Sabtu, 01 Juli 2017

Kita Harus Menikah, Apapun Tantangannya…


‘menikah’ suatu waktu, kata ini menjadi lebih indah dibanding kata ‘cinta’ dan sedikit bergandengan dengan kata ‘surga’ jika kau tahu rasanya.
Menikah, bagi aku khususnya, adalah suatu tahap tertinggi dalam hubungan dua anak adam non muhrim. Tujuannya sama denga pernikahan lainnya. Ingin menjalankan sunah dan membentuk surga kecil baru. Ah, membayangkannya saja sudah terasa indah.
Seperti perempuan kebanyakan, akupun memiliki tambatan hati. Hubungan kami direalisasikan dalam bentuk pacaran. Usia pacaran kami baru menginjak tahun ke empat.
Gaya pacaran ala mahasiswa, ala pencaker, LDR gegara salah satunya mesti merantau , sampe ala-ala wanita karir sudah aku jalani dengannya. Hubungan kami yang datar tanpa banyak keributan sesekali membuat jenuh. Kalaupun ribut, paling lama tiga hari kami sudah kompakan lagi.
Aku sudah mengenal orang tuanya. Pun dia, sudah kuperkenalkan pada keluargaku. Sampai awal 2017 (yang harusnya jadi awal tahun membahagiakan buat kami),  kami benar-benar menghadapi masalah yang nyaris membuat aku dan dia benar-benar mengevaluasi hubungan kami.
Seperti postingan sebelumnya, keinginan sendiri yang membuatku memilih untuk berdiam diri dan memintanya untuk membiarkan aku begitu saja. Aku tak ingin ada kata putus diantara kami, karena aku tahu aku hanya sedikit ingin mengendalikan emosiku saja.
Sungguh saat itu yang aku rasakan hanya keinginanku untuk ‘bebas’.
Tapi yang kuhadapi bukan laki-laki yang dengan mudah mengabulkan keinginan tidak masuk akalku itu. Semakin aku menginginkan lepas, Dia malah semakin mendesakku untuk meningkatkan level hubungan kami.
Dalam kondisi hubungan yang renggang, dia menemui orang tuaku dan menyampaikan keinginannya untuk menikahiku.
Harapanku untuk momen lamaran yang romantis dan penuh bunga pupus sudah. Dengan dahi yang masih mengkerut, dia meminta persetujuanku didepan orang tuaku. Momen diluar garis yang membuat imajinasiku tentang DILAMAR, sirna.
Tak bisa kupungkiri bahwa merah jambu benar-benar menghias pipiku kala itu. Untung saja lampu rumah sedikit temaram, dan aku berada cukup jauh dari dia. Jadi aku tak perlu takut dia tahu bahwa kali ini aku benar-benar tersipu.
Hatiku melambung keluar berlompat-lompatan girang tak karuan. Tapi gengsi memakan senyumku.
Aku mencintai dia, namun aku tak jujur jika aku juga tak menginginkan sendiri. Sebentar saja, sejenak, supaya aku lebih bisa menata hatiku dan mempertimbangkan jalan aku dan dia kedepannya.
Kenekatannya membuatku harus membunuh jenuh dan keinginan sendiri tadi. Yah, kali ini komitmen kami memang lebih penting dari gengsi.
Aku mengiyakan ajakannya, menikah dan menua bersama.
Menjelang hari pertemuan keluargaku dan keluarganya, ada banyak hal yang kami hadapi. Sifatku yang tak terperhatikan selama ini malah sekarang jadi masalah diantara kami. pihak kedua, dan omongan dari luar jadi angin sepoi-sepoi yang membuat kami harus benar-benar mengkomunikasikan banyak hal supaya tidak ada pikiran negative yang mengakar.
