‘menikah’ suatu waktu, kata ini
menjadi lebih indah dibanding kata ‘cinta’ dan sedikit bergandengan dengan kata
‘surga’ jika kau tahu rasanya.
Menikah, bagi aku khususnya,
adalah suatu tahap tertinggi dalam hubungan dua anak adam non muhrim. Tujuannya
sama denga pernikahan lainnya. Ingin menjalankan sunah dan membentuk surga
kecil baru. Ah, membayangkannya saja sudah terasa indah.
Seperti perempuan kebanyakan,
akupun memiliki tambatan hati. Hubungan kami direalisasikan dalam bentuk
pacaran. Usia pacaran kami baru menginjak tahun ke empat.
Gaya pacaran ala mahasiswa, ala
pencaker, LDR gegara salah satunya mesti merantau , sampe ala-ala wanita karir
sudah aku jalani dengannya. Hubungan kami yang datar tanpa banyak keributan
sesekali membuat jenuh. Kalaupun ribut, paling lama tiga hari kami sudah
kompakan lagi.
Aku sudah mengenal orang tuanya.
Pun dia, sudah kuperkenalkan pada keluargaku. Sampai awal 2017 (yang harusnya
jadi awal tahun membahagiakan buat kami),
kami benar-benar menghadapi masalah yang nyaris membuat aku dan dia
benar-benar mengevaluasi hubungan kami.
Seperti postingan sebelumnya, keinginan
sendiri yang membuatku memilih untuk berdiam diri dan memintanya untuk
membiarkan aku begitu saja. Aku tak ingin ada kata putus diantara kami, karena
aku tahu aku hanya sedikit ingin mengendalikan emosiku saja.
Sungguh saat itu yang aku rasakan
hanya keinginanku untuk ‘bebas’.
Tapi yang kuhadapi bukan
laki-laki yang dengan mudah mengabulkan keinginan tidak masuk akalku itu. Semakin
aku menginginkan lepas, Dia malah semakin mendesakku untuk meningkatkan level
hubungan kami.
Dalam kondisi hubungan yang
renggang, dia menemui orang tuaku dan menyampaikan keinginannya untuk
menikahiku.
Harapanku untuk momen lamaran
yang romantis dan penuh bunga pupus sudah. Dengan dahi yang masih mengkerut,
dia meminta persetujuanku didepan orang tuaku. Momen diluar garis yang membuat
imajinasiku tentang DILAMAR, sirna.
Tak bisa kupungkiri bahwa merah
jambu benar-benar menghias pipiku kala itu. Untung saja lampu rumah sedikit
temaram, dan aku berada cukup jauh dari dia. Jadi aku tak perlu takut dia tahu
bahwa kali ini aku benar-benar tersipu.
Hatiku melambung keluar
berlompat-lompatan girang tak karuan. Tapi gengsi memakan senyumku.
Aku mencintai dia, namun aku tak
jujur jika aku juga tak menginginkan sendiri. Sebentar saja, sejenak, supaya
aku lebih bisa menata hatiku dan mempertimbangkan jalan aku dan dia kedepannya.
Kenekatannya membuatku harus
membunuh jenuh dan keinginan sendiri tadi. Yah, kali ini komitmen kami memang
lebih penting dari gengsi.
Aku mengiyakan ajakannya, menikah
dan menua bersama.
Menjelang hari pertemuan
keluargaku dan keluarganya, ada banyak hal yang kami hadapi. Sifatku yang tak
terperhatikan selama ini malah sekarang jadi masalah diantara kami. pihak
kedua, dan omongan dari luar jadi angin sepoi-sepoi yang membuat kami harus
benar-benar mengkomunikasikan banyak hal supaya tidak ada pikiran negative yang
mengakar.
Sejauh ini kukatakan, dia adalah orang yang
aku butuhkan. Banyak ketidaksamaan diantara kami. banyak sekali. Tapi dia sabar
mengajari dan memperkenalkan banyak hal. Sesekali dia bosan dengan aku yang
sulit diatur. Tapi tetap dia punya cara tersendiri membuat aku tidak patah
arang mencoba menjadi yang dia dan keluarga kecil kami butuhkan. “Jangan takut,
aku tidak akan pernah mundur dari rencana kita, kuharap kamu juga begitu,” ucapnya menyemangatiku.
Dia memang supporter hebat dalam
sesi ini. Semangatku menggebu setelah dihadiahi kata-kata demikian. Dia benar,
rencana kami adalah komitmen yang benar-benar harus dirampungkan.
Suatu ketika, aku menghadapi
badai dalam perjalanan karirku. Tia-tiba SP 2 sudah aku kantongi sebelum SP 1
aku dapatkan. Dengan beberapa alasan yang garing aku harus meraup banyak kata
mutiara dari atasan. Tapi bukan itu yang menjadi bahan ketakutanku, rencana
pernikahan kami yang tinggal menghitung mundur akankah porak poranda gara-gara
ini?
Pasanganku adalah tipe manusia
yang mewanti-wanti supaya tidak berhutang untuk hal apapun. selain itu, dia
menginginkan aku mandiri untuk tahap resepsi kami. Dia memintaku supaya bekerja lebih keras lagi
agar biaya pernikahan kami tidak membebani orang tua dan maminimalisir hutang
nantinya. Lah kalau-kalau aku tetiba dipecat, aku nabung dana nikah dari mana?
Jelas aku panik waktu aku
berhadapan dengan masalah dikantor seperti yang kuceritakan di atas. Wajah
capeknya dia, wajah sedihnya, langsung berputar-putar dikepalaku. Aku tidak
ingin dia kecewa padaku. tapi kalau atasan sudah berkata, aku bisa apa?. Nasib
ngenes sudah mengerubungi aku di sana sejak awal.
Belakangan aku ingat pasal dalam
kontrak kerja, pihak pertama (kantor) bisa saja mem-PHK tanpa persetujuan pihak
kedua kalau pihak kedua lalai dalam melaksanakan tugas dari pihak pertama. Nah,
complain pihak pertama terhadap pihak kedua bisa saja dimasukan kedalam point
ini.
Duh, Gustiii….
Pertama, yang harus aku lakukan
adalah menceritakannya pada pasanganku. Karena ini menyangkut rencana besar
kami.
Darinya kutemukan kekuatan kembali.
Ya, yang harus kulakukan adalah mengumpulkan uang untuk pernikahan kami. Terserahlah
jika banyak yang tak setuju dengan kehadiran aku di sana. Yang kulakukan
sekarang adalah bertahan dan memberikan petinggal yang baik.
Kepadanya, pasangan yang sudah menemaniku
empat tahun terakhir, kita harus menikah bagaimanapun kondisinya. Aku
bertanggungjawab atas karirku dan aku mohon berikan kepercayaan padaku untuk
mengurus ini. Aku akan sangat berterimakasih padamu jika kau menemaniku
menghadapi ini. Aku yakin, kau pasti mau. Karena kau lelakiku.
Ah iya, aku tahu kau harus menata
kembali kepala dan waktu untuk pendidikan lanjutanmu. Jangan takut, aku
bersedia jadi tukang ketik dan alarm untuk tugas-tugasmu. Hehe, maafkan aku
memaksamu melanjutkan study, menurutku keluargamu akan lebih bahagia jika kamu
bisa menaklukan ‘M.H’, sayang..
Sekali lagi… bagaimanapun
caranya, kita harus menikah. Kurasa Tuhan benar-benar paham kondisi hati kita. J
Semoga saja niat kami dimudahkan
sampai hari kita disahkan,
Dan untuk karirku, aku tahu Tuhan
tidak tidur.. J