tidak aman lagi dipakai.
Badai tahun 2016 lalu membuat atap rumah kami dengan riangnya melepaskan diri. Mengikuti irama angin dan bahagia sampai di tanah. Kami bersyukur, malam itu kami bisa tidur dengan pemandangan cantik. langit malam terlihat vulgar. Telanjang tanpa sekat. Sayangnya, kami harus berbaik hati berbagi darah dengan nyamuk dan berbagi dingin dengan malam.
Atap rumah segera diperbaiki Apa. Tapi yah, sepandai Apa pula perbaikannya. Lelaki tamatan SMA dan gagal tamat  Jurusan keolahragaan salah satu universitas negeri dikotaku ini tidak terlalu pandai ber-sipil-sipil. Atap tidak berada pada posisi semula. Akibatnya, air masuk dengan deras ke rumah saat cuaca hujan lebat maupun hujan ringan.
Ama adalah anak ke empat dari lima bersaudara. Perempuan paling bungsu dari tiga kakak padusinya. Ama sudah jadi yatim sejak kelas 6 SD.Menggantikan Abak,  Amak mencari beras dengan bertanam di sawah orang, menjual rempah di pasar raya Padang. menurut kakak Ama, Amak tergolong pelit. Tapi menurutku, Amak sosok yang adil. Beliau kesulitan memenuhi kebutuhan lima orang anak sehingga dua orang anak harus dititip kepada keluarga yang lebih berada, agar mereka bisa sekolah layak. Dan yang dikampung, yang masih bersamanya, itulah yang akan disekolahkannya semampunya. Orang tua perempuanku adalah anak yang masih bersama Amak sampai Amak menyebut nama Tuhan untuk terakhir kalinya di dunia.
Bisa disimpulkan, dari Ama lahir sampai umurku nyaris seperempat abad, Ama masih tinggal di lokasi yang sama dengan kondisi yang semakin kuyu.
Apa adalah Sibungsu,Uwak (nenek dari pihak Apa). Sesekali kalian jangan mengkhayal hidup Apa lebih mewah dari Ama karena beliau sempat merasakan jadi mahasiswa. Apa Yatim lebih lama dari Ama, beliau yatim sejak berusia 3 bulan dalam kandungan. Tidak, tidak, itu hanya kata Uwak. Sebenarnya, Apa sudah tidak bersua dengan ayahnya semenjak beliau lahir ke dunia. Ayahnya berkelana memperbanyak generasi bangsa.
Prestasi kakek semacam itulah yang membuat aku berpikir harus memiliki pasangan bukan orang disekitar Padang. mana tahu yang kunikahi adalah anak cucunya kakek. Nikah sedarah kan haram.
Apa jarang akur dengan saudaranya, Paman. Paman keras kepala  dan  apa Tidak bisa diatur. Mereka selalu berpikir yang mereka lakukan adalah benar dan untuk kebaikan umat. Tapi nyatanya, mereka selalu memiliki misi yang sama. Hanya saja mereka tidak pernah bisa mengkomunikasikannya dengan baik-baik.
Saat kau bertemu mereka berdua, bisa kau tebak sendiri, hati mereka memiliki cinta yang sama besar, tapi malu menelan semuanya.
Aku menamatkan pendidikan di salah satu universitas terkemuka di kotaku. Dari Jurusan yang tidak semua orang paham akan dibawa kemana ijazahnya. “lulusan sastra Indonesia”, rerata orang akan berkernyit dahinya mendengar penjelasan background ilmuku.
Sekarang aku adalah tukang ketik di salah satu instansi milik rakyat. Aku ditempatkan di posisi yang insya Allah aku masih awam bersamanya. Bagian IT, apalah Sasindo menjamah IT. Tapi ini permintaan Apa, aku harus bertahan disini demi adik-adik. Apa pesan, agar aku bersiap menjadi tulang punggung pula, Dio, adikku juga disampaikan begitu. Karena ya, seperti kataku di awal, kita berusaha hidup, tapi Tuhan selalu bercampur tangan.
Aku bohong jika dengan umur yang sudah masuk zona layak nikah ini aku tidak memiliki teman dekat dalam artian serius. Rekan laki-laki yang kerennya dipanggil pacar, aku juga miliki dia. Aku sudah memilikinya sejak umurku dua kali sepuluh.
Sebelumnya aku juga pernah menjalin kasih dengan beberapa laki-laki. Petualangan cintaku dimulai semenjak SMP kelas akhir. Pemuda yang berhasil merebut selendangku, oh bukan, hatiku adalah rekan lokal sebelah yang tertarik dengan suara merduku. Ya, setidaknya itulah alasan yang bisa dia kemukakan saat aku bertanya “kenapa Aku??”.
Lelaki terakhir bersamaku adalah rekan satu organisasi yang juga kuceritakan pada beberapa postingan di laman ini.
Aku tidak pernah menyesal memilih jalan bersamanya. Banyak hal kupelajari darinya dan banyak hal yang bisa kuamalkan selama mendampingi dia. Aku merekam setiap hal yang sempat kami lalui. Bagiku, jalan kami adalah sebuah usaha memantaskan diri untuk menjadi padusinya.
Beberapa hal membuat hubungan kami harus goyang di Januari.
Dari hati kusampaikan bahwa aku hanya lelah dan butuh sendiri untuk beberapa waktu, tapi yang kudapatkan adalah serbuan dan desakan  pertanyaan dan pernyataan yang membuat hatiku genting. Rasa nyaman yang coba kupertahankan redup.
Aku kasihan dengan tingkahnya akhir-akhir ini yang menyakiti dia sendiri dan menyakiti aku secara tidak langsung.
Aku tahu, tahun ini adalah tahun penting untuk kami. kami berjanji akan meresmikan hubungan kami akhir tahun ini. Tapi dia gagal menghadapi cobaan yang lebih dahulu menyambanginya. Langkahku terhenti sampai dititik itu.
Saat aku benar-benar takut menghadapi duniaku. Saat aku benar-benar membutuhkan sebuah pernyataan hari yang sama bahkan sebelum aku mulai bertanya. Semuanya selesai.
Kupikir kedepan hanya ada jalan berbatu yang masih acak-acakan. Aku harus berpandai-pandai menatanya. Dan kebelakang, ada sekelompok orang yang menatap dengan mata bulat padaku agar aku tidak berhenti melangkah. 
Kuputuskan tidak meletakkan mereka dibelakangku lagi, sebagai supporter yang tak terlihat dan hanya bisa kunikmati suaranya. Sekarang mereka di depanku. Memanggilku untuk tidak lelah.
Ah aku lapar, menggalau dan tak makan buka tipeku. Aku hanya tak makan jika ransum kami kurang untuk 10 orang.

Baiklah,  tunjukan lagi seperti apa yang harus aku lalui. Aku memiliki Tuhan dan Tuhanku tak pernah meninggalkan aku!


Balaibaru
29 Januari 2017

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...