 Sejauh ini kukatakan, dia adalah orang yang aku butuhkan. Banyak ketidaksamaan diantara kami. banyak sekali. Tapi dia sabar mengajari dan memperkenalkan banyak hal. Sesekali dia bosan dengan aku yang sulit diatur. Tapi tetap dia punya cara tersendiri membuat aku tidak patah arang mencoba menjadi yang dia dan keluarga kecil kami butuhkan. “Jangan takut, aku tidak akan pernah mundur dari rencana kita, kuharap kamu juga begitu,”  ucapnya menyemangatiku.
Dia memang supporter hebat dalam sesi ini. Semangatku menggebu setelah dihadiahi kata-kata demikian. Dia benar, rencana kami adalah komitmen yang benar-benar harus dirampungkan.
Suatu ketika, aku menghadapi badai dalam perjalanan karirku. Tia-tiba SP 2 sudah aku kantongi sebelum SP 1 aku dapatkan. Dengan beberapa alasan yang garing aku harus meraup banyak kata mutiara dari atasan. Tapi bukan itu yang menjadi bahan ketakutanku, rencana pernikahan kami yang tinggal menghitung mundur akankah porak poranda gara-gara ini?
Pasanganku adalah tipe manusia yang mewanti-wanti supaya tidak berhutang untuk hal apapun. selain itu, dia menginginkan aku mandiri untuk tahap resepsi kami.  Dia memintaku supaya bekerja lebih keras lagi agar biaya pernikahan kami tidak membebani orang tua dan maminimalisir hutang nantinya. Lah kalau-kalau aku tetiba dipecat, aku nabung dana nikah dari mana?
Jelas aku panik waktu aku berhadapan dengan masalah dikantor seperti yang kuceritakan di atas. Wajah capeknya dia, wajah sedihnya, langsung berputar-putar dikepalaku. Aku tidak ingin dia kecewa padaku. tapi kalau atasan sudah berkata, aku bisa apa?. Nasib ngenes sudah mengerubungi aku di sana sejak awal.
Belakangan aku ingat pasal dalam kontrak kerja, pihak pertama (kantor) bisa saja mem-PHK tanpa persetujuan pihak kedua kalau pihak kedua lalai dalam melaksanakan tugas dari pihak pertama. Nah, complain pihak pertama terhadap pihak kedua bisa saja dimasukan kedalam point ini.
Duh, Gustiii….
Pertama, yang harus aku lakukan adalah menceritakannya pada pasanganku. Karena ini menyangkut rencana besar kami.
Darinya kutemukan kekuatan kembali. Ya, yang harus kulakukan adalah mengumpulkan uang untuk pernikahan kami. Terserahlah jika banyak yang tak setuju dengan kehadiran aku di sana. Yang kulakukan sekarang adalah bertahan dan memberikan petinggal yang baik.
Kepadanya, pasangan yang sudah menemaniku empat tahun terakhir, kita harus menikah bagaimanapun kondisinya. Aku bertanggungjawab atas karirku dan aku mohon berikan kepercayaan padaku untuk mengurus ini. Aku akan sangat berterimakasih padamu jika kau menemaniku menghadapi ini. Aku yakin, kau pasti mau. Karena kau lelakiku.
Ah iya, aku tahu kau harus menata kembali kepala dan waktu untuk pendidikan lanjutanmu. Jangan takut, aku bersedia jadi tukang ketik dan alarm untuk tugas-tugasmu. Hehe, maafkan aku memaksamu melanjutkan study, menurutku keluargamu akan lebih bahagia jika kamu bisa menaklukan ‘M.H’, sayang..
Sekali lagi… bagaimanapun caranya, kita harus menikah. Kurasa Tuhan benar-benar paham kondisi hati kita. J
Semoga saja niat kami dimudahkan sampai hari kita disahkan,

Dan untuk karirku, aku tahu Tuhan tidak tidur.. J

AKAD

Dua puluh tiga juni duaribu delapan belas, pukul empat belas lewat sedikit di Kampung tanjung nomor empat delapan. Suara “SAH..” meng...